Tentang Jilbabku
Beberapa kali aku ditanya dengan pertanyaan yang sama, "Sejak kapan sih pakai jilbab?" Maka aku juga punya jawaban pasti untuk itu: 20 September 2004. Tanggal yang kalaupun lupa, aku masih bisa browsing, soalnya bertepatan dengan big event pemilihan presiden putaran kedua (yang sampai 2014 ini merupakan satu-satunya masa pemilihan presiden hingga putaran 2). Hehehe...
Kok bisa hafal banget, sih?
Begini ceritanya.
Sejak kecil, aku sudah terbiasa melihat ibuku pakai jilbab ke mana-mana. Sebenarnya, ibuku sendiri mulai pakai jilbab saat aku menginjak usia yang memungkinkanku pada saat ini untuk mulai mengingat kejadian dalam hidupku (nah lho, mudeng nggak?). Bahasa awamnya sih, pas aku udah mulai sadar kalau aku hidup! Ya... sekitar dua tahunan lah (pastinya aku sendiri nggak ingat).
Kembali ke laptop! Yang jelas, usia 3 tahun aku udah mulai masuk TPQ, jadi pastinya udah dikasih jilbab tiap kali ngaji, dan pas milad keempat, keluargaku mengadakan "pesta" yang menjadi ajang pembuktian kemampuanku baca Al Qur'an, mengingat teman-teman wisuda Iqro' yang seangkatan denganku udah usia SD ke atas. So pasti waktu itu dresscode-ku adalah busana muslim. Dan meskipun jenjang TK yang aku masuki bernama RA (jelas-jelas mengidentifikasinya sebagai sekolah Islam), seragam yang diberikan sekolah justru berlengan pendek dan rok/celana pendek, kecuali Jum'at. Biarpun begitu, tiap Kamis (entah Rabu juga atau tidak) aku membedakan seragamku dengan jilbab putih. Waktu itu rasanya bangga banget bisa pakai jilbab maski dengan baju pendek.
Kebiasaan itu berlanjut hingga SD, dengan intensitas meningkat. Aku pakai jilbab tiap Selasa, Rabu, Kamis. FYI, sama seperti jaman TK, meski labelnya SD Islam, waktu itu seragam yang dikenakan masih berlengan dan rok/celana pendek kecuali Jum'at. Meski begitu, kebiasaanku pakai jilbab di luar "jadwal" seragam busana muslim itu mendapat dukungan dari guru kelasku. Bahkan, waktu melihatku hari Senin tanpa jilbab (dengan alasan karena Senin ada upacara), beliau menegur, "Jilbabnya ke mana?"
Alhamdulillah, sekolah secara bertahap mulai "menjilbabi" siswi-siswinya. Sampai aku kelas 4, tinggal seragam pramuka dan olahraga yang, meskipun sudah diganti dengan lengan dan celana panjang, masih belum menggerakkan siswi-siswinya untuk berjilbab. Aku ingat betul, saat teman-teman sudah keluar dari ruang ganti baju olahraga, aku bersepakat dengan Nurul untuk tetap memakai jilbab seragam sekolah.
Dan ternyata, waktu kelas 6, seragam olahraga sudah dilengkapi dengan jilbab, sehingga hanya menyisakan seragam pramuka yang belum "berjilbab", padahal seluruh adik-adik kelas kami sudah berseragam jilbab (katanya sih gara-gara kalau kelas 6 ganti seragam nanggung). Kembali, hanya aku dan Nurul yang tetap berjilbab selama 6 hari. Nurul sendiri justru melengkapi komitmennya dengan mengganti dengan seragam panjang, kecuali seragam identitas yang memang berlengan pendek tapi dengan rok panjang (salut dah buat dia!). Jadi lucu juga sebenarnya, seragamnya berlengan dan rok pendek, tapi pakai kerudung!
Meski demikian, seperti banyak orang-orang dewasa yang kutemui, jilbabku sekadar kalau sekolah dan berpergian. Kalau di rumah, aku lebih suka pakai celana pendek. Hihihi... Bahkan sampai kelas 4, setelan favoritku untuk jalan-jalan adalah celana jeans dan kaos pendek! Termasuk waktu berangkat ekskul drumband. Untungnya, waktu kelas 6 aku udah lebih sering pakai jilbab buat jalan-jalan.
Saat kelas 6, aku meng-azzam-kan, aku mau pakai jilbab mulai SMP. Yeah! Jadi waktu aku diterima di SMP negeri terfavorit se-Kabupaten Semarang, aku pesan bahan lengan panjang untuk seragamku.
Akan tetapi, azam itu ternyata sulit, sodara-sodara! Aku cuma berhasil pakai jilbab kalau di sekolah dan berpergian, hampir seperti jaman SD. Untuk sekadar berjalan-jalan dalam radius satu kilometer dari rumah, aku masih merasa aneh kalau harus pakai jilbab. Untuk sekolah pun, jilbabku masih di atas dada. Pernah sekali, karena kegerahan, aku melilitkan jilbabku di sekeliling leher, dan sempat tersinggung saat disindir seorang temanku, "Bukannya jilbab harusnya nutup dada?" Padahal dia sendiri belum pakai jilbab, dan pernah menantangku untuk menyebutkan dalil wajibnya jilbab!
Kepindahanku ke SMPIT pertama di Kabupaten Semarang (hanya setengah bulan setelah aku resmi menjadi siswa SMP!) juga belum berhasil menjilbabiku ketika pergi tidak jauh dari rumah. Trus kapan dong aku bisa mulai menjalankan tekadku untuk segera berjilbab secara utuh?
* * *
Malam menjelang pemilihan presiden putaran kedua, aku kedapatan sedang haid. What?!
Kejadian itu bikin aku shock, gugup, dan ngeri. Soalnya aku sadar, dosa-dosaku pada akhirnya sudah kutanggung sendiri sepenuhnya. Belum siaaaaaap!!!
Biasanya, aku semangat banget untuk mengikuti proses perhitungan suara di TPS belakang rumah. Tapi kali ini... aku panik sendiri. Aneh nggak, ya, kalau aku keluar pakai jilbab, padahal biasanya nggak? Tapi kalau nggak pakai, gue jelas dosa, dan itu dosa gue sendiri yang tanggung! Atau nggak keluar aja? Tapi aku bener-bener penasaran sama hasil pemilihan.
Walhasil, keluarlah aku pakai kaos lengan pendek, celana panjang, plus jilbab yang menutupi dada. Bukan apa-apa, tapi jilbab itu kugunakan untuk menyembunyikan lengan! Hahaha...
Tapi ternyata juga nggak ada tuh yang bilang "wow" terhadap jilbabku. Mungkin karena orang-orang udah tahu kalau ibuku pakai jilbab, jadi mungkin biasa aja kalau aku juga pakai jilbab. Dan fakta itu menyemangatiku. Selama beberapa waktu, setelan favoritku untuk berpergian adalah celana panjang, lengan panjang, dan jilbab yang (karena belum tahu) sekadar menutup dada.
Itupun tidak berlangsung lama. Di akhir kelas 7, aku udah mulai pakai rok dan kaos kaki kalau berpergian, dengan jilbab kelebaran (bener-bener kelebaran, soalnya badanku waktu itu kecil banget, walaupun mulai "membengkak" ke samping). Jadi aku sempat risih waktu libur lebaran, niatnya cuma pergi ke tempat yang nggak terlalu jauh, ternyata setelah itu langsung diajak jalan-jalan ke Dieng, dan aku pakai celana panjang tanpa rok! Memang, sih, kalau cuma pergi tak terlalu jauh, aku masih seenaknya dengan pakai celana panjang. Untungnya waktu itu aku pakai kaos kaki.
Begitulah, selanjutnya hingga SMA aku bercelana panjang hanya saat di sekeliling rumah, renang, dan pelajaran Olahraga (di SMP-ku sebenarnya para siswi tetap pakai rok selama Olahraga, tapi khusus untuk ujian praktik akhir Olahraga, kami dipinjami celana panjang longgar oleh para guru, gara-gara ujian SMP-ku menginduk di SMP negeri terdekat). Di luar itu, aku pakai rok. Tak jarang pula aku di sekeliling rumah pakai rok. Baru istiqomah pakai rok untuk sekadar jalan-jalan sekeliling rumah sejak kuliah, dan sejak kuliah pun dalam mata kuliah Olahraga aku tetap lebih nyaman pakai rok.
Sejak SMP, aku sudah nyaman untuk merangkap dengan celana panjang di dalam rok. Mulanya sih gara-gara rok pas SMP sering banget sobek pinggir, hahaha... Tapi berhubung cukup lama juga pakai celana panjang dalam rok, lama-lama jadi risih sendiri kalau nggak dirangkap celana panjang. Lagipula, pakai celana panjang juga bikin lebih bebas gerak, misalnya rok tersingkap tanpa sengaja waktu naik tangga atau naik motor.
* * *
Awal-awal pakai jilbab lebar dulu, aku sering risih kalau lihat orang-orang yang pakai jilbab lilit, atau model jilbab lain yang pendek. Lalu perlahan aku mulai menyadari, apalagi setelah melihat fenomena hijabers, kalau untuk berjilbab syar'i memang butuh proses. Lagipula, aku sendiri juga berproses untuk berjilbab syar'i. Hingga kini, aku amat bersyukur bahwa ortu udah mengambil keputusan untuk memindahkanku dari SMP negeri ke SMPIT, dan aku dengan amat gembira menyambutnya. Kalau aku tak pernah masuk SMPIT, mungkin hidayah itu belum sampai padaku hingga saat ini.
Ya, untuk berjilbab syar'i memang butuh proses. Tapi jangan kelamaan berprosesnya, ya... Jangan juga jadikan "proses" itu sebagai alasan buat terus menunda berjilbab, atau untuk mengenakan jilbab adik kita... :)
Kok bisa hafal banget, sih?
Begini ceritanya.
Sejak kecil, aku sudah terbiasa melihat ibuku pakai jilbab ke mana-mana. Sebenarnya, ibuku sendiri mulai pakai jilbab saat aku menginjak usia yang memungkinkanku pada saat ini untuk mulai mengingat kejadian dalam hidupku (nah lho, mudeng nggak?). Bahasa awamnya sih, pas aku udah mulai sadar kalau aku hidup! Ya... sekitar dua tahunan lah (pastinya aku sendiri nggak ingat).
Kembali ke laptop! Yang jelas, usia 3 tahun aku udah mulai masuk TPQ, jadi pastinya udah dikasih jilbab tiap kali ngaji, dan pas milad keempat, keluargaku mengadakan "pesta" yang menjadi ajang pembuktian kemampuanku baca Al Qur'an, mengingat teman-teman wisuda Iqro' yang seangkatan denganku udah usia SD ke atas. So pasti waktu itu dresscode-ku adalah busana muslim. Dan meskipun jenjang TK yang aku masuki bernama RA (jelas-jelas mengidentifikasinya sebagai sekolah Islam), seragam yang diberikan sekolah justru berlengan pendek dan rok/celana pendek, kecuali Jum'at. Biarpun begitu, tiap Kamis (entah Rabu juga atau tidak) aku membedakan seragamku dengan jilbab putih. Waktu itu rasanya bangga banget bisa pakai jilbab maski dengan baju pendek.
Kebiasaan itu berlanjut hingga SD, dengan intensitas meningkat. Aku pakai jilbab tiap Selasa, Rabu, Kamis. FYI, sama seperti jaman TK, meski labelnya SD Islam, waktu itu seragam yang dikenakan masih berlengan dan rok/celana pendek kecuali Jum'at. Meski begitu, kebiasaanku pakai jilbab di luar "jadwal" seragam busana muslim itu mendapat dukungan dari guru kelasku. Bahkan, waktu melihatku hari Senin tanpa jilbab (dengan alasan karena Senin ada upacara), beliau menegur, "Jilbabnya ke mana?"
Alhamdulillah, sekolah secara bertahap mulai "menjilbabi" siswi-siswinya. Sampai aku kelas 4, tinggal seragam pramuka dan olahraga yang, meskipun sudah diganti dengan lengan dan celana panjang, masih belum menggerakkan siswi-siswinya untuk berjilbab. Aku ingat betul, saat teman-teman sudah keluar dari ruang ganti baju olahraga, aku bersepakat dengan Nurul untuk tetap memakai jilbab seragam sekolah.
Dan ternyata, waktu kelas 6, seragam olahraga sudah dilengkapi dengan jilbab, sehingga hanya menyisakan seragam pramuka yang belum "berjilbab", padahal seluruh adik-adik kelas kami sudah berseragam jilbab (katanya sih gara-gara kalau kelas 6 ganti seragam nanggung). Kembali, hanya aku dan Nurul yang tetap berjilbab selama 6 hari. Nurul sendiri justru melengkapi komitmennya dengan mengganti dengan seragam panjang, kecuali seragam identitas yang memang berlengan pendek tapi dengan rok panjang (salut dah buat dia!). Jadi lucu juga sebenarnya, seragamnya berlengan dan rok pendek, tapi pakai kerudung!
Meski demikian, seperti banyak orang-orang dewasa yang kutemui, jilbabku sekadar kalau sekolah dan berpergian. Kalau di rumah, aku lebih suka pakai celana pendek. Hihihi... Bahkan sampai kelas 4, setelan favoritku untuk jalan-jalan adalah celana jeans dan kaos pendek! Termasuk waktu berangkat ekskul drumband. Untungnya, waktu kelas 6 aku udah lebih sering pakai jilbab buat jalan-jalan.
Saat kelas 6, aku meng-azzam-kan, aku mau pakai jilbab mulai SMP. Yeah! Jadi waktu aku diterima di SMP negeri terfavorit se-Kabupaten Semarang, aku pesan bahan lengan panjang untuk seragamku.
Akan tetapi, azam itu ternyata sulit, sodara-sodara! Aku cuma berhasil pakai jilbab kalau di sekolah dan berpergian, hampir seperti jaman SD. Untuk sekadar berjalan-jalan dalam radius satu kilometer dari rumah, aku masih merasa aneh kalau harus pakai jilbab. Untuk sekolah pun, jilbabku masih di atas dada. Pernah sekali, karena kegerahan, aku melilitkan jilbabku di sekeliling leher, dan sempat tersinggung saat disindir seorang temanku, "Bukannya jilbab harusnya nutup dada?" Padahal dia sendiri belum pakai jilbab, dan pernah menantangku untuk menyebutkan dalil wajibnya jilbab!
Kepindahanku ke SMPIT pertama di Kabupaten Semarang (hanya setengah bulan setelah aku resmi menjadi siswa SMP!) juga belum berhasil menjilbabiku ketika pergi tidak jauh dari rumah. Trus kapan dong aku bisa mulai menjalankan tekadku untuk segera berjilbab secara utuh?
* * *
Malam menjelang pemilihan presiden putaran kedua, aku kedapatan sedang haid. What?!
Kejadian itu bikin aku shock, gugup, dan ngeri. Soalnya aku sadar, dosa-dosaku pada akhirnya sudah kutanggung sendiri sepenuhnya. Belum siaaaaaap!!!
Biasanya, aku semangat banget untuk mengikuti proses perhitungan suara di TPS belakang rumah. Tapi kali ini... aku panik sendiri. Aneh nggak, ya, kalau aku keluar pakai jilbab, padahal biasanya nggak? Tapi kalau nggak pakai, gue jelas dosa, dan itu dosa gue sendiri yang tanggung! Atau nggak keluar aja? Tapi aku bener-bener penasaran sama hasil pemilihan.
Walhasil, keluarlah aku pakai kaos lengan pendek, celana panjang, plus jilbab yang menutupi dada. Bukan apa-apa, tapi jilbab itu kugunakan untuk menyembunyikan lengan! Hahaha...
Tapi ternyata juga nggak ada tuh yang bilang "wow" terhadap jilbabku. Mungkin karena orang-orang udah tahu kalau ibuku pakai jilbab, jadi mungkin biasa aja kalau aku juga pakai jilbab. Dan fakta itu menyemangatiku. Selama beberapa waktu, setelan favoritku untuk berpergian adalah celana panjang, lengan panjang, dan jilbab yang (karena belum tahu) sekadar menutup dada.
Itupun tidak berlangsung lama. Di akhir kelas 7, aku udah mulai pakai rok dan kaos kaki kalau berpergian, dengan jilbab kelebaran (bener-bener kelebaran, soalnya badanku waktu itu kecil banget, walaupun mulai "membengkak" ke samping). Jadi aku sempat risih waktu libur lebaran, niatnya cuma pergi ke tempat yang nggak terlalu jauh, ternyata setelah itu langsung diajak jalan-jalan ke Dieng, dan aku pakai celana panjang tanpa rok! Memang, sih, kalau cuma pergi tak terlalu jauh, aku masih seenaknya dengan pakai celana panjang. Untungnya waktu itu aku pakai kaos kaki.
Begitulah, selanjutnya hingga SMA aku bercelana panjang hanya saat di sekeliling rumah, renang, dan pelajaran Olahraga (di SMP-ku sebenarnya para siswi tetap pakai rok selama Olahraga, tapi khusus untuk ujian praktik akhir Olahraga, kami dipinjami celana panjang longgar oleh para guru, gara-gara ujian SMP-ku menginduk di SMP negeri terdekat). Di luar itu, aku pakai rok. Tak jarang pula aku di sekeliling rumah pakai rok. Baru istiqomah pakai rok untuk sekadar jalan-jalan sekeliling rumah sejak kuliah, dan sejak kuliah pun dalam mata kuliah Olahraga aku tetap lebih nyaman pakai rok.
Sejak SMP, aku sudah nyaman untuk merangkap dengan celana panjang di dalam rok. Mulanya sih gara-gara rok pas SMP sering banget sobek pinggir, hahaha... Tapi berhubung cukup lama juga pakai celana panjang dalam rok, lama-lama jadi risih sendiri kalau nggak dirangkap celana panjang. Lagipula, pakai celana panjang juga bikin lebih bebas gerak, misalnya rok tersingkap tanpa sengaja waktu naik tangga atau naik motor.
* * *
Awal-awal pakai jilbab lebar dulu, aku sering risih kalau lihat orang-orang yang pakai jilbab lilit, atau model jilbab lain yang pendek. Lalu perlahan aku mulai menyadari, apalagi setelah melihat fenomena hijabers, kalau untuk berjilbab syar'i memang butuh proses. Lagipula, aku sendiri juga berproses untuk berjilbab syar'i. Hingga kini, aku amat bersyukur bahwa ortu udah mengambil keputusan untuk memindahkanku dari SMP negeri ke SMPIT, dan aku dengan amat gembira menyambutnya. Kalau aku tak pernah masuk SMPIT, mungkin hidayah itu belum sampai padaku hingga saat ini.
Ya, untuk berjilbab syar'i memang butuh proses. Tapi jangan kelamaan berprosesnya, ya... Jangan juga jadikan "proses" itu sebagai alasan buat terus menunda berjilbab, atau untuk mengenakan jilbab adik kita... :)
gantian ngrusuh aaah :3
ReplyDeletepertama, gue seneng banget klo foto jepretan gue dipake orang, apalagi klo g bilang-bilang, itu kejutan! serius gue, haha
kedua, menginduk SMP negeri terdekat, SMP mana tuh? hahaha :b
Haha, itu foto emang keren banget, mil. Cuma sekarang baru nyadar, kalo foto2nya blur semua -_- SURPRISE! :D
ReplyDeleteKedua... lu sebutin gih! :p