Header Ads

Transportasi Indonesia


Rabu (24/4) lalu, saya cukup terburu-buru berangkat ke kampus. Seharusnya saya bisa tiba lebih awal, tapi karena bus Ambarawa-Semarang yang saya tumpangi mogok ketika perjalanan saya baru menempuh 2 kilometer, perjalanan saya terhambat. Saat itu sudah jam tiga kurang seperempat, padahal kuliah saya dimulai jam 15.20. Terlebih ketika saya turun di pertigaan Ngesrep menuju Undip, di sana belasan angkot terparkir dengan tidak rapi. Seolah pertigaan itu sudah berubah fungsi menjadi terminal saja.

Menurut kebiasaan, baik dalam kondisi mendesak maupun tidak, saya lebih suka menunggu angkot setelah berjalan sekitar seratus meter dari pertigaan itu. Biasanya, ketika angkot lewat di sana, itu berarti sopirnya sudah tidak berniat untuk berlama-lama menunggu penumpang di tempat yang sama, sehingga penumpang bisa langsung diantar menuju tempat tujuan. Itu juga yang saya lakukan hari ini.

Mungkin karena "keteledoran" saya juga, angkot itu berbelok ke Banjarsari dulu sebelum mengantar saya ke kampus. Dalam keadaan normal, mungkin saya biasa saja. Tapi dalam kondisi terburu-buru begini, saya dongkol juga. Apalagi mengingat pengalaman serupa: ketika saya terburu-buru ke wisma di Banjarsari, angkot itu keliling kampus dulu. Sering juga ketika sudah mepet waktu kuliah, sopir angkot memilih mengantarkan penumpang dengan tujuan Banjarsari.

Nah, bagi pembaca yang tidak paham angkot Tembalang, biar saya jelaskan dulu.



Peta di atas menunjukkan jalur angkot di daerah Tembalang. Titik A adalah pertigaan Ngesrep, lebih dikenal dengan nama "Patung Kuda" (budaya inilah yang coba dihilangkan oleh mahasiswa Undip yang cinta Diponegoro, gara-gara nama "kuda" lebih dikenal daripada penunggangnya yang gagah). Titik B adalah daerah kampus Undip, dan titik C adalah daerah permukiman penduduk, di sinilah sebagian besar mahasiswa dari luar Semarang, yang ingin dekat dengan kampus, tinggal. Kemudian yang saya tandai dengan lingkaran hijau merupakan pertigaan yang menghubungkan ketiga tujuan itu.

Nah, di daerah itu, hanya ada satu jenis angkot yang beroperasi. Angkot itu warnanya kuning, rutenya pun sesuka sopir maupun penumpang. Dari arah Ngesrep, sudah saya jelaskan tadi. Pun dari Banjarsari (yang tidak jelas ujung angkot sebenarnya di mana, tergantung ketersediaan dan tujuan penumpang), tak pernah ada papan atau keterangan apa pun, sopir bisa membawa angkot ke kampus atau ke Ngesrep, tergantung request penumpang pertama atau terbanyak. Tapi sebaliknya, dari arah kampus, angkot kuning lebih umum berbelok ke Banjarsari dulu sebelum ke Ngesrep.

Ketika dalam kondisi tak sabar itulah, saya merenungkan fenomena angkot di Indonesia. Angkot yang jamnya tidak pasti, berangkatnya menunggu sampai angkot penuh sesak oleh penumpang, arah pun tidak jelas.

Pernah saya mengatakan pada angkot yang sedang ngetem di Ngesrep, "Pak, ini langsung berangkat, kan? Lagi terburu-buru soalnya."

Saat itu saya merupakan satu-satunya penumpang yang sudah masuk. Bapak sopir tertawa sambil mengatakan, "Ya nunggu penuh dulu dong, Mbak. Kalau terburu-buru, mending naik ojek saja."

Saya pun jadi membandingkan kendaraan umum di luar negeri, paling dekat Singapura. Untuk bisa naik kendaraan umum, tidak harus menunggu sampai semua tempat duduk penuh, karena sudah ada jam-jam khusus kapan sebuah kendaraan umum harus berangkat. Kalaupun semua tempat duduk sudah penuh, tak mungkin penumpang dipaksa berjejal-jejalan demi keuntungan sang sopir. Rute pun tetap, bahkan peta perjalanan sudah ditempel di setiap kendaraan. Kita pun tak mengenal yang namanya kendaraan ngetem buat mencari penumpang, karena sudah ada titik-titik tertentu untuk menaik-turunkan penumpang.

Kembali ke Indonesia. Kalau transportasi publik yang ada seenaknya sendiri dalam hal jumlah penumpang, rute perjalanan, dan tidak ada ketepatan waktu, bahkan kondisi kendaraan yang tidak memadai, maka tidak heran jika orang-orang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi. Lebih nyaman naik mobil pribadi, karena bisa melindungi diri dari segala cuaca, full AC, tidak perlu berdesak-desakan. Jika mobil terlalu mahal, toh bisa naik motor, sama-sama panas dengan naik angkot, tapi bisa nyelip-nyelip dalam situasi macet. Harga pun sama saja, untuk membayar angkot dan beli bensin sendiri, bahkan terkadang lebih murah beli bensin.

Efek lebih jauhnya, jalanan ini pun akan semakin macet dan penggunaan BBM tentu jauh lebih tinggi. Dan tidak perlu dibahas lagi apa yang bisa terjadi dengan dua kejadian di atas. Semua orang sudah tahu.

Jika pemerintah Indonesia bisa memegang kendali atas seluruh transportasi publik, saya rasa itu bisa mengurangi kemacetan dan penggunaan BBM, dengan cukup signifikan.

Kendaraan umum saat ini tidak lagi dikelola oleh pemerintah, sehingga yang bersangkutan akan selalu kejar setoran, dengan penumpang yang maksimal dan penghasilan yang maksimal pula. Coba saja ketika sopir dibayar pemerintah, sehingga dia bisa menjalankan kendaraannya tanpa perlu menunggu penumpang penuh untuk mendapat penghasilan maksimal. Angkot akan tetap jalan menurut jam yang berlaku, yang akan membuat nyaman masyarakat.

Seandainya transportasi Indonesia memiliki fasilitas yang nyaman, harga terjangkau, sopirnya ramah, minim tindak kejahatan, dan terutama memiliki ketepatan waktu, tentu orang akan lebih suka naik kendaraan umum daripada kendaraan pribadi. Otomatis, hal ini bisa mengurangi kemacetan dan penggunaan BBM yang saat ini menjadi masalah utama jalan raya.

No comments

Powered by Blogger.