Header Ads

Pelajaran Keakhwatan Bab III: Hadhonah

[NOTE: Sebenernya gak kepikiran juga mau dibuat note, tapi gara-gara pertanyaan Ovi tentang ini, "Pelajaran keakhwatan bab berapa, Lul? Wkwkwk," jadi terinspirasi untuk menerbitkan tulisan ini]

==========================================================

Berbagai agenda membuatku udah gak sempat mikir agenda berikutnya yang akan dilakukan. Bahkan sampai membatalkan agenda demi agenda lain yang urgent dan important. Termasuk kejadian tentang jarkom agenda tarbawi satu ini, yang memang biasanya juga mendadak, bahkan bisa satu jam sebelumnya baru ada kepastian.

Sabtu (14/4) lalu, agendanya adalah "ngebolang" (minjem bahasanya Ume) ke Solo, ke tempat di mana Ovi memimpikan lingkaran itu di bawah pengaruh obat bius. Oleh karena itu, aku sempet "panik" juga, mengingat Ahad pagi agendanya adalah tarbawi, dan kalau dari Solo sebenernya males balik ke Tembalang. Hehe... Dan datanglah jarkom itu, bahwa agenda tarbawi yang dijadwalkan berlangsung Ahad, ternyata ditunda dulu, mengingat kesibukan Sang Murobbi. Tapi, menurut jarkom itu, kami dapat "penugasan hadhonah".

Sudah hampir 5 tahun gak mengenyam pendidikan bahasa Arab, kosa kata Arab-ku jadi agak ilang-ilang gitu. Paling yang diinget cuma "syukron", "afwan" (yang paling sering digunakan kalo mau ngeles, hehe), dan semacam itu aja. Jadilah aku agak nggak "ngeh" dengan kata "hadhonah", walaupun rasa-rasanya nggak asing. Niatnya tanya Ovi waktu ketemu, ndilalahnya pas nyampe Solo, udah lupa sama sekali soal penugasan itu.

Informasi yang kudapat berikutnya adalah bahwa penugasan itu dilaksanakan di LPMP. So, aku mikirnya hadhonah itu semacam pelatihan ato seminar apaaaa... gitu, dan kami disuruh datang. Informasi lagi, kami juga dipersilakan bawa boneka kalau punya, sebagai bahan. Semakin bingunglah daku, mikirnya kita mau suruh dongeng apa gimana sih?

Ahad sekitar jam 6.30 pagi, akhirnya aku berkesempatan buka leppy (yang udah berpisah dariku selama hampir 2 bulan) dan mencari informasi tentang "hadhonah". Dan ternyata, saudara-saudara... kutemukan beberapa fatwa dan dalil tentang hadhonah yang semuanya menjabarkan hak asuh anak!

Jadi, hadhonah itu mengasuh anak?

Di kepalaku langsung terbayang tulisan-tulisan tentang seminar yang pesertanya bawa anak kecil, dan anak-anaknya itu dititipkan sama akhwat-akhwat "di belakang layar" biar gak mengganggu konsentrasi orang tuanya. Dan kini, aku suruh momong "bayi-bayi" itu?

Jam 10.30 (telat 2 jam dari jadwal seharusnya) sampailah aku di LPMP Jawa Tengah. Begitu menyelesaikan langkah meniti tangga hingga ke lantai 3, aku pun menemukan beberapa akhwat yang menemani anak-anak kecil, antara dari bayi, balita, sampai paling tua kelas 3 SD. Di sekelilingnya, berserakan macam-macam mainan yang aku gak akan tahu namanya.

Aku pun bergerak mendekati salah satu bayi yang hanya membuka mata, gak jelas apakah dia masih berminat menatap dunia atau sudah ingin menjelajah dunia mimpi. Gak tau mau ngapain, suer!

Untungnya di dekat situ ada si Ulya, putrinya Bu Iis yang entah ke berapa (kok gak inget-inget, ya?), tapi jelas dia mengenaliku sebagai "Ammah yang pernah ikut ke pantai itu, ya?"

Wow, rasanya baru kali ini aku dipanggil "Ammah". Hehe... biasanya kan aku ogah dipanggil dengan Tante, Bibi, Bulik, Ammah, Bu, atau yang sejenis dengan tingkat "ketuaan" itu. Lebih nyaman dipanggil "Mbak" sebenernya... tapi berhubung semua akhwat di sekelilingku dipanggil "Ammah" semua, dengan berat hati aku harus rela dipanggil itu... T_T

Beneran deh, yang namanya mengasuh anak kecil itu susah banget. Mereka asyik membentuk bangunan mini dengan balok-balok yang ada, yang sebetulnya akan bikin ketawa orang dewasa. Tapi bagi anak kecil, tetap saja bangunan itu adalah "istana" mereka, dan aku pun berusaha menghargai dan menyemangati dengan perbendaharaan kalimat anak kecil yang kurang. Intinya, bingung mau ngajak ngomong apa, euy!!!

Meski begitu, di sudut sana ada seorang anak perempuan kecil yang duduk sendiri memegang satu buah pir. Akhwat lain fokus pada anak-anak yang lain, dia seolah ditinggal sendiri sama temen-temennya. Aku pun mendekati, coba ngajak ngobrol dengan pertanyaan standar, dia masih diam saja. Beberapa kali muter-muter ngajuin pertanyaan, akhirnya dia berkata lirih, "Mau sama Ummi."

Gubrax!

Kan gak mungkin yah aku anterin dia masuk, trus mendekat ke MC dan bilang, "Bapak-bapak, Ibu-ibu, ada yang tau gak, ini anaknya siapa?"

Gadis kecil yang mengenalkan diri bernama Aisyah itu pun terus diam, nyaris nangis. Diajak main gak mau, ditawari makan buah pir yang dia pegang mulu gak mau. Ternyata Aisyah kukuh dengan satu keinginan: Mau sama Ummi.

Kuajaklah jalan-jalan, ternyata dia mau. Itu juga aku masih bingung... Posisi kami di lantai 3, dan jelas bagi anak kecil yang tingginya gak sampai tembok pembatas lantai itu, keindahan dunia bawah tak kelihatan... Nekat aja aku ajak dia ke lantai satu (dengan hati ketar-ketir kalau seandainya gak ketemu jalan balik ke Aula tadi). Di bawah, ada patung yang aku sendiri juga gak tau itu merepresentasikan bilangan apa. Ternyata Aisyah bersemangat saat kunaikkan dia ke atasnya, dan aku mau motret dia.

Eh, dia malah pasang muka manis gitu coba! Padahal tadi mau nangis nyari Ummi-nya!

Dasar anak-anak!

Pas kami berdua sampai di lantai tiga tempat Aula berada, Mbak siapa-aku-lupa itu bilang, "Dik Aisyah, tadi dicari Ummi, lho."

Waduh, salah waktu nih gw!

Aisyah tetep aja masih murung nyari Ummi-nya, bahkan menyeretku sampai mendekati pintu Aula. Mujur, seorang bapak keluar, yang ternyata adalah Abah-nya!

Dan mereka berdua pun bercengkerama dengan asyiknya, meninggalkanku yang salah tingkah karena ketauan bapaknya.

Setelah itu, aku fokus pada dua anak kecil yang lebih ceria dibandingkan Aisyah, dan lebih asyik diajak main. Malah dia yang bikin aku bisa ngmong. Keduanya kakak-adik. Sang kakak sudah kelas 3, adiknya masih di PG. Tak lama datanglah Hani, yang ternyata mengenal kakak-beradik itu. Maka bermainlah kami berempat.

Ketika Baim si bayi ikhwan putranya Mb Eri tiba, Hani yang menggendongnya. Pas itu, datanglah Sang Murobbi-ku, dan berkomentar, "Wah, kebalik nih! Harusnya Lila yang gendong, biar dia latihan!"

What?

Wah, aku kan udah bareng anak-anak ini dari tadi, beliau aja yang gak liat. -_-

Setelah seminar itu selesai, giliran aku dan Hani ke mushola untuk Shalat Dhuhur. Saat itu aku merasakan kelegaan luar biasa bisa bebas dari tugas "hadhonah". Aku jadi ingat suatu masa ketika mahasiswa PPL di SMA-ku masuk ke kelas BK, dia pernah bertanya, "Pengin punya anak berapa?" Waktu itu aku dengan pedenya menjawab, "Minimal lima!" Dan ketika yang lain menanyakan alasan dari keinginan yang (versi mereka) luar biasa itu, aku cuma menjawab, "Kayaknya enak aja kalau rumahnya rame."

Tapi, setelah momong adik kecil banyak banget gini, baru kusadari kalo mengurus anak itu susah! Itu baru anak orang lain, cuma dua setengah jam doang. Maklumlah, adikku lahir dan mengalami satu setengah tahun pertama kehidupannya di Kota Hujan, Bogor, sementara waktu itu aku di Semarang. Sekarang pun, kalau suruh gendong bayi, aku masih merinding. Paling ditingkahi komentar, "Dia hidup, ya?" Hehe... (Soalnya kalo dia hidup kan bahaya kalo aku gak bisa menguasai diri/berat badan bayi itu, trus jatuh... Beda kan, sama gendong boneka?)

Seperti kata Ovi juga kali ya: ini suatu pendidikan yang menjadikanku "perempuan"... Kalau dua bab sebelumnya, sepertinya bukan hal yang spesifik: memasak bisa dilakukan laki-laki (bahkan gak jarang laki-laki lebih jago), atau membuat bunga sekalipun sebenernya gak terlalu identik dengan perempuan (cuma ikhwan doang yang biasanya jaim suruh bikin bunga). Tapi merawat anak... tentu saja itu fitrah seorang wanita, sebab bukankah wanita adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya, bukankah seorang ibu adalah tiang negara?

Meski kadang aku sok ngaku separo-ikhwan (yang kadang gak berdasar sama sekali), aku bukan seperti para feminis yang meyakini bahwa wanita karir lebih baik dari ibu rumah tangga. Aku masih menyadari satu fitrah yang takkan tergantikan itu. Tapi sungguh, itu beraaaat... banget!

Setidaknya aku bisa latihan dulu sebelum aku beneran jadi ibu...

No comments

Powered by Blogger.