Header Ads

Di Sebuah Perumahan (Bag. 2): 2x Ketemu Orang Sunda, 4x Ketemu "Bakul Jamu", Sekian Kali Ketemu Satpam


Episode yang lalu:

Sang Ibu yang menyatakan apresiasi pada kami yang masih mau mencari uang di tengah hingar-bingar kehidupan anak muda itu keluar, membawa harapan pada kami yang masih menunggu. 


~ (^_^) ~ (^_^) ~ (^_^) ~ (^_^) ~ (^_^) ~ (^_^) ~ (^_^) ~


Beberapa jenak ibu itu mengulang apresiasinya, lalu mengakhirinya dengan kalimat, "Tapi maaf, Ibu mau ada acara, jadi, tanpa merendahkan kalian ataupun almamater kalian, ini dibawa saja buat selanjutnya." Beliau pun mengulurkan dua lembar uang sepuluh ribu.

Tapi kami berempat, yang sudah diwanti-wanti untuk tidak menerima duit tanpa bekerja apa pun (baik pekerjaan rumah maupun jualan) menolak mentah-mentah. Kami mau menerima uang itu asalkan kami diberi pekerjaan terlebih dahulu, membersihkan halaman, misalnya. Mendengar itu, ibu yang kami tak sempat kenalan itu justru akhirnya mempersilakan kami menyiram bunga dan membersihkan kebun kecil miliknya.

Dengan senang hati, kami pun segera mengambil selang dan sapu lidi. Baru beberapa saat kami bekerja di kebun, sang anak keluar untuk memindahkan mobilnya dari... aku tak tahu sebutannya, tapi semacam parkiran mobil di dalam lingkungan rumah, dan tidak bisa disebut dengan garasi. Sang ibu pun mempersilakan kita membersihkan parkiran mobil itu, dan tak terkira senangnya kami berempat main air. Entah bersih entah enggak. Haha...

Baru setelah itu, kami dengan senang hati menerima dua puluh ribu rupiah yang amat berharga itu. Lebih senang lagi, saat sang ibu memberikan tambahan sepuluh ribu, katanya sih buat beli minum. Setelah berpamitan dan berkali-kali mengucap terima kasih, kami meninggalkan rumah tersebut.

Kali ini, kami berempat memecah diri lagi. Tety dan Kuni meninggalkan aku dan Ume untuk mencari pekerjaan lain.

Demi mendapatkan pekerjaan yang layak, aku dan Ume mencoba keluar dari perumahan. Mencari warung yang mungkin bisa kami bantu cuci piring demi uang beberapa perak. Tujuan pertama kami adalah perkampungan dekat SBI. Ada sih warung makan di situ, tapi gak ada yang sedang makan, jadi piring mana yang bisa dicuci?

Tak jauh dari warung itu, ada rumah yang cukup besar, yang di depannya pun nampak seorang ibu yang sepertinya pemiliknya. Tapi menurut Ume, beliau terlalu dingin, takutnya malah disemprot. Kami pun jalan lagi, bertemu berbagai pedagang, mulai dari penjual sayur, tukang jamu, sampai penjual sate. Hingga akhirnya kami masuk ke sebuah gang, yang ternyata tembusnya ke SBI. Parahnya lagi, ternyata ujung gang itu adalah tempat kami tadi diturunkan dari angkot!

Aku menyarankan pada Ume untuk menelusuri kembali jejak awal kami, soalnya di sekitar tempat itu kan belum tersentuh kami sama sekali. Tapi di pos satpam masih berjaga satpam yang tadi menunjukkan jalan pada kami, dan Ume tak kuat menanggung beban mental jika ditanya kenapa masih berkeliaran juga (aku merasakan hal yang sama sih, hehe). Maka kami mencoba jalur lain yang menurut Ume, tembusannya ke perkampungan tadi lagi.

Ume benar. Sepanjang menelusuri jalan itu, kami berpapasan dengan seorang tukang jamu.

"Lil, itu bukannya tukang jamu yang tadi, ya?" Ume menyenggolku.

"Iyakah?" aku malah nggak ngeh. Tapi kami meneruskan kembali perjalanan hingga masuk kembali ke wilayah SBI.

Sekitar satu jam, aku dan Ume berkeliaran di sana terus. Muter-muter tak tentu arah. Mencoba keluar SBI lagi, kali ini ke arah gerbang perumahan. Di sana, bercokol tukang jamu yang sama.

"Ini perasaan tukang jamu yang tadi lagi," komentar kami. "Cepet amat udah nyampe sini."

Tak menemukan pekerjaan di luar, lagi-lagi kami masuk ke SBI. Kembali muter-muter. Beberapa kali menghindari satpam yang kami pikir adalah satpam yang kami tanya tadi. Kadang memang iya, kadang bukan.

Sedang terduduk di salah satu portal, panitia TFT menghampiri kami.

"Mbak, lihat temen-temen yang lain gak?" kami langsung menanyai.

"Baru lihat kalian," jawabnya.

Oh iya, aku lupa cerita. Bahwa setelah sekian lama muter-muter gak dapet kerjaan, kami memuturkan untuk mencari kawan-kawan lain. Menurut Ume, akan lebih mudah dapat kerjaan kalau rame-rame.

Pada akhirnya, kami terduduk di salah satu... apa ya namanya? Semacam trotoar tapi yang berumput itu loh...

Lagi santai di situ, dari jauh nampaklah sosok Tety dan Kuni. Nyaris sujud syukur rasanya menemukan mereka, terlebih mereka telah mendapatkan tambahan penghasilan yang cukup signifikan: Rp50.000,00.

Wuaaah... maka kami pun kembali mengitari SBI kesekian kalinya... Dan kali ini menemukan rumah yang dekorasinya islami gitu: ada kaligrafinya de-es-be. Tapi pas ibu pemilik rumah keluar, secara halus dia menampik kami. Dengan lesu, kami kembali ke perkampungan yang tadi sempat dilewati aku dan Ume, tapi kali ini mencoba jalur baru.

Pada jalur ini, beneran cuma ada dua belokan: kanan dan kiri. Setelah belok kanan, pasti deh belok kiri. Jadi nyaris mustahil bahwa kami akan tersesat. Pada suatu titik, akhirnya kami kelelahan, dan membeli es dawet yang berhenti di depan sebuah rumah. Orang rumah itu ternyata juga sedang membeli es dawet. Ibu pemilik rumah bahkan menyilakan kami duduk di teras rumahnya.

Dan tahukah pemirsa... ibu itu ternyata orang Sunda! Kali ini, sepertinya Sunda tulen. Maka Ume meladeinya berbincang dalam bahasa Sunda, sementara aku, Kuni, dan Tety (yang semuanya asli Jawa Tengah) hanya melongo mendengar percakapan-sunda-di-tengah-wilayah-jawa sambil menghabiskan es dawet yang satu-plastik-berdua.

Beberapa kali kami bertiga memberi kode pada Ume, tawarin kerjaan tuh ke beliau. Ketika Ume benar-benar melaksakan usul kami, lagi-lagi ibu itu menolak, mengatakan rumahnya sudah bersih. Yah, memang kami yang bisa dibilang kesiangan, kan?

Apalagi, seperti kata Ume waktu kami berjalan gontai kembali ke SBI, orang Sunda itu biasanya memang rajin, pagi buta sudah beresin rumah. Kalau hampir jam 11 gini memang sudah waktunya istirahat!

Si Ume malah bilang, "Emang kalau di Jawa, beres-beres agak siang tuh biasa, ya?"

Waaah... sebagai Jawa tulen aku tersungging... eh, tersinggung! SARA nih si Ume! Yah, walaupun aku juga bisa dibilang "kebluk", tapi ibuku kan cukup rajin kalo cuma masalah beresin rumah!

Sampai di SBI, alhamdulillah ketemu Fitri, Nida, dan Tyas. Ketiganya ternyata mendapatkan pekerjaan yang luar biasa, dari bersih-bersih rumah sampai nyetrika. Dari hasil kerja keras itu, mereka memperoleh penghasilan sebesar Rp100.000,00. Jadi totalnya Rp180.000,00. Yah, masih kurang dari target, sih...  Tapi berhubung kami didaulat harus kembali jam 11, kami pun berjalan kembali menuju jalan Ngesrep untuk mendapatkan angkot. Hampir sampai di Ngesrep, lagi-lagi kami ketemu tukang jamu. Saking seringnya ketemu, Ume bahkan sampai hafal kalau itu tukang jamu yang sama yang kami temui tadi!

Perjumpaan itu pun mengakhiri kisah pencarian pekerjaan kami... Yang memberikan kami pelajaran bahwa nyari duit itu susah!

Ternyata "tujuh bidadari" ini adalah pasukan pertama yang datang. Pasukan ikhwan belum datang juga, padahal udah hampir Dhuhur. Denger-denger malah panitia ikhwan mau pada nyusul. Diketawain lah sama panitia akhwat. Secara, ikhwan, anak Teknik lagi, pake dicariin segala. Nyasar pun paling juga bisa balik, meski dengan cara yang tak terduga!

Saat sudah kembali, semua peserta dan panitia, baik ikhwan maupun akhwat, berkumpul di PKM. Ternyata cerita ikhwan lebih seru dan gak jelas! Tapi biar kerjaan mereka juga "standar", gaji mereka berkali lipat daripada akhwat!

Gimana ceritanya tuh?

Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang... eh, maksudnya, ikhwan yang mengalami sendiri!

No comments

Powered by Blogger.