Header Ads

[Serial Kemah Raya] 1# Pengantar dan Prolog

[Diary Kemah Sangga Star Light Kelas X-2 SMANSA Ungaran]

===================================================================

Berawal dari Tugas
(Sebuah Pengantar)



Sehari sebelum kemah, Bu Pudji, guru Bahasa Indonesia, menugaskan kami menceritakan pengalaman kemah kami, untuk dikumpulkan pada pertemuan sesudah kemah. Supaya tidak ada yang terlewat untuk ditulis, dari rumah aku membekali diri dengan buku kecil berukuran 7 x 10 cm untuk mencatat semua kejadian yang kualami selama kemah.

Tapi aku terlalu malas untuk menulis. Kata-kataku tidak mau keluar. Buntu. Aku menyerah. Yang sempat kutulis hanyalah sebagian pengalaman kecil waktu jeritan malam, itu pun tidak seluruhnya. 

Malam harinya sepulang kemah, aku menyalin catatanku yang masih sedikit itu ke komputer. Subhanallah, mendadak aku mendapat kekuatan untuk terus menuliskannya. Aku makin bersemangat, rasanya seperti menulis diary. Rintangan yang paling menghambat adalah, aku lupa banyak sekali detail kejadian.

Alhamdulillah, atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan memenuhi tugas ini, lembur sampai hampir tengah malam pun kujalani pada hari terakhir. Masih dihambat juga dengan fakta bahwa printer-ku rusak. Padahal aku harus menyalinnya dalam tulisan tangan.

Aku pun menge-print-nya di rental. Di depan aula, sebelum rapat Rohis, Mbak Lilik melihat lembaran-lembaran ini. Dia ingin membaca seluruhnya, tapi waktunya tidak sempat. Yang dia baca hanyalah tulisanku ketika jeritan malam. Dia tertawa dan berkali-kali minta maaf. Dia juga mengatakan, “Ada saatnya aku guyon, ada saatnya aku serius, Dik.”

Aku menyahut, “Ya, aku tahu, kok.” Tapi aku tak sempat mengeluarkan kalimat ini, “Itu kan cuma ungkapanku waktu itu aja, sekarang sudah tidak lagi.”

Hanif yang datang tak lama kemudian melihat kertas-kertas yang belum sempat aku jilid itu. Dia sendiri ternyata belum membuat satu kata pun, demikian pengakuannya.

Dan... kertas itu pun menyebar. Dibaca di sana-sini oleh siswi-siswi X-2. Habis satu halaman, mereka meneriaki temannya untuk menyerahkan halaman berikutnya. Jadinya seperti cerita bersambung. Sampai kertasnya lecek, nggak keruan lagi bentuknya.

“Kamu nulis novel, Lil?” tanya Tandya.

“Nih cerita buat satu sangga aja,” pinta Hanum. “Kan aku juga jadi tokohnya.”

Awalnya aku tidak rela, karena mereka tidak ikut menulis. Tapi menjelang jam terakhir selesai, aku berkata, “Oke, aku mau ini buat satu sangga. Tapi dengan syarat...”

“Suruh bayar?” canda Hanum.

“Nggak usah. Kalian harus menyumbang cerita yang kalian alami, jadi bisa menambal cerita yang aku lupa. Kalau semua turut menyumbang, ntar aku buat novel, deh. Kan keren, buatan X-2...”

“Aku dari dulu juga pengin bikin semacam dokumentasi kelas,” kata Anin setuju.

Dan... inilah hasil kerja keras selama liburan semester.

Thanks to anak-anak X-2: Hanif, Dina, Hanum, Novira, Fitri, Anin, dan teman-teman lain yang, karena keterbatasan tempat, belum disebut namanya, silakan kalian tulis nama kalian sendiri.

Makasih juga buat anak-anak X-1, “pelengkap” X-2 dalam beberapa hal, sehingga kita sering digabung. (Makasih udah mau “membagi” Fuadio dengan X-2, jadi kekalahan kami dalam tarik-tambang hanya disebabkan oleh jumlah lawan yang tidak seimbang.) terkadang, kita memang bagus kalau bergabung, tapi kalau sendiri-sendiri kita tak berarti apa-apa.

Nggak kalah spesial buat Mbak Alfitri dan Mas Galih, pengampu Pramuka X-2. Kalian emang lucu, tapi waktu jeritan malam, “serem” juga, ya. Terima kasihnya dibagi sama Mbak Lilik dan Mas Edwin, ya, yang juga telah membantu kalian berdua mengampu anak-anak nakal seperti kami.

Juga buat seluruh Kakak-kakak di Bantara. Oya, sebelumnya aku mau minta maaf kalau dalam cerita ini, aku terlalu sering mengkritik kalian. Yakinlah, bahwa semua itu hanya ungkapan sesaatku waktu itu, dan sekarang setelah kemah berlalu, emosi itu sudah lenyap.

===================================================================

Prolog


Oleh pengampu kami, Mbak Alfitri dan Mas Galih, kelas X-2 dibagi menjadi tiga sangga, satu sangga putra, dua sangga putri. Sangga putra mencakup sebelas anak, sejumlah putra di kelas X-2, dengan nama Cassavas (terjemahan bebasnya tela-tela). Sangga Sun Light berisi tujuh ekor: akuLila, Anin, Hanif, Lihar atau yang lebih kami kenal dengan Dina, Ummi, Candra, dan Hanum. Sisanya yaitu Tandya, Anggi, Rina, Cintamy, Fitri, Novira, dan Charisma menamai sangga mereka Seven Star.

Mentang-mentang anak imersi, nama sangganya berbahasa Inggris semua!

Di kelas sebelah, X-1, Mbak Lilik dan Mas Edwin tidak mau repot-repot mengurusi terlalu banyak sangga. Simpel saja, siswa putra X-1 jadi satu sangga, namanya Joker, dan siswi yang jumlahnya dua belas biji juga dijadikan satu ke dalam sangga Tazmania.

Dalam berbagai kegiatan Pramuka, tak jarang kelas X-1 dan X-2 digabung. “Biar kalian lebih akrab,” begitu alasan Mbak Lilik. Meski tak jarang juga mengundang kontra dari anak-anak X-2, para pengampu bersikukuh kami digabung. Mungkin alasan lainnya, biar mereka nggak terlalu repot, kali, ya?

Kadang anak-anak putri kelas X-2 juga merasa heran. Kelas X-1, putrinya hanya satu sangga, mengapa kami dibagi jadi dua, padahal jumlah kami hanya berjarak dua orang dari mereka?

Pada hari Senin kuturut ayah ke sekolah... eh, enggak ding. Maksudnya, hari Senin, tiga hari sebelum diadakan kemah Pendadaran Penegak Tamu ke Penegak Calon Ambalan Diponegoro-Cut Nyak Dien (AMDIC), pada jam istirahat beberapa siswi X-2 mendesak Mbak Alfitri untuk menggabung kedua sangga kami menjadi satu.

Belum ada kejelasan soal boleh atau tidaknya penggabungan ini, beberapa anak mendekati ruang Pramuka yang sedang digunakan rapat oleh Kakak-kakak Bantara. Tandya ragu-ragu mendekatkan tangannya ke pintu, bersiap mengetuk.

“Eh, beneran, nih, panggil Mbak Alfitri sekarang?” tanyanya.

“Udah, ketuk aja, nggak usah takut,” kata teman-temannya menyemangati. Padahal, mereka sendiri berdiri cukup jauh dari pintu.

Tok, tok, tok, tok, tok...

Entah berapa kali jari-jari Tandya mengetuk pintu. Seraut wajah laki-laki muncul.

“Ada apa?”

Tandya berkata takut-takut, “Mau ketemu sama Mbak Alfitri, bisa?”

“Al,” panggil Kakak Bantara itu.

Mbak Alfitri keluar. Penampilannya terlihat kusut, mungkin terlalu stres memikirkan rencana ke Bantir ini.

Sebelum kami sempat membuka mulut untuk bertanya, dia langsung menjawab, “Digabung.” 

“Ada lagi, nggak?” tanyaku pada teman-teman. “Mumpung Mbak Alfitri masih di sini.” Ntar dia keburu lebih stres lagi, tambahku dalam hati.

“Apa lagi?” Mbak Alfitri mengulang pertanyaanku.

“Ya udah, itu aja, Mbak. Makasih ya, Mbak.”

Berdasarkan Keppu (Keputusan Pengampu) no. 0 tahun 2007 itu, kami tidak repot-repot mencari nama baru untuk sangga kami. Kami hanya menggabungkan dua nama, Sun Light dan Seven Star, menjadi Star Light.

Lambang untuk tanda regu pun baru dibicarakan pada hari Rabu. Karena baru dibuat persis sehari sebelum kemah, untuk sementara kami belum punya tanda regu. Tandya, yang memesankan, berjanji pagi hari ketika berkumpul di sekolah tanda itu sudah jadi.

Pagi hari Rabu, sesudah kami berolahraha, Pak Erie, wali kelas X-2 yang juga pembina pramuka, mendatangi anak-anak X-2. Beliau menyarankan agar satu orang membawa HP untuk menghubungi keluarganya jika ada kabar penting. Orangtua juga bisa menghubungi nomor itu jika ada kepentingan dengan putranya. Atas kesepakatan kami, anak-anak perempuan memercayakan komunikasi dengan ortu mereka di tangan Anin. Dengan  kata lain, Anin yang bawa HP, atas izin Pak Erie.

No comments

Powered by Blogger.