The 10: A Ranking of the Most Influential Book in My History (Part 3)
Sebelum membongkar beberapa buku lagi, gue mau sedikit memberi tahu perbedaan buku-buku yang ngaruh sama hidup gue dibandingkan buku-buku yang (katanya) "membawa pelangi ke dalam hidup" si UmmiL, bocah yang menjadi terdakwa dalam kasus penyeretan gue dalam tantangan ini. Buku dia lebih banyak berisi nonfiksi, macam buku pelajaran, buku Undang-Undang, serial agama, kamus, bahkan diary. Sementara punya gue, didominasi oleh buku-buku fiksi, baik itu novel, novelet (jauh lebih pendek dibandingkan novel tapi lebih panjang dibandingkan cerpen), maupun kumcer/serial. Dari 5 besar sebelumnya, baru 2 buku nonfiksi: Al Qur'an dan SOP.
Di bagian ini, gue mau nambahin beberapa buku lagi, yang juga mayoritas berupa novel atau kisah. Cekidot, Bro!
6. Harry Potter
I believe that everybody knows about this legendary books written by J.K. Rowling. In these boooks, she narrated a story of a little wizard named Harry Potter, and all his adventure in Hogwarts School of Witchcraft and Wizardry and attempt to defeat his sworn enemy Lord Voldemort. Sepanjang keseluruhan seri, yang terdiri dari 7 buku, intinya sebenernya cuma dua hal itu. Tapi, yang menarik bagi gue, Rowling bisa menggambarkan kejadian kecil sehari-hari yang sebenernya nggak penting dengan sangat luwes, sehingga pembaca bisa merasakan kejadian biasa itu terintegrasi dengan keseluruhan cerita. Bandingkan dengan novel-novel lain, yang seringkali penggambaran aktivitas kecil sehari-hari terasa dipaksakan penulis sekadar untuk menunjukkan bahwa si tokoh (utama atau bukan) melakukan aktivitas lain di luar inti alur cerita, dan ini membuat pembaca merasa bahwa tanpa bagian itu pun alur cerita masih bisa berjalan. Bahkan tak jarang, kejadian-kejadian kecil itu, yang diceritakan Rowling sambil lalu sesuai sudut pandang tokoh utama, ternyata memiliki impact yang besar dalam pemecahan misteri berikutnya. Sedangkan penulis-penulis lain biasanya berusaha memberi kode bagi pembaca bahwa kejadian kecil yang dialami si tokoh akan berpengaruh dalam membuka alur berikutnya, dan ini membuat pembaca udah bisa nebak duluan alurnya nanti bakal seperti apa.
Gue mulai baca buku ini sejak kelas 4 SD, dan terus mengikuti perkembangannya sampai buku ke-7, bahkan menambah dengan buku-buku "penunjang" macam Quidditch dari Masa ke Masa (atau Quidditch through the Ages dalam bahasa aslinya) dan Hewan-Hewan Fantastis dan di Mana Mereka Bisa Ditemukan (atau, dalam bahasa aslinya, Fantastic Beasts and Where to Find Them) yang dalam serial utama diceritakan sebagai buku yang dibaca Harry Potter di Hogwarts. Gue memecahkan rekor kecepatan baca gue sendiri ketika membaca terjemahan buku kelima, Harry Potter and the Order of Phoenix, dengan membaca buku setebal 1.200 halaman itu dalam waktu DUA HARI. Waktu itu gue masih dalam masa transisi dari siswa SD menuju siswa SMP (halah!), alias baca pas liburan, hehehe.... Sampai saat ini pun gue belum berhasil mematahkan rekor tersebut.
Di rumah gue juga ada buku 1-4 Harry Potter yang asli, alias versi British, dan gue juga lumayan sering baca versi Inggris itu. Padahal gue sebenernya paling enek sama yang namanya reading kalau lagi pelajaran maupun ujian Bahasa Inggris, jauh lebih nggak suka dibandingkan listening (yang, walaupun kuping gue sering error buat dengerin, setidaknya conversation yang digunakan to the point dan nggak panjang-panjang amat). Pas gue nggak bisa nemuin terjemahan buku ke-6 yang gue punya, gue nekat baca e-book versi bahasa Inggris-nya, dan ternyata kenyamanan gue membaca bahasa asing itu nggak berkurang jauh dibandingkan kalau gue baca terjemahannya. Dari Harry Potter berbahasa asli inilah gue akhirnya menemukan banyak banget istilah-istilah percakapan dalam bahasa Inggris, yang kadang nggak gue dapat dalam pelajaran maupun kursus yang gue ikuti.
Selain bukunya, gue juga suka nonton filmnya, dengan catatan: khusus film pertama (film kedua sampai ketujuh part 2 udah melenceng jauh dari novelnya). Saking seringnya nonton sejak film pertama ini rilis, gue sampai bisa menangkap hampir tiap kata yang diucapkan para pemerannya, dan gue iseng-iseng ganti subtitle bahasa Indonesia format .srt yang gue punya dengan apa yang gue dengar dari dialognya yang berbahasa Inggris. Bahkan intonasi bicara para tokohnya gue sampai hafal. Kalau versi buku mengajarkan gue membaca buku berbahasa Inggris dengan nyaman dan nambah vocab (pasif), versi film mengajarkan gue speaking dan listening dengan logat British (aktif).
7. Komik Mahabharata
Komik ini disusun oleh RA Kosasih, dan yang dulu gue baca punya 4 seri Mahabharata plus 3 seri Bharatayudha. Awalnya bapak gue yang minjem entah dari temennya atau muridnya, yang jelas sebelum dibalikin, keempat seri Mahabharata itu difotokopi dulu, sementara seri Bharatayudha belum sempat dikopi, dan bikin gue kangen sampai sekarang. Dulu difotokopi soalnya gue gandrung banget sama tuh buku, komik paling asyik yang pernah gue baca. Oya, gue mulai baca buku itu sejak kelas 3 SD.
Sesuai judulnya, komik ini menceritakan kisah-kisah Mahabharata, dimulai sejak jaman Prabu Santanu sampai selesainya perang Bharata alias Bharatayudha. Meskipun RA Kosasih menyebutkan kalau buku ini menggunakan versi asli dari India (dan gue akuin emang banyak kisah yang diambil dari versi India dibandingkan versi Jawa), tapi sebenarnya versi Jawa-nya masih kental banget. Kisah-kisah yang lebih sesuai dengan versi India antara lain bahwa Srikandi sama sekali bukan istri Arjuna (bahkan pada usia menikah dia berubah jadi laki-laki), istri Arjuna cuma ada 3 (dari versi aslinya 4) bukannya puluhan, ketiadaan Punakawan, dan nama-nama yang digunakan juga banyak yang mengacu pada nama asli (misal Yudistira bukan Puntadewa, Arjuna bukan Janaka, Indraprasta bukan Amarta). Sementara nuansa wayang Jawa kental pada kisah pernikahan Madrim dan Gandhari, kelahiran Karna yang dari telinga, serta yang paling menonjol adalah pernikahan Drupadi hanya dengan Yudhistira (dalam versi India, Drupadi menikah dengan kelima Pandawa, tapi oleh Sunan Kalijaga kemudian diubah agar Drupadi hanya menikahi Yudhistira, karena poliandri tidak sesuai dengan syari'at Islam).
"Tabrakan" versi itulah yang kadang membuat gue sedikit bingung ketika pelajaran Bahasa Jawa, karena cerita wayang yang dikisahkan dalam buku jelas-jelas versi Jawa, dengan segala gubahannya. Tapi secara umum, pengetahuan dasar gue tentang Mahabharata memudahkanku memahami cerita wayang, karena pakem alurnya pasti sama. Sementara temen-temen lebih sering bingung dengan pewayangan, gue justru menikmati ketika pembahasan pelajaran masuk bab ini. Sejauh ini cuma satu yang paling belum gue kuasai adalah bentuk-bentuk wayang kulit. -_-"
Kesukaan gue pada wiracarita Mahabharata tidak hanya pada versi komik. Ketika gue nonton Mahabharata versi BR Chopra, gue langsung suka banget dan mulai memahami cerita ini dari versi India. Seringkali hal tersebut dianggap aneh sama temen-temen gue. Tapi semua itu berubah sejak Mahabharata yang diproduksi Star Plus ditayangkan oleh salah satu stasiun TV swasta dan banyak orang yang akhirnya suka nonton Mahabharata, meski didasari oleh cakepnya para pemerannya (hueeek!), padahal bagi gue, versi terbaru ini nggak terlalu asyik dibandingkan versi Chopra.
Sebetulnya, salah satu hal yang paling bikin gue suka Mahabharata adalah konspirasi di dalam kisahnya. Perebutan kekuasaan yang terjadi dan segala intrik yang direkayasa para tokohnya mengingatkan gue akan konspirasi dewasa ini. Padahal kisah Mahabharata dibuat jauh pada masa kuno. Maka kita akan menyadari, bahwa dari masa ke masa, konspirasi semacam ini akan terus berlangsung, dan kita bisa berkaca pada kisah Mahabharata tentang bagaimana orang yang jujur dan ksatria akan selalu berusaha dipecundangi oleh mereka yang zalim dan menginginkan kekuasaan untuk hal yang keliru, tetapi pada akhirnya kebenaran akan memunculkan dirinya.
Satu hal lagi pelajaran yang bisa diambil dari Mahabharata: bahwa dalam kondisi tertentu, perang menjadi suatu kebutuhan. Banyak kalangan yang mengatakan kelompok Islam tertentu menyukai tindakan terorisme, misalnya, bahwa Islam mengajarkan perang yang sebetulnya dibenci, ketika kelompok ini mendukung perang Palestina melawan Israel dibanding melakukan usaha-usaha diplomatis untuk menyelesaikan konflik. Tapi cobalah lihat Bharatayudha: perang ini sering disebut sebagai salah satu perang terbesar karena melibatkan hampir seluruh kerajaan di wilayah India, memakan ribuan korban pasukan, padahal secara teknis, perselisihan hanya terjadi antara Pandawa dan Kurawa yang sebenarnya sepupu. Tak sedikit pula kalangan yang menyayangkan terjadinya perang ini, padahal ada Krishna yang diyakini sebagai jelmaan Dewa Wisnu tapi tidak mencegah terjadinya perang. Bahkan Gandhari mengutuk Krishna karena tidak mencegah perang terjadi, yang katanya seharusnya bisa menghindarkan perang yang merenggut nyawa 100 putra Gandhari. Tapi Krishna mengatakan, bahwa perang diperlukan untuk menunjukkan kebenaran dan mengalahkan kejahatan, karena jalan damai pernah ditempuh namun gagal. Begitu juga Yudhistira, sulung Pandawa yang sabarnya bukan main (sampai kadang nyebelin), yang ketika ditindas dan istrinya berusaha ditelanjangi di depan tahta Hastina dia masih diam saja, tetapi ketika memang perang ini harus dilakukan, dia pun menerima perang itu sebagai kebutuhan dan memerankan perannya dengan baik. Arjuna sempat ragu-ragu untuk menyerang kakeknya sendiri, keluarganya sendiri, maka Krishna menghilangkan keraguan itu dengan Bagawad Gita. Dan semua orang pun akhirnya memahami kebutuhan perang itu dalam Mahabharata, dan gue belum pernah denger orang yang benci perang dan mengutuk Bharatayudha. Tapi kenapa, kalau kaum muslimin yang angkat senjata untuk melawan musuh yang jelas-jelas menyerang duluan (sementara umat Islam sendiri pun sebenarnya juga nggak suka perang), malah dibilang teroris? Coba bilang kalau Krishna dan Pandawa itu teroris karena pada akhirnya tidak mencegah terjadinya perang!
Dan masih banyak lagi realita Mahabharata pada jaman sekarang, tapi butuh tulisan khusus buat membahasnya. Semoga gue masih dikasih waktu buat menuliskannya. ^_^
8. Diary Pengantin
Dor! Ketahuan kalo suka baca ginian, hahaha...
Upks! Sebenernya gue berencana sampai nomor 7 aja di bagian ini karena udah kepanjangan, cuma akhirnya gue putuskan mau naruh buku ini di akhir part buat cooling down habis gue bahas konspirasi dan perang di atas. Agak njegleg juga sih sebenernya...
Buku ini dibagi jadi dua bagian: bagian pertama ditulis oleh Bu Izzatul Jannah (Ije)tentang suka-duka mengarungi pernikahan, bagian kedua ditulis oleh Bu Robi'ah Al Adawiyah (yang sering dipanggil Bu Vida) berisi renungan pra-pernikahan. Fiksi sih, cuma gue punya dugaan kuat kalo kedua ceritanya berlandaskan pengalaman pribadi masing-masing penulisnya. Buku ini juga salah satu buku yang sukses ngomporin gue jadi pengin nikah. Hehehe...
Tapi, frase "pengin nikah" itu justru disindir Bu Vida dalam buku ini. Lewat tokoh utama beliau mengatakan, ingin menikah itu tidak sama dengan siap menikah. Siap menikah berarti kita siap nerima siapa pun yang diberikan Allah sebagai jodoh kita, bahwa nikah itu tidak terisi hanya oleh romantisme belaka. Maka buku ini nggak hanya jadi kompor yang bisa nyala nggak bisa padam, kompor ini dilengkapi dengan pemantik yang bisa mengontrol atau bahkan mematikan api kalau menyala terlalu panas. :D
Gue baca buku ini pertama kali (seinget gue) waktu gue SMP. Tapi waktu itu gue lebih tertarik pada teori psikologi yang dicantumkan Bu Ije dalam bagian tulisannya. Memang, Bu Ije mencantumkan teori itu sebagai jembatan yang menghubungkan laki-laki dan perempuan dalam konteks pernikahan, tapi ada beberapa yang bisa berlaku secara umum. Salah satunya adalah tes kepribadian yang mendeteksi apakah seseorang itu tergolong koleris, sanguinis, plegmatis, atau melankolis (dan pas gue coba, gue termasuk koleris-melankolis). Salah duanya, tes kecenderungan dominasi otak kanan ataupun kiri (gue lupa, bagian ini gue lebih cocok yang mana). Nggak tahu juga apakah bermula dari situ, yang jelas sampai sekarang gue juga tertarik sama psikologi sejenis ini.
(to be continued...)
Part 1 | Part 2 | Part 3 | Part 4
Di bagian ini, gue mau nambahin beberapa buku lagi, yang juga mayoritas berupa novel atau kisah. Cekidot, Bro!
6. Harry Potter
I believe that everybody knows about this legendary books written by J.K. Rowling. In these boooks, she narrated a story of a little wizard named Harry Potter, and all his adventure in Hogwarts School of Witchcraft and Wizardry and attempt to defeat his sworn enemy Lord Voldemort. Sepanjang keseluruhan seri, yang terdiri dari 7 buku, intinya sebenernya cuma dua hal itu. Tapi, yang menarik bagi gue, Rowling bisa menggambarkan kejadian kecil sehari-hari yang sebenernya nggak penting dengan sangat luwes, sehingga pembaca bisa merasakan kejadian biasa itu terintegrasi dengan keseluruhan cerita. Bandingkan dengan novel-novel lain, yang seringkali penggambaran aktivitas kecil sehari-hari terasa dipaksakan penulis sekadar untuk menunjukkan bahwa si tokoh (utama atau bukan) melakukan aktivitas lain di luar inti alur cerita, dan ini membuat pembaca merasa bahwa tanpa bagian itu pun alur cerita masih bisa berjalan. Bahkan tak jarang, kejadian-kejadian kecil itu, yang diceritakan Rowling sambil lalu sesuai sudut pandang tokoh utama, ternyata memiliki impact yang besar dalam pemecahan misteri berikutnya. Sedangkan penulis-penulis lain biasanya berusaha memberi kode bagi pembaca bahwa kejadian kecil yang dialami si tokoh akan berpengaruh dalam membuka alur berikutnya, dan ini membuat pembaca udah bisa nebak duluan alurnya nanti bakal seperti apa.
Gue mulai baca buku ini sejak kelas 4 SD, dan terus mengikuti perkembangannya sampai buku ke-7, bahkan menambah dengan buku-buku "penunjang" macam Quidditch dari Masa ke Masa (atau Quidditch through the Ages dalam bahasa aslinya) dan Hewan-Hewan Fantastis dan di Mana Mereka Bisa Ditemukan (atau, dalam bahasa aslinya, Fantastic Beasts and Where to Find Them) yang dalam serial utama diceritakan sebagai buku yang dibaca Harry Potter di Hogwarts. Gue memecahkan rekor kecepatan baca gue sendiri ketika membaca terjemahan buku kelima, Harry Potter and the Order of Phoenix, dengan membaca buku setebal 1.200 halaman itu dalam waktu DUA HARI. Waktu itu gue masih dalam masa transisi dari siswa SD menuju siswa SMP (halah!), alias baca pas liburan, hehehe.... Sampai saat ini pun gue belum berhasil mematahkan rekor tersebut.
Di rumah gue juga ada buku 1-4 Harry Potter yang asli, alias versi British, dan gue juga lumayan sering baca versi Inggris itu. Padahal gue sebenernya paling enek sama yang namanya reading kalau lagi pelajaran maupun ujian Bahasa Inggris, jauh lebih nggak suka dibandingkan listening (yang, walaupun kuping gue sering error buat dengerin, setidaknya conversation yang digunakan to the point dan nggak panjang-panjang amat). Pas gue nggak bisa nemuin terjemahan buku ke-6 yang gue punya, gue nekat baca e-book versi bahasa Inggris-nya, dan ternyata kenyamanan gue membaca bahasa asing itu nggak berkurang jauh dibandingkan kalau gue baca terjemahannya. Dari Harry Potter berbahasa asli inilah gue akhirnya menemukan banyak banget istilah-istilah percakapan dalam bahasa Inggris, yang kadang nggak gue dapat dalam pelajaran maupun kursus yang gue ikuti.
Selain bukunya, gue juga suka nonton filmnya, dengan catatan: khusus film pertama (film kedua sampai ketujuh part 2 udah melenceng jauh dari novelnya). Saking seringnya nonton sejak film pertama ini rilis, gue sampai bisa menangkap hampir tiap kata yang diucapkan para pemerannya, dan gue iseng-iseng ganti subtitle bahasa Indonesia format .srt yang gue punya dengan apa yang gue dengar dari dialognya yang berbahasa Inggris. Bahkan intonasi bicara para tokohnya gue sampai hafal. Kalau versi buku mengajarkan gue membaca buku berbahasa Inggris dengan nyaman dan nambah vocab (pasif), versi film mengajarkan gue speaking dan listening dengan logat British (aktif).
7. Komik Mahabharata
Komik ini disusun oleh RA Kosasih, dan yang dulu gue baca punya 4 seri Mahabharata plus 3 seri Bharatayudha. Awalnya bapak gue yang minjem entah dari temennya atau muridnya, yang jelas sebelum dibalikin, keempat seri Mahabharata itu difotokopi dulu, sementara seri Bharatayudha belum sempat dikopi, dan bikin gue kangen sampai sekarang. Dulu difotokopi soalnya gue gandrung banget sama tuh buku, komik paling asyik yang pernah gue baca. Oya, gue mulai baca buku itu sejak kelas 3 SD.
Sesuai judulnya, komik ini menceritakan kisah-kisah Mahabharata, dimulai sejak jaman Prabu Santanu sampai selesainya perang Bharata alias Bharatayudha. Meskipun RA Kosasih menyebutkan kalau buku ini menggunakan versi asli dari India (dan gue akuin emang banyak kisah yang diambil dari versi India dibandingkan versi Jawa), tapi sebenarnya versi Jawa-nya masih kental banget. Kisah-kisah yang lebih sesuai dengan versi India antara lain bahwa Srikandi sama sekali bukan istri Arjuna (bahkan pada usia menikah dia berubah jadi laki-laki), istri Arjuna cuma ada 3 (dari versi aslinya 4) bukannya puluhan, ketiadaan Punakawan, dan nama-nama yang digunakan juga banyak yang mengacu pada nama asli (misal Yudistira bukan Puntadewa, Arjuna bukan Janaka, Indraprasta bukan Amarta). Sementara nuansa wayang Jawa kental pada kisah pernikahan Madrim dan Gandhari, kelahiran Karna yang dari telinga, serta yang paling menonjol adalah pernikahan Drupadi hanya dengan Yudhistira (dalam versi India, Drupadi menikah dengan kelima Pandawa, tapi oleh Sunan Kalijaga kemudian diubah agar Drupadi hanya menikahi Yudhistira, karena poliandri tidak sesuai dengan syari'at Islam).
"Tabrakan" versi itulah yang kadang membuat gue sedikit bingung ketika pelajaran Bahasa Jawa, karena cerita wayang yang dikisahkan dalam buku jelas-jelas versi Jawa, dengan segala gubahannya. Tapi secara umum, pengetahuan dasar gue tentang Mahabharata memudahkanku memahami cerita wayang, karena pakem alurnya pasti sama. Sementara temen-temen lebih sering bingung dengan pewayangan, gue justru menikmati ketika pembahasan pelajaran masuk bab ini. Sejauh ini cuma satu yang paling belum gue kuasai adalah bentuk-bentuk wayang kulit. -_-"
Kesukaan gue pada wiracarita Mahabharata tidak hanya pada versi komik. Ketika gue nonton Mahabharata versi BR Chopra, gue langsung suka banget dan mulai memahami cerita ini dari versi India. Seringkali hal tersebut dianggap aneh sama temen-temen gue. Tapi semua itu berubah sejak Mahabharata yang diproduksi Star Plus ditayangkan oleh salah satu stasiun TV swasta dan banyak orang yang akhirnya suka nonton Mahabharata, meski didasari oleh cakepnya para pemerannya (hueeek!), padahal bagi gue, versi terbaru ini nggak terlalu asyik dibandingkan versi Chopra.
Sebetulnya, salah satu hal yang paling bikin gue suka Mahabharata adalah konspirasi di dalam kisahnya. Perebutan kekuasaan yang terjadi dan segala intrik yang direkayasa para tokohnya mengingatkan gue akan konspirasi dewasa ini. Padahal kisah Mahabharata dibuat jauh pada masa kuno. Maka kita akan menyadari, bahwa dari masa ke masa, konspirasi semacam ini akan terus berlangsung, dan kita bisa berkaca pada kisah Mahabharata tentang bagaimana orang yang jujur dan ksatria akan selalu berusaha dipecundangi oleh mereka yang zalim dan menginginkan kekuasaan untuk hal yang keliru, tetapi pada akhirnya kebenaran akan memunculkan dirinya.
Satu hal lagi pelajaran yang bisa diambil dari Mahabharata: bahwa dalam kondisi tertentu, perang menjadi suatu kebutuhan. Banyak kalangan yang mengatakan kelompok Islam tertentu menyukai tindakan terorisme, misalnya, bahwa Islam mengajarkan perang yang sebetulnya dibenci, ketika kelompok ini mendukung perang Palestina melawan Israel dibanding melakukan usaha-usaha diplomatis untuk menyelesaikan konflik. Tapi cobalah lihat Bharatayudha: perang ini sering disebut sebagai salah satu perang terbesar karena melibatkan hampir seluruh kerajaan di wilayah India, memakan ribuan korban pasukan, padahal secara teknis, perselisihan hanya terjadi antara Pandawa dan Kurawa yang sebenarnya sepupu. Tak sedikit pula kalangan yang menyayangkan terjadinya perang ini, padahal ada Krishna yang diyakini sebagai jelmaan Dewa Wisnu tapi tidak mencegah terjadinya perang. Bahkan Gandhari mengutuk Krishna karena tidak mencegah perang terjadi, yang katanya seharusnya bisa menghindarkan perang yang merenggut nyawa 100 putra Gandhari. Tapi Krishna mengatakan, bahwa perang diperlukan untuk menunjukkan kebenaran dan mengalahkan kejahatan, karena jalan damai pernah ditempuh namun gagal. Begitu juga Yudhistira, sulung Pandawa yang sabarnya bukan main (sampai kadang nyebelin), yang ketika ditindas dan istrinya berusaha ditelanjangi di depan tahta Hastina dia masih diam saja, tetapi ketika memang perang ini harus dilakukan, dia pun menerima perang itu sebagai kebutuhan dan memerankan perannya dengan baik. Arjuna sempat ragu-ragu untuk menyerang kakeknya sendiri, keluarganya sendiri, maka Krishna menghilangkan keraguan itu dengan Bagawad Gita. Dan semua orang pun akhirnya memahami kebutuhan perang itu dalam Mahabharata, dan gue belum pernah denger orang yang benci perang dan mengutuk Bharatayudha. Tapi kenapa, kalau kaum muslimin yang angkat senjata untuk melawan musuh yang jelas-jelas menyerang duluan (sementara umat Islam sendiri pun sebenarnya juga nggak suka perang), malah dibilang teroris? Coba bilang kalau Krishna dan Pandawa itu teroris karena pada akhirnya tidak mencegah terjadinya perang!
Dan masih banyak lagi realita Mahabharata pada jaman sekarang, tapi butuh tulisan khusus buat membahasnya. Semoga gue masih dikasih waktu buat menuliskannya. ^_^
8. Diary Pengantin
Dor! Ketahuan kalo suka baca ginian, hahaha...
Upks! Sebenernya gue berencana sampai nomor 7 aja di bagian ini karena udah kepanjangan, cuma akhirnya gue putuskan mau naruh buku ini di akhir part buat cooling down habis gue bahas konspirasi dan perang di atas. Agak njegleg juga sih sebenernya...
Buku ini dibagi jadi dua bagian: bagian pertama ditulis oleh Bu Izzatul Jannah (Ije)tentang suka-duka mengarungi pernikahan, bagian kedua ditulis oleh Bu Robi'ah Al Adawiyah (yang sering dipanggil Bu Vida) berisi renungan pra-pernikahan. Fiksi sih, cuma gue punya dugaan kuat kalo kedua ceritanya berlandaskan pengalaman pribadi masing-masing penulisnya. Buku ini juga salah satu buku yang sukses ngomporin gue jadi pengin nikah. Hehehe...
Tapi, frase "pengin nikah" itu justru disindir Bu Vida dalam buku ini. Lewat tokoh utama beliau mengatakan, ingin menikah itu tidak sama dengan siap menikah. Siap menikah berarti kita siap nerima siapa pun yang diberikan Allah sebagai jodoh kita, bahwa nikah itu tidak terisi hanya oleh romantisme belaka. Maka buku ini nggak hanya jadi kompor yang bisa nyala nggak bisa padam, kompor ini dilengkapi dengan pemantik yang bisa mengontrol atau bahkan mematikan api kalau menyala terlalu panas. :D
Gue baca buku ini pertama kali (seinget gue) waktu gue SMP. Tapi waktu itu gue lebih tertarik pada teori psikologi yang dicantumkan Bu Ije dalam bagian tulisannya. Memang, Bu Ije mencantumkan teori itu sebagai jembatan yang menghubungkan laki-laki dan perempuan dalam konteks pernikahan, tapi ada beberapa yang bisa berlaku secara umum. Salah satunya adalah tes kepribadian yang mendeteksi apakah seseorang itu tergolong koleris, sanguinis, plegmatis, atau melankolis (dan pas gue coba, gue termasuk koleris-melankolis). Salah duanya, tes kecenderungan dominasi otak kanan ataupun kiri (gue lupa, bagian ini gue lebih cocok yang mana). Nggak tahu juga apakah bermula dari situ, yang jelas sampai sekarang gue juga tertarik sama psikologi sejenis ini.
(to be continued...)
Part 1 | Part 2 | Part 3 | Part 4
ini mana yeeee final partnyaaa, busuk gue nunggu #enggak ding, kagak ade yg nunggu xD
ReplyDelete