Header Ads

Di Sebuah Perumahan (Bag. 1): "Setinggi Apapun Pendidikannya, Pasti Akan Pegang Sapu Juga"


Tak perlu lah kuceritakan kegiatan hari pertama Training for Trainer (TFT) untuk TANYA 2012. Soalnya kejadian paling seru dialami hari kedua, Ahad (29/4). Kisah ini diperankan oleh Ume, Kuni, Tety, Nida, Fitri, Tyas, dan aku. Harusnya ada Ely juga, tapi persis saat pemberangkatan, Ely harus ikut sidang baca buat DM2.

Pemberangkatan? Emang ke mana?

Jadi begini ceritanya, saudara-saudaraku sebangsa dan tanah air. Kami bertujuh ditutup matanya pake slayer, trus dinaikkan ke angkot yang sudah menunggu. Kalau belum kenal panitianya, bisa jadi kami berpikir akan dibawa ke suatu tempat, trus dicuci otak, balik-balik udah terpengaruh aliran sesat, atau membuka mata dan melihat tangan-kaki terikat ke kursi, telinga mendengar suara yang meminta tebusan pada orangtua kami. Ah, apaan sih ini?

Yang jelas, angkot itu menurunkan kami di suatu tempat yang aku belum tahu namanya, hanya tahu bahwa itu tidak jauh dari Undip karena waktu perjalanan yang singkat. Di tempat itu sudah menunggu Mb Yusi dan Mb Susi (dari suaranya sih gitu, gak tau kalo cuma rekaman atau apa). Mereka hanya menginstruksikan untuk membuka mata pada hitungan kesepuluh (hitung sendiri) setelah keduanya pergi dengan motor.

Kami bertujuh pun membuka mata, dan...

"Kok rasanya kenal?" ujarku de javu (artinya apa coba?).

Tujuh bidadari (cieee, make namanya air terjun kan boleh) ini ternyata terdampar di sebuah perumahan yang lumayan elit. Dan entah bagaimana (aku udah lupa) belakangan kita tahu kalau tempat itu adalah Srondol Bumi Indah (SBI).

Dari hasil diskusi di angkot tadi, kami sepakat, yang pertama kali harus kami cari adalah rumah Pak RT. Yang mejadi latar belakang kesepakatan itu adalah, panitia pasti sudah berkoordinasi dengan petugas RT setempat. Di sekitar tempat kami berdiri, bangunan yang paling bisa membantu kami saat ini adalah pos satpam. Maka beramai-ramai tujuh bidadari ini menyatroni pos satpam.

Fitri yang menjelaskan maksud "kedatangan tak diundang" kami ke dua satpam yang berjaga di pos. Ternyata kata Pak Satpam, RT di sekitar sini saja ada 8. Beliau menyarankan salah satu nama, katanya Pak RT yang itu orangnya muslim, baik.

Udah kayak orang ilang, kami berpindah tempat. Di depan rumah yang kami datangi, ada plang yang menunjukkan bahwa si pemilik rumah adalah ketua RT setempat. Saat pintu diketuk, seorang wanita tua membukakan pintu. Dengan bahasa kromo inggil, Fitri bercakap dengannya, dan mendapat informasi bahwa Pak RT sedang ke Tegal.

Gagal dengan misi pertama, kami akhirnya meniru kebiasaan amoeba: membelah diri. Tim pertama beranggotakan Fitri, Nida, dan Tyas, mereka mencari "mangsa" di sisi timur. Sisanya, kami berempat luntang-lantung di sisi barat.

Cukup susah juga mencari rumah yang terlihat ramah untuk menerima kami. Singkat cerita, sampailah kami pada sebuah rumah yang di depannya ada seorang adik kecil sedang diasuh oleh seorang wanita. Kami mendatangi wanita itu, memperkenalkan diri. Sepertinya dia bukan pemilik rumah, karena dia lantas masuk, berikutnya seorang ibu keluar. Jelas dia pemilik rumah ini.

Kami dipersilakan masuk, atau lebih tepatnya duduk di teras. Dengan nada memelas, Kuni menjelaskan maksud kedatangan empat gadis gak jelas ini. Bahwa kami sedang mengikuti training kepemimpinan, dan salah satu tugas kami adalah mendapatkan uang dari hasil bekerja selama tiga setengah jam. Kami menawarkan diri untuk membantu pekerjaan apa pun, entah itu nyapu, ngepel, cuci mobil, atau apa pun.

Sementara ketiga kawanku ini aktif bicara, hanya aku yang diam mengamati, sambil sesekali saja menimpali. Tapi waktu ibu itu nanya, "Ini siapa ketuanya?" mereka bertiga kompak banget nunjuk aku!

Aku udah mau protes keras, tapi buru-buru ingat buat jaga image di depan "calon majikan" ini. Kalau sampai malu-maluin, bukan hanya nama jilbaber yang tercoreng, tapi kami juga gak bakal dapat kerjaan!

Ibu itu lalu berceloteh banyak tentang simpati beliau bahwa mahasiswi seperti kami rela untuk "merendahkan diri" demi mendapat pekerjaan, sementara di luar sana, anak seumuran kami lebih suka hangout. Dan nasihat yang paling teringat, "Anak perempuan itu, setinggi apapun tingkat pendidikannya, nanti pasti akan pegang sapu juga. Akan kembali membersihkan rumah, mengurus anak... bla bla bla..."

Kami pun melihat secercah harapan dari ibu yang ternyata berasal dari Sunda tersebut.

"Tapi berhubung Ibu juga mau ada acara, Ibu minta izin berunding sebentar ya."

"Oh iya, Bu, silakan," jawab kami serempak.

Ditinggal sang pemilik rumah, aku yakin kalau ibu itu sedang bicara dengan anak atau khadimatnya... menanyakan pekerjaan rumah apa yang masih bisa dibantu oleh mahasiswi yang buat hangout pun gak laku ini.

Tak lama, sang ibu pun keluar.

(bersambung)

No comments

Powered by Blogger.