Header Ads

[Serial Kemah Raya] 7# Broadcast dan Bhayangkara

[Diary Kemah Sangga Star Light Kelas X-2 SMANSA Ungaran]

===================================================================


Kelompok broadcast, yang ditempatkan di ruang kegiatan 2, dipandu Mbak Deny, Mbak Adella, dan Mbak Alfitri. Ketiganya penyiar Rasika FM. Selain Mbak Deny, aku baru tahu.

“Oke, dengarkan semua,” kata Mbak Adella, diiringi musik yang, saking kupernya, aku nggak tahu lagu apa. “Mungkin kalian sudah kenal kami bertiga. Tapi kami di sini bukan sebagai sangga kerja. Di sini, kami dari radio Rasika. Ada yang tahu apa itu radio Rasika?”

Meski masih agak dingin dengan para Bantara atas perlakuan tadi malam, aku masih bisa ngobrol santai dengan Mbak Lilik. Ketika dia melongok ke ruangan broadcast, aku melambai memanggilnya. Sepanjang broadcast aku nyaris tak mendengarkan apa pun, malah ngobrol ke mana-mana sama Mbak Lilik.

“Mbak, kita digituin kayak tadi malem tuh emang tujuannya apa, sih?” tanyaku.

Dia menjawab, “Buat melatih mental kalian.”

“Kok caranya gitu?” aku nggak terima. “Kalau besok aku jadi Bantara, mau tak rubah sistemnya.”

“Ya, itu jadi masukan buat kita. Kamu ada usul, gimana seharusnya?” Mbak Lilik malah menanyaiku.

Aku mengangkat bahu. “Belum tahu. Soalnya ini juga baru kepikiran tadi, habis acara itu. Trus kok perintah ambil slayer dan jaketnya nggak sekalian aja?”

“Emang sengaja,” jawabnya santai.

“Emang imersi itu manja, ya?”

“Iya.”

“Masa, sih? Imersi tahun lalu, ‘kali?” aku menggoda.

“Nggak juga. Hampir semua imersi sejak dulu emang gitu, bedanya cuma tipis.”

“Manjanya gimana, sih?”

“Besok Jum’at pas Pramuka aja aku ceritain.”

Mbak Lilik membuka-buka buku kecil yang selalu kubawa sepanjang kemah ini untuk menulis. Semua detail dibacanya. Terutama catatan terakhir, yang mengungkapkan perasaan hatiku habis jeritan malam.

"Ngapain gitu aja? Mending kalo ada tantangan yang lebih, misalnya masuk kuburan gitu. Huh, jangan-jangan para Bantara sendiri takut kuburan!"

Dia diam sejenak.

“Jadi kalian lebih suka dibawa masuk kuburan?!” tanyanya. Di telingaku, suara itu terdengar tajam, keras, bahkan mungkin juga tersinggung. Dan kalau telingaku nggak salah dengar, dia menekan kata ‘kalian’ itu, padahal yang tertulis murni ungkapan hatiku, bukan dari anak-anak lain.

Aku mengkeret, merasa bersalah banget. “Nggak juga.”

“Terus?”

“Gini, Mbak. Sejak awal masuk SMA sini, aku tuh udah takut dulu kalau disuruh masuk kuburan. Makanya sejak awal itu aku udah persiapan mental kalau disuruh masuk kuburan. Menjelang kemah ini juga udah sampai siap-siap bawa kerikil di saku, biar kalau ada yang nakut-nakutin, bisa dilemparin kerikil...”

Suasana kembali cair. Aku nyengir bandel, sementara Mbak Lilik sendiri... nggak tahu, ya, soalnya pandanganku terfokus ke bawah.

Aku mengalihkan pandanganku kepada anak-anak yang ada di depan. Hey, di situ ada Ridwan dan dua anak laki-laki lain, serta seorang cewek.

“Ngapain, sih?” aku menanyai Hanif.

“Oh, itu ceritanya yang cowok pura-pura nembak si cewek,” jelas Hanif.

Mbak Lilik mendengus, “Sandiwara basi!”

Aku setuju sepenuhnya, “Ini mau broadcast apa latihan nembak, sih?”

“Ya broadcast,” jawab Hanif. “Tapi ini buat latihan komunikasi.”

“Kok gitu, caranya?” aku mengernyit. Daripada nonton “sandiwara basi” itu, aku memilih ngobrol sama Mbak Lilik.

Ketika aku kembali memandang ke depan, Mbak Deny sedang mengajari cara menyampaikan berita duka. Sekarang malah sedang mencari anak yang mau mempraktekkan.

Saat itu mata Mbak Deny bertatapan dengaku. Aku was-was kalau disuruh maju, habis nggak tahu gimana caranya. Nggak memperhatikan sih. Dan benar saja...

“Lila, mau maju?”

“Aku?” tanyaku sambil menunjuk diri sendiri.

“Iya. Ayo, Lila maju. Pura-pura sebagai penyiar yang mendapat SMS dari pendengar, ada temannya yang kecelakaan, sekarang sedang di rumah sakit,” kata Mbak Deny dengan logat Palembang-nya yang khas.

Aku memandang Mbak Lilik, “Ngomongnya gimana, Mbak?”

“Ya apa aja,” jawabnya santai.

Aku maju membawa buku kecilku dan polpen. Susah memasang ekspresi sedih saat aku sendiri lagi kepengin ngakak sekeras-kerasnya.

“Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun, ” kalimat pembukaku langsung tarji’. “Telah meninggal dunia seorang teman...”

Teman siapa, ya? batinku. Manggilnya gimana? Mbak? Tapi seorang penyiar kan nggak tahu usia orang yang kirimin SMS ke radio itu. Kalau manggil langsung nama, kan jangkar sama kakak sendiri.

“... teman Ukhti Deny...”

GUBRAKS!!!

Woi, Lil, itu kan panggilan di Rohis! Ini acara Pramuka. Broadcast, lagi! Dan nggak banyak anak yang tahu apa artinya ‘ukhti’, kan? Gimana, sih?

Aku merasa, bukan melihat atau mendengar, ada reaksi kecil dari Mbak Deny dan Mbak Lilik, mendengarku memanggil begitu.

Aku melanjutkan, “... dari SMA 1 Ungaran...”

“Jangan SMA 1 Ungaran, Dik,” sela Mbak Adella. “SMA berapa gitu, kek.”

“Ya udah,” aku menyahut Mbak Adella. Aku kembali memandang audien, “... maaf, ada ralat. Dari SMA 000 (baca: kosong-kosong-kosong, red)...”

Mereka tertawa. Habis, aku bingung, mau cari nama apalagi coba? Aku melanjutkan dengan menahan tawa, namun tidak berhasil.

“... sekarang jenazahnya sedang disemayamkan...”

Lho???

“... di rumah sakit Ungaran. Bagi yang mau melihat mayatnya sebelum dikuburkan, silakan mengunjunginya di rumah sakit.”

GUBRAKS (part 2)!!!

Biar kacaw-balaw-wadaw gitu, aku tetep dikasih wafer Gerry cokelat. Aku menawarkan pada Mbak Lilik, yang menolak, dan Hanif, yang menyarankan untuk membaginya nanti pada semua anggota sangga.

Kami kembali ke barak dengan riang. Anak-anak Bhayangkara masih di barak kegiatan 1.

Anak laki-laki muslim shalat Jum’at di barak shalat, sementara peserta muslimah shalat di barak masing-masing. Usai makan siang dan shalat, Mbak Lilik mendatangi barak putri.

“Bagi peserta yang beragama muslim,” dia mengumumkan, “segera menuju ke barak shalat. Akan ada sedikit taushiyah dari Rohis.”

Sembari berjalan, aku mengkritik dalam hati, “Yang bener ‘peserta muslim’ atau ‘peserta yang beragama Islam,’ Mbak. ‘Muslim’ saja sudah berarti ‘orang Islam’.”

Di barak mushola, sudah menunggu Mbak Annisa, wakil ketua Rohis (bukan yang anak Bantara itu), Mbak Anggi, Mbak Fida, Mbak Silvi, Mbak Yessie, dan Mbak Vita. Anak-anak sesama anggota Rohis segera saja menyalami mereka dan berjabat tangan ala Rohis.

Materinya tentang “Kekuatan Iman”. Mereka mengatakan, kami tidak usah takut dengan para ‘penunggu’ Bantir ini, karena mereka juga makhluk Allah, dan kami harus senantiasa berdzikir agar mereka juga tidak mengganggu, baca Ayat Kursi. Atau, kalau tidak hafal, baca An Naas dan Al Falaq.

Mbak Lilik menambahkan, sebagai Sangker, “Sebetulnya tadi malam kalian mau dibawa ke kuburan. Tapi sayangnya tidak disetujui pembina. Tahun lalu kami seperti itu,” katanya.

“Wah, balas dendam, nih...” aku mendengar beberapa anak bergumam menyindir. Tapi aku merasa kalimat itu merupakan reaksi atas tulisan di buku kecilku tadi.

Materi dilanjutkan. Para “pentolan” Rohis itu bergiliran menyampaikan materi. Banyak yang tertawa ketika Mbak Fida menyampaikan dengan gaya khasnya yang lucu.

Acara diakhiri dengan doa penutup majelis. Semua mengikuti ucapan Mbak Annisa, “Subhanakallahumma... wa bihamdika... asyhadu an-laa ilaaha illa anta... astaghfiruka... wa atuubu ilaik.” 

Kaos sudah berganti biru. Anak-anak yang sebelumnya mengikuti broadcast sekarang diberi materi tentang bencana di barak kegiatan 1, anak-anak Bhayangkara entah ngapain di barak kegiatan tiga.

Phuah! Sumpek banget. Materinya juga nggak asyik. Dalam kondisi begitu, aku memilih menulis pengalaman jeritan malam di sudut paling belakang. Lumayan, dapat lima setengah halaman. Setidaknya bebanku sedikit berkurang, menuliskan semua pengalaman ini untuk pelajaran Bahasa Indonesia.

No comments

Powered by Blogger.