Header Ads

[Serial Kemah Raya] 2# No Drugs, No Alcohol, Mendingan Es Cendol

[Diary Kemah Sangga Star Light Kelas X-2 SMANSA Ungaran]

===================================================================

Aku duduk di atas motor di belakang Bapakku, jantungku berdegup kencang. Aku takut ditinggal. Kemarin janjian sama teman-teman putri sekelas untuk berkumpul jam enam tepat di depan kompleks masjid Istiqomah. Kami harus menunggu Rina datang dengan mobilnya. Mobil itulah yang akan mengangkut barang-barang kami sampai ke Bantir.

Ternyata di sana baru ada Hanif, Fitri, Candra, dan Charisma. Mereka menunggu di undakan depan bekas swalayan Istiqomah, masing-masing lengkap dengan tas besar menggelembung. Aku menyalami Bapakku, lalu bergabung dengan mereka.

“Assalamu’alaikum,” sapaku.

“Wa’alaikumussalam,” jawab mereka kurang serempak. Kami berjabat tangan ala Rohis, termasuk dengan Candra dan Charisma yang bukan anggota Rohis.

“Yang lain ke mana?”

“Belum datang.”

“Jam segini? Katanya kumpul jam enam? Rina juga belum datang?”

“Belum. Baru kita berempat ini.”

Wah, padahal sudah jam 06.25!

Melihat Fitri bermain-main dengan jaketnya, aku teringat sesuatu, “Ya Allah, aku lupa bawa jaket!”

Hanif dan Fitri ikut tersentak.

Biasanya, kalau aku kelupaan sesuatu, aku nekat dalam keadaan tidak membawa, walau dihukum, tak jadi masalah dan tak jadi beban pikiran... Tapi kemahnya di Bantir, gals. Sekilas aku punya pikiran mau pinjam salah satu teman, tapi mereka pasti juga membutuhkannya, dengan kondisi Bantir yang (hiperbolanya) sungguh-super-ekstra-amat-sangat-luar biasa-duingiiin-banget-sekaleee.

“Gimana, nih?”

Wartel Istiqomah belum buka sepagi ini. Aku tak ingin merepotkan keluargaku, sebetulnya, tapi mau gimana lagi?

Aku tersentak. “Oya, di sekolah kan ada telepon koin. Tunggu bentar, ya.”

Aku berlari ke SMA yang letaknya, untungnya, persis di sebelah Istiqomah. Sambil berlari, aku merogoh sakuku. Kuambil uang logam seratus perak dari dalamnya.

“Udah?” tanya kedua temanku itu.

Aku nyengir panik. Berkali-kali aku mengawasi jalanan, menunggu kehadiran Bapakku. Dan beliau datang membawa jaket hijau tebal kesayanganku. Ketika aku merogoh sakunya, ternyata berisi uang cukup banyak. Lumayan.

“Eh, nanti kalau di sana ada penunggunya, gimana coba?” tanya seseorang dengan nada ketakutan.

“Ya dzikir aja. Ntar habis Maghrib, kelas kita baca Qur’an, yuk, biar nggak ada yang ‘ganggu’,” ajakku.

Mereka setuju.

Menjelang jam tujuh kurang seperempat, Ummi datang bersama ibunya. Dia hanya sebentar bergabung dengan kami, kemudian duduk di sisi ibunya, tak jauh dari kami.

Sampai pukul tujuh kurang semenit lebih dua puluh detik, anak-anak yang lain masih raib. Kami sampai gelisah. Rina juga belum tampak. Ke mana, nih anak? Nggak mungkin, kan, barang-barang ditinggal di sini sementara kami upacara?

“Kalian ke sekolah dulu, ikut upacara,” aku mengambil keputusan. “Biar aku yang jaga barang-barang di sini. Tapi kalau ada apa-apa dan udah mau berangkat, aku dikasih tahu, ya.”

“Beneran, Lil, nggak papa sendiri di sini jaga barang-barang?” tanya mereka seperti menyangsikan.

“Udah, berangkat aja!” ‘usir’ku.

Kemudian datang Hanum, Dina, Tandya, dan Anggi. Setelah menitipkan barang, mereka menyusul teman-teman lain ke sekolah. Sebelum beranjak, Dina menyampaikan pesan “terakhir”nya, “Lil, bikinin amplop, dong.”

“Mana kertasnya?” tanyaku.

“Nih, kertas HVS nggak papa, kan?” katanya panik.

“Nggak papa. Bawa sini, kertasnya,” ujarku tak sabar.

Saking tergesa-gesanya, Dina lupa membekaliku dengan gunting dan lem. Dengan modal hanya selembar HVS, aku mencoba membuatnya menjadi amplop.

Pasti buat surat cinta, surat benci, dan surat AMDIC, nih, tebakku pasti. Aneh-aneh aja anak AMDIC itu. Masa mau kemah aja kami harus menyerahkan surat cinta dan benci kepada salah satu anggota Sangker (Sangga Kerja), dan komentar tentang AMDIC plus “gelar” ter- buat mereka. Tercakep, tercantik, terbaik, tertegas, terlucu, terwibawa, teraneh... yang jelas aku nggak ter...ima.

Daripada bengong sendirian, kukeluarkan Al Qur’an miniku yang berukuran 7 x 10 sentimeter. Aku membacanya dengan suara pelan. Capek membaca, aku menyapa ibu Ummi yang masih setia menunggu putrinya.

“Masih nungguin Ummi, Bu?”

“Iya, dianya minta ditungguin,” jawab beliau ramah.

“Kok nggak ditinggal aja?”

Ibu Ummi tertawa. “Dia minta diantar sampai ke Bantir. Katanya biar saya tahu jalannya, pas jemput dia pulangnya nanti.”

Sebuah mobil  Taff  datang. Rina, ibunya, dan kakak sulungnya ada di dalamnya. Kakaknya membantuku dan Rina mengangkut semua tas ke dalam mobil, sementara ibu Rina yang mengatur tempatnya di dalam. Semua barang itu hampir memenuhi bagian belakang mobil sampai ke atap!

Aku dan Rina berlari bersama ke sekolah. Sampai di sana, upacara bahkan  belum dimulai! Kebiasaan orang Indonesia, jamnya 'terbuat dari' karet!

Di barisan paling ujung, anggota Star Light sedang mengerumuni Tandya.

“Apaan, sih?” tanyaku pada anak yang paling dekat. Yang ditanya tidak menjawab, melainkan sibuk memasang tanda regu baru
Star Light.

“Woi, Tandya, punyaku mana?” teriakku heboh.

Tandya yang mendadak jadi orang sibuk itu merogoh plastiknya, dan mengambil tanda regu beserta penitinya.

“Nih,” katanya sambil mengulurkan tanda regu itu padaku, “pakai peniti dulu. Ntar di  sana baru dipasang. Ada kok yang bawa benang dan jarum jahit.”

Aku mengambilnya dari tangan Tandya dengan tidak sabar dan mengamati.

Tanda regu tersebut terbuat dari kain flannel berwarna biru, bentuknya segi lima dengan titik puncak di bawah. Bagian tengahnya bergambar bintang putih yang memiliki lima berkas sinar kuning, warna yang sama dengan tepian garis bintang itu sendiri. Menyatu dengan garis paling atas terdapat persegi panjang yang dengan tulisan merah: STAR LIGHT.

Aku memasangnya dengan peniti di bagian atas lengan kiri bajuku, tanpa melepas tanda regu yang lama. Beberapa anak lain juga demikian, tapi ada juga yang melepas tanda regu lama sebelum memasangnya dengan yang baru.

Anak-anak yang sudah memakai kocardnya, melepas kembali tanda pengenal itu. Pembina Pramuka memberitahu bahwa kocard itu akan dipakai di Bantir setelah upacara pembukaan di sana.

Memandang berkeliling, aku melihat para pengurus OSIS dan anggota PMR. Mereka ternyata akan ikut ke Bantir. Tentu saja PMR akan sangat dibutuhkan di sana, tapi aku belum tahu mengapa pengurus OSIS juga ikut.

Pembagian truk adalah sebagai berikut: truk pertama untuk siswi X-7, X-8, dan X-9; truk kedua untuk siswi X-4, X-5, dan X-6, truk ketiga untuk siswi X-1, X-2, dan X-3; siswa X-6 sampai X-9 menempati truk keempat; dan sisanya siswa X-1 sampai X-5 dipersilakan mengisi truk kelima.

Karena jumlah anak kelas imersi cuma sedikit, jumlah putrinya cuma dua puluh enam kalau digabung, jadi truk  ketiga yang kutempati  tidak sepenuh truk lain. Aku mendapat tempat paling belakang. Dengan santai aku duduk beralaskan tikar, karena “pintu” belakang truk itu rendah, tidak mencapai pinggangku yang pendek ini. Terlalu berbahaya untuk berdiri.

Sepanjang perjalanan, aku berusaha tidur. Dua hari terakhir ini, aku tidur larut malam dalam rangka menyiapkan berbagai perlengkapan kemah. Anak-anak lain tertawa melihatku duduk bersandar sambil
memejamkan mata.

Beberapa anak lain mengikuti jejakku, mereka duduk beralaskan tikar yang masih dalam keadaan gulungan.

“Eh, Lila, kamu bawa ayam goreng berapa?” tanya Hanum tiba-tiba. Dia termasuk anak yang duduk di bawah beralaskan tikar. Saat itu dia dan Fitri sedang membicarakan menu makan siang.

Astaghfirullah, aku lupa bawa ayam!” pekikku. Sumpe, saking terburu-burunya tadi pagi, aku  sampai lupa menyiapkan peralatan makan sekaligus menu makan siangnya.

“Lha terus kamu makan siang pakai apa?” tanya Hanum lagi.

“Ya... ntar aku makan roti aja, deh.”

Hanum menawarkan, “Aku bawa ayam banyak, kok. Ntar barengan aja sama aku.”

“Makasih. Aku malah sama sekali nggak bawa apa-apa buat makan. Sendok, piring, mangkuk... aku lupa babar blas!”

“Ya Allah...” Hanum dan Fitri geleng-geleng. “Trus kamu kalau makan gimana?”

“Ya nggak usah pakai piring, langsung dari bungkusnya, dan pakai tangan kan bisa,” jawabku tanpa dosa.

“Kalau makannya sop?” kejar Hanum.

Waduh, iya juga, ya?

Sekali lagi Hanum berbaik hati meminjamiku sendok. Alhamdulillah, makacih ya, Num.

Sampai di Bantir, udara terasa sejuk. Aku meloncat dari truk dan menghirup udara segar sepuasnya. Hawa  dingin yang sering dikhawatirkan belum terasa.

Semua tas yang diangkut pakai mobil keluarga Rina sudah diturunkan. Semua anak membawa tas masing-masing, kemudian dikumpulkan jadi satu  di bagian kanan lapangan utama.

“Anin mana, nih?” tanya anak-anak.

Anin, karena rumahnya paling dekat, Sumowono, dititipi kayu bakar oleh anak-anak sehari sebelum kemah, supaya ketika berangkat ini nggak ribet bawa barang banyak. Nggak tahunya malah sekarang dia belum kelihatan. Padahal jarak antara rumahnya dengan Bantir tidak sampai lima kilometer.

Novira juga belum datang. Tapi akhirnya dia menghampiri kami menenteng dua tas besar pada masing-masing tangan.

“Nah, itu dia, Anin,” kata seseorang.

Benar juga. Di sisi lain lapangan Anin masuk menenteng barang-barang titipan anak-anak. Dia datang bersama Fatta.

Sambil menunggu upacara pembukaan dimulai, anak-anak duduk-duduk di dekat gundukan tas mereka. Banyak yang sudah memakai kocard mereka.  Asyik juga membaca motto sangga lain yang kebanyakan gokilnya minta ampyun.

Sangga Star Light, dengan kocard hijau muda (warna yang ditentukan untuk X-2), mengusung motto, “No drugs, no alcohol, mendingan es cendol.” Sangga Tazmania, yang memakai kocard biru tua, bangga dengan motto mereka, “Kakean moto mara’ke bodho.”

Wah, dua sangga itu kayaknya mau kampanye dengan tema  kesehatan, ya? Hihihi...

Terdengar tiupan peluit pendek berulang-ulang. Tandanya kami harus berkumpul karena upacara pembukaan akan segera dimulai.

Seperti biasa, siswi-siswi kelas Imersi berbaris di ujung kiri. Dan sekali lagi, anak-anak disuruh melepas kocard masing-masing, baru boleh dipakai setelah  ada penyerahan secara simbolis.

Upacara kali ini cukup unik, karena ada upacara adatnya. Sayangnya, aku tidak melihat seperti apa ritual adat itu, karena aku berada di antara anak-anak yang bertubuh tinggi.

Setelah mengikuti upacara pembukaan, semua ketua dan wakil ketua sangga berkumpul di depan sekretariat. Sementara itu, para anggota berebut tempat di barak, hanya berbekal tikar, eninggalkan tas-tas yang bertumpuk di ujung lapangan.

Barak  putri di sebelah kanan lapangan utama (kalau sudut pandangnya membelakangi jalan). Ada dua barak putri, satu di bawah, satu di atas. X-1 dan X-2 kebagian barak atas. Barak sudah hampir penuh, hanya tersisa tempat di bagian belakang yang “terpencil”, gelap, dan kesannya seram.

Di dekat pintu sebenarnya masih tersisa tempat, lengkap dengan “dipan”nya. X-1 dan X-2 menata tikar di atasnya. Kami sudah menikmati tempat itu beberapa saat sebelum datang beberapa Sangker putra yang detik berikutnya langsung mengusir kami.

Kami tidak terima. Kami ngotot memperhatankan tempat kami yang nyaman ini. Jadilah kami bertengkar dengan para Sangker itu.

“Lihat teman-teman kalian yang lain, mereka di bawah. Mereka nggak ada yang di atas. Kalau kalian di sini, nggak adil, namanya.”

“Kita kan udah bayar sekolah lebih mahal, harusnya dapat tempat yang enak, dong!”

“Kalimat andalan anak Imersi,” komentar Ega pelan. Aku tertawa.

Ujung-ujungnya bisa diduga: Sangker-sangker itu menang, dan kami terpaksa mengalah. Kami membawa tikar-tikar yang sudah  tertata rapi, mengungsi ke bagian belakang  barak. Star Light menempati sisi kiri, sedangkan Tazmania mendapatkan sisi kanan. Ruangan barak paling ujung ditempati Sangga D13Z (baca: Sang-Gadiez) dan Sangga 541 (baca: Sa-nggasa’i) dari X-3.

Hanya ketua sangga yang diizinkan masuk lapanga untuk mengambil barang-barang. Anggota lainnya berjaga di pinggir lapangan. Meski demikian, tidak sedikit anggota yang membantu ketua mereka mengambil barang dari sisi lain lapangan.

Pada saat makan siang, Hanum menepati janjinya merelakan sepotong ayam gorengnya denganku dan meminjamiku sendok. Fitri juga membagi sopnya kepada semua anak di dekatnya.

Muchas gracias, amigos.

Kami baru mau menyuap suapan pertama ketika Anin, ketua sangga  Star Light,  berseru, “Jangan ada yang makan dulu! Makannya semua sama-sama.”

Ketika semua sudah siap makan, Anin berkata, “Sebelum makan, kita berdoa sama-sama.”

Bismillahirrahmanirrahiim,” seru kami serempak. Tak sedikit anak di sekitar kami yang menoleh mencari sumber suara. “Allahumma baariklanaa fii maa razaqtanaa wa qinaa ‘adzaaban-naar (Ya Allah, berkahilah dari apa yang  telah  Engkau rizkikan kepada kami, dan jauhkanlah kami dari siksa api neraka). Aamiin.”

Sambil nyengir melihat anak-anak yang menoleh ke arah kami, kami mulai melahap nasi dan ayam goreng.

No comments

Powered by Blogger.