Travel Alone 3: The Solo Travelers
Prolog
Sudah sebulan sejak aku merantau ke Jogja, tapi belum sowan ke sesepuh Jogja. FYI, sesepuh yang kumaksud tak lain dan tak bukan adalah E dan O. Pada dua edisi sebelumnya (Travel Alone dan Travel Alone 2), aku udah sebutkan nama mereka. Masih ingat? Yap, Ely dan Ovi.
Ely malah sudah menginap di kosku sejak malam pertamaku di Jogja (gara-gara sendirian di kos, jadi kuminta dia nemenin, haha), tapi Ovi sedang punya banyak agenda (maklum, orang sibuk). Jadilah, aku memaksakan diri mengunjungi Ovi di asramanya.
Eh, dia malah seneng kalo aku mengunjungi asrama, daripada harus ketemuan di tempat lain. "Aku nanti mau minta bantuan Lila, hehe," tulisnya dalam chat WhatsApp. Yang ada dalam bayanganku, dia minta dibikinin rumus Excel atau semacamnya, paling banter desain poster. Nggak tahunya....
"Bikin kayak gini bisa, nggak?" tanyanya begitu aku tiba di asramanya. Dia menunjukkan sebuah peta lokasi dalam sebuah undangan walimah.
"Kamu mau nikah?" ledekku keras.
"Sssssst!" Ovi malah balas mendesis keras, menyuruhku diam, takut kalau-kalau para santrinya dengar.
Nggak tahunya, ledekanku tadi tepat sasaran. Padahal aku cuma guyon, lho.
Habis itu, Ovi ngaku kalau dia sebetulnya belum mau memberi tahuku sekarang, tapi karena pengin minta tolong dibuatkan denah lokasi, jadi terpaksa bongkar rahasia duluan. Ending-nya, sampai aku pulang, denah lokasi itu sama sekali nggak kubuatkan. Hahaha.
Beberapa minggu kemudian, Ovi meminta waktu ketemu denganku dan Ely, tapi pertemuan itu gagal terlaksana. Aku yakin dia hendak menyampaikan undangannya. Tampaknya, karena waktu yang semakin mepet, Ovi menyampaikan undangannya via WA. Hanya saja, kok rasanya aneh, bahwa kami tinggal tak terlalu berjauhan ini, undangan fisik tak sempat tersampaikan.
Aku dan Ely pun memaksakan diri untuk menemui Ovi, walaupun harus menerobos hujan melintasi bagian selatan sampai utara Jogja. Nyeker naik motor pun kujalani demi undangan yang pada nama penerima, tertulis nama unik untukku.
Lila "L.Ov.E".
Aduh, terharu banget nggak sih? Itu singkatan nama yang nyeplos begitu aja tujuh tahun lalu.
Hari itu, aku dan Ely memutuskan untuk memesan tiket kereta Prambanan Ekspres alias Prameks secepatnya, supaya kami bisa sampai di Asrama Haji Donohudan, tempat akad dan walimah Ovi akan dilaksanakan, tepat waktu. Ovi juga memberi kisikan bahwa acara akan dimulai dengan tasmi' surah Alkahfi oleh calon mempelai laki-laki, sehingga mungkin kami masih punya waktu untuk tiba di sana.
Berbeda dengan perjalanan sebelumnya, yang terdiri dari 3 bolang alias bocah ilang. Kali ini Trio Bolang berkurang jadi 2. Ya iyalah, kan yang satu lagi sekarang dapet jatah dikondangin. (Trus lu kapan? Kondangan mulu aja! Hahaha.) Karena sama-sama tinggal di Jogja, nggak ribet lah ya, nentuin itinerary-nya.
Habis subuh, Ely sudah menjemputku di kos. Dia tiba tepat ketika aku baru selesai beres-beres, jadi ketika mendengar suara motornya, aku tinggal membukakan kunci dan mengambil tas. Aku udah pakai helm yang dia bawakan, udah siap naik motor, ketika mendadak aku ingat: aku belum pakai jaket! (Padahal sejak berhari-hari sebelumnya udah kusiapin tuh jaket biar siap pakai jelang berangkat.)
Buru-buru aku mengeluarkan kunci dan kembali membuka "lapisan pengamanan" menuju kamar: kunci gerbang, kunci rumah, dan kunci kamar. Habis itu, serabutan mengunci kembali semua pintu itu.
Kereta Prameks dijadwalkan berangkat dari Stasiun Lempuyangan jam 5.36. Kami tiba di stasiun pukul 5.05, tapi rasanya udah mepet banget. Setelah menitipkan motor di dekat stasiun, kami bergegas menuju gate buat boarding.
Di depan gate, Ely mengeluarkan segebung tiket yang diplastikin dengan rapi. Biar nggak basah dan nggak gampang hilang, katanya. Sebagai informasi, buat kamu yang pengin bepergian naik Prameks, walaupun kereta ini berjenis komuter, tiketnya bisa dipesan 7 hari sebelumnya. Prosedurnya sama dengan proses booking kereta jarak jauh, tapi cuma bisa dilakukan di stasiun, tidak bisa online.
By the way, check in untuk kereta komuter macam Prameks ini perlu nunjukin identitas ke petugas boarding nggak, ya?
"Tanya petugasnya, coba," saran Ely. "Tapi KTP-mu disiapin dulu aja."
Saking tegangnya karena takut telat, aku nanya ke mbak-mbak penjaga gate, "Mbak, kalau naik Prameks, perlu nunjukin tiket, nggak?"
"Iya, lah," jawab Mbak Penjaga seraya menatapku seolah aku orang yang baru pertama kali menginjak stasiun. Ely udah menahan tawa aja di belakangku.
"Eh, maksudnya KTP, Mbak," ralatku buru-buru.
"Nggak, kok," kata si Mbak.
Aku masuk gate duluan. Ely, yang menenteng buntalan kain berisi kado, menyusulku. Dia emang kebagian jatah beliin kado patungan buat Ovi. Dan dia mengikat dua bungkusan kado pakai kain macam orang jaman dulu mau merantau, hehe.... Tapi begitu ketemu aku, kedua kado itu dibawa masing-masing orang.
"Tapi belum aku kasih ucapan, lho," aku Ely.
Emang harus, ya?
"Minta Nida aja, coba."
Nida tinggal di area Solo. Dia berencana ke sana dari kosnya, bersama Nadya.
Sepagi itu, Stasiun Lempuyangan udah penuh, dan ternyata semuanya calon penumpang Prameks. Kebayang, kan, gimana desak-desakannya. Tapi tetep, untuk urusan desak-desakan, commuter line Jabodetabek masih juara. Di sini, kalaupun nggak dapat tempat duduk, kita masih bisa berdiri dengan nyaman, bahkan duduk di lantai pun masih diizinkan. Ely malah berseloroh, "Harusnya tadi bawa koran, ya." Kalau di Jakarta, mana boleh....
Sisi positifnya, kami kebagian tempat berdiri di sebelah pintu berjendela. Ada banyak pemandangan yang bisa memenuhi memori HP kami. Sisi negatifnya, sisi pintu yang kami tempati ada di bagian kanan dari arah datangnya kereta, padahal di pintu sebelah kiri menghampar pemandangan Gunung Merapi pagi hari.
"Pas pulang nanti, harus cari tempat di sisi sana. Berarti, kalau dari Solo, kita cari tempat di sisi kanan dari arah datangnya kereta," begitu tekad bulat kami.
Di luar Stasiun Purwosari tempat kami turun, ada seekor kucing menyambut. Nggak bisa dibilang menyambut juga sih, soalnya dia cuma berdiri diam di tengah halaman yang luas itu. Kucing itu begitu kurus dan tampak sakit. Sedihnya, aku dan Ely nggak bawa apa-apa yang bisa dimakan kucing.
"Di sekitar sini ada yang jual ikan atau ayam, nggak, ya?"
"Paling adanya soto."
"Masa mau beli soto, ayam suwirnya buat kucing?"
"Ayamnya dipisah aja, gitu?"
"Nggak sekalian aja beli ayamnya doang?"
Demikian percakapan koplak kedua cat lovers ini, yang akhirnya hanya mengelus kucing itu tanpa memberikan apa-apa. Semoga kamu cepet sehat, Mpus.
Seperti kebanyakan tempat umum, para sopir taksi melarang pelancong memesan taksi online di area tersebut. Aku dan Ely mempertimbangkan untuk naik Batik Solo Trans (BST), dan sedang mengamati rute BST yang dipasang di pintu keluar ketika diserbu para sopir taksi itu.
"Mau ke mana, Mbak?" tanya mereka.
Aku dan Ely tidak menjawab, karena kami sendiri belum bisa menentukan tujuan kami. Tapi kalau bilang, "Nggak tahu," mereka pasti akan makin agresif menyuruh kami masuk ke kendaraan mereka dan mematok tarif yang entah berapa. Maka kami hanya menggumamkan penolakan tak jelas sembari terus mengamati peta BST.
Dari peta itu, kami memutuskan mencari BST arah bandara dulu (karena sebuah asrama haji pasti terletak tak jauh dari bandara), lalu turun di salah satu halte, baru pesan taksi online dari sana supaya lebih murah. Kami menunggu di halte seberang stasiun, lalu mencoba menentukan arah dengan kompas smartphone untuk meyakinkan bahwa kami mengambil halte yang benar.
Titik terdekat yang memungkinkan kami berganti kendaraan adalah terminal (lupa terminal apa, Kartasura apa ya?), tapi khawatir kalau lagi-lagi dihalangi oleh sopir taksi offline. Halte terdekat menurut peta adalah Rumah Sakit Karima, jadi itulah tujuan kami.
Sebuah bus DAMRI berhenti di depan halte. Aku sempat ragu, karena pernah "dikadali" kondektur bus DAMRI di Jogja, berakibat harus bayar lagi saat transit. Tapi akhirnya kami naik bus ini juga, dengan ongkos Rp4.000,00, dan mengatakan pada sang kondektur untuk menurunkan kami di RS Karima. Tampaknya tempat itu lumayan terkenal; kami tinggal duduk santai dan sang kondektur memanggil kami saat sudah dekat.
Ely malah sudah menginap di kosku sejak malam pertamaku di Jogja (gara-gara sendirian di kos, jadi kuminta dia nemenin, haha), tapi Ovi sedang punya banyak agenda (maklum, orang sibuk). Jadilah, aku memaksakan diri mengunjungi Ovi di asramanya.
Eh, dia malah seneng kalo aku mengunjungi asrama, daripada harus ketemuan di tempat lain. "Aku nanti mau minta bantuan Lila, hehe," tulisnya dalam chat WhatsApp. Yang ada dalam bayanganku, dia minta dibikinin rumus Excel atau semacamnya, paling banter desain poster. Nggak tahunya....
"Bikin kayak gini bisa, nggak?" tanyanya begitu aku tiba di asramanya. Dia menunjukkan sebuah peta lokasi dalam sebuah undangan walimah.
"Kamu mau nikah?" ledekku keras.
"Sssssst!" Ovi malah balas mendesis keras, menyuruhku diam, takut kalau-kalau para santrinya dengar.
Nggak tahunya, ledekanku tadi tepat sasaran. Padahal aku cuma guyon, lho.
Habis itu, Ovi ngaku kalau dia sebetulnya belum mau memberi tahuku sekarang, tapi karena pengin minta tolong dibuatkan denah lokasi, jadi terpaksa bongkar rahasia duluan. Ending-nya, sampai aku pulang, denah lokasi itu sama sekali nggak kubuatkan. Hahaha.
Undangan Spesial
Beberapa minggu kemudian, Ovi meminta waktu ketemu denganku dan Ely, tapi pertemuan itu gagal terlaksana. Aku yakin dia hendak menyampaikan undangannya. Tampaknya, karena waktu yang semakin mepet, Ovi menyampaikan undangannya via WA. Hanya saja, kok rasanya aneh, bahwa kami tinggal tak terlalu berjauhan ini, undangan fisik tak sempat tersampaikan.
Aku dan Ely pun memaksakan diri untuk menemui Ovi, walaupun harus menerobos hujan melintasi bagian selatan sampai utara Jogja. Nyeker naik motor pun kujalani demi undangan yang pada nama penerima, tertulis nama unik untukku.
Show me the L.Ov.E |
Lila "L.Ov.E".
Aduh, terharu banget nggak sih? Itu singkatan nama yang nyeplos begitu aja tujuh tahun lalu.
Hari itu, aku dan Ely memutuskan untuk memesan tiket kereta Prambanan Ekspres alias Prameks secepatnya, supaya kami bisa sampai di Asrama Haji Donohudan, tempat akad dan walimah Ovi akan dilaksanakan, tepat waktu. Ovi juga memberi kisikan bahwa acara akan dimulai dengan tasmi' surah Alkahfi oleh calon mempelai laki-laki, sehingga mungkin kami masih punya waktu untuk tiba di sana.
Prameks, Gunung Merapi, dan Kucing Liar
Berbeda dengan perjalanan sebelumnya, yang terdiri dari 3 bolang alias bocah ilang. Kali ini Trio Bolang berkurang jadi 2. Ya iyalah, kan yang satu lagi sekarang dapet jatah dikondangin. (Trus lu kapan? Kondangan mulu aja! Hahaha.) Karena sama-sama tinggal di Jogja, nggak ribet lah ya, nentuin itinerary-nya.
Habis subuh, Ely sudah menjemputku di kos. Dia tiba tepat ketika aku baru selesai beres-beres, jadi ketika mendengar suara motornya, aku tinggal membukakan kunci dan mengambil tas. Aku udah pakai helm yang dia bawakan, udah siap naik motor, ketika mendadak aku ingat: aku belum pakai jaket! (Padahal sejak berhari-hari sebelumnya udah kusiapin tuh jaket biar siap pakai jelang berangkat.)
Buru-buru aku mengeluarkan kunci dan kembali membuka "lapisan pengamanan" menuju kamar: kunci gerbang, kunci rumah, dan kunci kamar. Habis itu, serabutan mengunci kembali semua pintu itu.
Kereta Prameks dijadwalkan berangkat dari Stasiun Lempuyangan jam 5.36. Kami tiba di stasiun pukul 5.05, tapi rasanya udah mepet banget. Setelah menitipkan motor di dekat stasiun, kami bergegas menuju gate buat boarding.
Di depan gate, Ely mengeluarkan segebung tiket yang diplastikin dengan rapi. Biar nggak basah dan nggak gampang hilang, katanya. Sebagai informasi, buat kamu yang pengin bepergian naik Prameks, walaupun kereta ini berjenis komuter, tiketnya bisa dipesan 7 hari sebelumnya. Prosedurnya sama dengan proses booking kereta jarak jauh, tapi cuma bisa dilakukan di stasiun, tidak bisa online.
By the way, check in untuk kereta komuter macam Prameks ini perlu nunjukin identitas ke petugas boarding nggak, ya?
"Tanya petugasnya, coba," saran Ely. "Tapi KTP-mu disiapin dulu aja."
Saking tegangnya karena takut telat, aku nanya ke mbak-mbak penjaga gate, "Mbak, kalau naik Prameks, perlu nunjukin tiket, nggak?"
"Iya, lah," jawab Mbak Penjaga seraya menatapku seolah aku orang yang baru pertama kali menginjak stasiun. Ely udah menahan tawa aja di belakangku.
"Eh, maksudnya KTP, Mbak," ralatku buru-buru.
"Nggak, kok," kata si Mbak.
Aku masuk gate duluan. Ely, yang menenteng buntalan kain berisi kado, menyusulku. Dia emang kebagian jatah beliin kado patungan buat Ovi. Dan dia mengikat dua bungkusan kado pakai kain macam orang jaman dulu mau merantau, hehe.... Tapi begitu ketemu aku, kedua kado itu dibawa masing-masing orang.
"Tapi belum aku kasih ucapan, lho," aku Ely.
Emang harus, ya?
"Minta Nida aja, coba."
Nida tinggal di area Solo. Dia berencana ke sana dari kosnya, bersama Nadya.
Sepagi itu, Stasiun Lempuyangan udah penuh, dan ternyata semuanya calon penumpang Prameks. Kebayang, kan, gimana desak-desakannya. Tapi tetep, untuk urusan desak-desakan, commuter line Jabodetabek masih juara. Di sini, kalaupun nggak dapat tempat duduk, kita masih bisa berdiri dengan nyaman, bahkan duduk di lantai pun masih diizinkan. Ely malah berseloroh, "Harusnya tadi bawa koran, ya." Kalau di Jakarta, mana boleh....
Sisi positifnya, kami kebagian tempat berdiri di sebelah pintu berjendela. Ada banyak pemandangan yang bisa memenuhi memori HP kami. Sisi negatifnya, sisi pintu yang kami tempati ada di bagian kanan dari arah datangnya kereta, padahal di pintu sebelah kiri menghampar pemandangan Gunung Merapi pagi hari.
"Pas pulang nanti, harus cari tempat di sisi sana. Berarti, kalau dari Solo, kita cari tempat di sisi kanan dari arah datangnya kereta," begitu tekad bulat kami.
Memandang ke luar kereta (foto: Ely) |
Di luar Stasiun Purwosari tempat kami turun, ada seekor kucing menyambut. Nggak bisa dibilang menyambut juga sih, soalnya dia cuma berdiri diam di tengah halaman yang luas itu. Kucing itu begitu kurus dan tampak sakit. Sedihnya, aku dan Ely nggak bawa apa-apa yang bisa dimakan kucing.
"Di sekitar sini ada yang jual ikan atau ayam, nggak, ya?"
"Paling adanya soto."
"Masa mau beli soto, ayam suwirnya buat kucing?"
"Ayamnya dipisah aja, gitu?"
"Nggak sekalian aja beli ayamnya doang?"
Demikian percakapan koplak kedua cat lovers ini, yang akhirnya hanya mengelus kucing itu tanpa memberikan apa-apa. Semoga kamu cepet sehat, Mpus.
Menentukan Arah
Seperti kebanyakan tempat umum, para sopir taksi melarang pelancong memesan taksi online di area tersebut. Aku dan Ely mempertimbangkan untuk naik Batik Solo Trans (BST), dan sedang mengamati rute BST yang dipasang di pintu keluar ketika diserbu para sopir taksi itu.
"Mau ke mana, Mbak?" tanya mereka.
Aku dan Ely tidak menjawab, karena kami sendiri belum bisa menentukan tujuan kami. Tapi kalau bilang, "Nggak tahu," mereka pasti akan makin agresif menyuruh kami masuk ke kendaraan mereka dan mematok tarif yang entah berapa. Maka kami hanya menggumamkan penolakan tak jelas sembari terus mengamati peta BST.
Dari peta itu, kami memutuskan mencari BST arah bandara dulu (karena sebuah asrama haji pasti terletak tak jauh dari bandara), lalu turun di salah satu halte, baru pesan taksi online dari sana supaya lebih murah. Kami menunggu di halte seberang stasiun, lalu mencoba menentukan arah dengan kompas smartphone untuk meyakinkan bahwa kami mengambil halte yang benar.
Titik terdekat yang memungkinkan kami berganti kendaraan adalah terminal (lupa terminal apa, Kartasura apa ya?), tapi khawatir kalau lagi-lagi dihalangi oleh sopir taksi offline. Halte terdekat menurut peta adalah Rumah Sakit Karima, jadi itulah tujuan kami.
Sebuah bus DAMRI berhenti di depan halte. Aku sempat ragu, karena pernah "dikadali" kondektur bus DAMRI di Jogja, berakibat harus bayar lagi saat transit. Tapi akhirnya kami naik bus ini juga, dengan ongkos Rp4.000,00, dan mengatakan pada sang kondektur untuk menurunkan kami di RS Karima. Tampaknya tempat itu lumayan terkenal; kami tinggal duduk santai dan sang kondektur memanggil kami saat sudah dekat.
Halte terdekat ternyata bukan persis di depan RS Karima, tapi di perempatan dekat RS Karima. Aku dan Ely pesan taksi online dari sana, atau lebih tepatnya setelah jalan kaki beberapa meter untuk mencari tempat yang bisa dijadikan ancer-ancer. Kami menemukan plang yang menunjukkan arah Asrama Haji Donohudan, di depan Kantor Desa Ngabeyan. Driver yang menerima pesanan kami ternyata posisinya masih lumayan jauh, maka aku dan Ely mendiskusikan informasi yang kami dapat dari kantor desa itu.
Kantor desa itu beralamatkan Jalan Adi Sumarmo no 105, Ngabeyan, Kartasura. Tapi, plang lain yang dipasang di lingkungan yang sama menuliskan Sukoharjo. Jadi, sebenarnya kami sedang di mana? Meneliti semua plang itu dengan cermat, akhirnya baru kami tahu kalau Kartasura itu ternyata nama kecamatan di Kabupaten Sukoharjo. Kirain Kartasura itu nama kabupaten tersendiri.
Perjalanan tampaknya cukup jauh. Mungkin efek sebagai pendatang, ya. Sambil mengamati pemandangan di luar, satu pikiran menggangguku.
"Kayaknya aku lupa sesuatu deh," ucapku tidak pada siapa-siapa, tapi Ely menanggapi.
"Apa?"
Seperti Neville Longbottom di serial Harry Potter yang sedang menggenggam remembrall, aku merasa melupakan sesuatu, tapi tidak tahu apa yang kulupakan.
Sambil mengingat-ingat, aku membuka tas dan mengeluarkan camilan berserat untuk mengisi perut. Ely tertawa melihat tingkahku itu. Dikiranya aku lupa sarapan, hahaha. Padahal sebenernya bukan, loh. Kebetulan aja aku emang laper, hihihi.
Si driver yang masih lumayan muda itu ternyata minta petunjuk arah untuk menuju Asrama Haji. Lha wong penumpangnya juga pelancong. Ikuti map aja deh, Mas! Eh, qadarullah, map-nya sendiri juga nggak bener. Kalau sesuai map, mobil itu berhenti di pesantren apa... gitu. Mas Driver juga akhirnya browse di map-nya sendiri, lalu menemukan titik lain yang mengindikasikan Asrama Haji.
"Ya udah, Mas, selesaikan dulu di aplikasi, trus kita coba ke sana. Nanti saya tambahin tip," putusku.
Untung masnya baik, bersedia muter-muter menemukan lokasi yang dimaksud.
"Nambahnya berapa nih, Mas?" tanyaku sebelum keluar dari mobil.
"Terserah Mbak aja," sahut si driver, lantas mobil itu berlalu.
Pantesnya berapa sih, ya? Kata Ely, sepuluh ribu cukup, lah, ya.
Dua Kalimat Akad
Kedatanganku dan Ely disambut suara tilawah. Tampaknya tasmi' dari calon mempelai pria belum selesai, seperti yang dijanjikan Ovi. Sayup-sayup aku menangkap bacaan itu sampai di halaman kedua sebelum akhir Surah Alkahfi, tapi nggak inget ayat berapanya. Tentang kisah Dzulqarnain, sepertinya.
Area dalam masjid dibagi menjadi dua bagian. Sebelah kiri untuk hadirin putra, sebelah kanan putri. Keduanya disekat papan rendah. Di depan hadirin, sejajar dengan papan pembatas, melingkar sekelompok laki-laki pelaku akad: mempelai pria, wali nikah, penghulu, dan para saksi. Ovi duduk di belakang mereka di sebelah hijab ditemani ibunya.
Aku dan Ely mendesak sampai tiba di barisan kedua atau ketiga dari depan untuk mendapatkan pemandangan akad yang lebih baik. Aku berusaha mendekat sebisa mungkin. Bisa dibilang kami berdua berbagi tugas dokumentasi: Ely memotret, aku live di Instagram.
Aku nge-live, Ely motret (foto: Ely) |
Acara akad nikah sendiri tidak langsung dimulai setelah tasmi' Alkahfi selesai. Penghulu memberikan wejangan-wejangan terlebih dahulu pada kedua calon mempelai, tentang tugas dan kewajiban mereka tepat setelah akad dilangsungkan.
Kemudian penghulu menyerahkan pada bapaknya Ovi untuk memimpin acara. Jadi, akad nikah ini benar-benar momen antara bapaknya Ovi dan calon suami Ovi. Bapaknya Ovi mengajak hadirin untuk melafalkan istighfar dan syahadat.
Kalimat ijab dan kabul keduanya diucapkan dalam bahasa Arab. Begitu para saksi mengesahkan perjanjian itu, kulihat Ovi langsung menyuruk dalam pelukan ibunya. Kameramen terdekat buru-buru mengabadikan momen itu.
Sesaat suasana hening. Bapaknya Ovi menyerahkan mic kembali pada penghulu, memberiku kesempatan untuk kembali ke tempat Ely berada sebelum sesi doa. Kan nggak lucu, kalo lagi doa trus aku melintas di depan para sesepuh.
Kini di belakang kulihat ada Nida dan Nadya. Bersama Ely, aku menghampiri duo alumni TL itu. Sementara di depan terdapat kesibukan penandatanganan perjanjian yang agung itu, kami berempat mengobrol, saling bertukar kabar, sambil menyantap snack dalam kotak yang tahu-tahu tersedia di depan kami.
Saking populernya Ovi (uhuk!), banyak banget yang antre foto sama dia. Eh, sama mempelai lebih tepatnya. Giliran geng Emak-Emak BEN10 ini mendekat, sepasang manten anyar itu udah dipanggil buat segera ganti baju, soalnya waktunya udah mepet menjelang walimah.
Yaaah, nggak dapet foto bareng Ovi yang pakai kostum akad, deh.
Interval
Gagal foto bareng manten, para member Emak-Emak BEN10 memuaskan diri foto-foto di lapangan asrama. Biar keempat personil bisa masuk foto, kamera Ely diletakkan di tengah lapangan, hanya bersandar pada flip case-nya. Dalam hati rasanya kebit-kebit kalau tuh HP kelindes mobil yang melintas.
Kenapa nggak selfie aja?
Yang paling penting sih, biar pemandangan bagus di sana nggak terlewatkan sebagai background. Selain itu, kalau selfie, muka kita bakal ter-zoom banget nggak, sih? Trus, apa bedanya kita lagi foto di Donohudan sama di Maskam Undip, misalnya, kalau cuma ada muka-muka orangnya?
Oke, lanjut. Kami bertiga menuju Gedung Musdalifah, tempat diselenggarakannya walimah. Gedung di sini sepertinya dinamai dengan nama-nama kota di Arab Saudi, ya? Di belakang tempat kami foto-foto tadi ada Jeddah, sekarang kami menuju Musdalifah. Ternyata keduanya bisa dilalui dalam beberapa langkah saja ya. Hehehe.
"Ben Sepuluh"
Di dalam aula, kursi-kursi sudah ditata berjejer, berhadapan di bagian tengah yang membentuk lorong menuju pelaminan. Dari arah pintu masuk menuju pelaminan, kursi-kursi di sebelah kanan untuk tamu perempuan, sedangkan yang sebelah kiri untuk tamu laki-laki. Di setiap beberapa meter, meja persegi panjang menyela kursi-kursi itu, menyangga gelas-gelas panjang kosong dan sehelai kartu.
Kuartet Emak-Emak BEN10 mengambil tempat di baris kedua tepat di sebelah pintu masuk. Ruangan masih sepi, hanya ada penerima tamu, beberapa tamu, dan pramusaji yang sibuk menuang teh hangat di gelas-gelas yang tersedia.
Aku mengamati kartu terdekat. Ada sederet menu yang tertulis di sana, juga nama katering penyedia. Apakah itu contoh paket menu makanan yang ditawarkan penyedia jasa katering tersebut? Sepertinya begitu.
Selagi kursi-kursi mulai terisi, kami berempat sibuk membagikan foto-foto pagi itu di grup Emak-Emak BEN10. Berhubung yang punya hajat kali ini adalah orang penting di BEN10, yaitu sang korwat alias koordinator akhwat, aku berinisiatif membagikan juga foto di grup BEN10, grup umum yang mencakup ikhwan dan akhwat Teknik Undip 2010. Niatku hanya sekadar mengabarkan sahnya pernikahan Ovi, sehingga hanya menyertakan foto yang tak tampak muka mempelai wanita.
Alhamdulillah, sah! (foto: Lilo) |
Tetapi unggahanku di grup itu ternyata berdampak lebih luas.
Yuniva, istrinya Ihsan sang mas'ul BEN10, ternyata melihat foto itu. Kontan saja dia mengirim pesan padaku, menanyakan aku masih di tempat tersebut atau tidak. Sebelum jawabanku terbaca olehnya, tahu-tahu dia lewat di depan Emak-Emak BEN10.
Dia mengaku, dia tahu aku ada di sana karena, "Lihat foto yang kamu post di grup 'Ben sepuluh'," katanya.
Sontak Emak-Emak BEN10 tertawa. "Ben-ten," koreksi kami dengan nada protes.
Ealah, ini Yuniva nggak pernah diceritain sama Ihsan soal geng terkeren se-Teknik ini atau emang sengaja baca pakai bahasa Indonesia apa adanya gitu? Tepok jidat, dah.
Waktu itu tempat di sekitar kami udah penuh, jadi nggak bisa ngajakin Yuniva duduk bareng. Apalagi karena dia terpisah dari suami dan anaknya di sisi lain ruangan di tempat khusus tamu laki-laki.
Tak lama setelah itu, giliran Ihsan yang kirim chat ke aku.
"Lil, nanti foto bareng BEN10 ye, haha," tulisnya.
(Kenapa ya, kalau kita nge-chat, sering banget dikasih tawa semacam "haha" atau "hehe", atau malah kadang "wkwk"? Padahal kan kalimat yang bersangkutan nggak ada ngelawak-ngelawaknya. Belum lucu lah, setidaknya. Hohoho.)
"Ikhwannya lu doang?" aku menjawab dengan tanya.
"Ama anak gw, haha," dia balik menjawab.
(Nah, kalau ini sih beneran layak ketawa... atau lebih tepatnya, diketawain. Beneran kocaknya!)
Barisan Pramusaji
Setelah penantian panjang (layaknya menanti jodoh, ups!), iring-iringan pengantin datang juga. Disambut lagunya Maher Zein, The Rest of My Life, kedua mempelai beserta kedua pasang orang tua mereka menyusuri lorong. Dalam bahasa Inggris, mungkin ini contoh harfiah dari "walk down the aisle", ungkapan yang sering terdengar di film-film Barat namun diartikan secara istilah.
Pembukaan, tilawah, dan sambutan-sambutan. Ada doa juga di bagian awal. Sementara itu, para tamu terutama emak-emak sibuk kipas-kipas, dan aku dan Ely udah mulai liyer-liyer.
Mungkin sudah memprediksi kejenuhan hadirin saat hanya mendengar orang di panggung berbicara, panitia memberikan hiburan menarik.
Dari pintu depan aula, dua orang masuk, membawa bungkusan entah berisi apa. Di belakangnya, berderet-deret dalam barisan rapi para pramusaji berseragam menenteng berpiring-piring makanan di atas nampan. Sementara kedua orang paling depan menuju pelaminan, para pramusaji ini menyebar dengan apiknya di antara kursi-kursi dan membagikan makanan-makanan tersebut kepada hadirin.
Sedikit pemandangan pramusaji yang berbaris (video: Nadya, screencapture: Lilo) |
Menunya saat itu tak kurang dari semacam cake... atau apa ya, namanya? Intinya sejenis snack yang biasa disajikan pada para tamu ketika pertama kali tiba di acara resepsi.
Saking takjubnya sama atraksi pramusaji tadi, aku sampai lupa mengabadikan momen itu dalam kamera seperti Nadya. Harap-harap cemas menunggu hidangan kedua, bersiap mengeluarkan kamera kapan saja.
Tapi ketika menyajikan hidangan berikutnya, para pramusaji itu langsung masuk saja seperti biasa. Menu kali ini sup. Hmm... appetizer lah yaa....
Setelah diamat-amati, lama-lama kok urutan menunya persis yang ada di kartu di atas meja itu ya? Saat ini hadirin sedang menikmati sajian utama, nasi dan sambal goreng hati, berarti habis ini... es krim.
Benarlah, es krim ungu dengan tampilan meriah menutup santapan kami.
Dengan penataan tempat dan sajian makanan seperti ini, tuan rumah berhasil menyelenggarakan sitting party, haha.... Eh, apa ya istilahnya, sebagai lawan kata standing party? Intinya, hadirin tak perlu berdiri selama menyantap hidangan, tanpa mengurangi megahnya pesta.
Di daerahku, pramusaji mengantarkan sajian pada hadirin di kursi masing-masing hanya ada di kampung-kampung, tidak lazim ditemui pada resepsi yang diselenggarakan di gedung. Apakah ini memang tradisi di daerah Solo Raya ini, atau inisiatif keluarga mempelai saja?
Tiap menu pun tidak keluar langsung setelah menu sebelumnya habis, menunggu beberapa jenak, memberi kesempatan makanan untuk "turun" dulu. Mirip model makan malam ala Barat, bedanya tanpa meja makan di depannya.
Sementara hadirin disibukkan dengan makanan, di panggung silih berganti pidato dari keluarga kedua besan serta tausiyah nikah. Kasihan juga, sih, yang di depan ngomong tapi kurang diperhatikan. Mau gimana lagi... makanannya enak banget, haha.... Sengaja belum sarapan juga dari pagi, kecuali snack akad tadi.
On Camera
HP-ku berbunyi lagi, chat dari Ihsan.
"Lil, udeh didaftarin foto belom? Langsung aja deh sekarang yo biar cepet."
Aduh, ini posisiku aja lagi nggak enak buat keluar. Aku minta Nida buat melaksanakan instruksi Pak Mas'ul, karena Nida posisinya di pinggir barisan kursi, lebih enak aksesnya. Tapi dia juga ragu mau keluar.
"Foto-fotonya habis acara," aku lupa siapa yang bilang gitu, antara Nida atau Ely.
Jadi, begitu MC mengucapkan salam penutup, rombongan BEN10 bergegas mendekati pelaminan. Tapi, pada saat yang sama, kedua manten dan orang tua mereka beriringan turun dari panggung!
Lah...?
Apakah perjalanan ini akan berakhir begitu saja tanpa foto bersama manten?
Rupanya, manten cuma diminta melepas kepergian para tamu: berdiri di pintu masuk, Ovi sejajar dengan tempat duduk tamu perempuan sementara suaminya sejajar dengan tempat duduk laki-laki, mereka menyalami dan menerima doa dari para tamu.
Tinggallah Emak-Emak BEN10, Mas'ul BEN10 dan Nyonya, serta dua anak Teknik 2012, Ida dan Mei, saling ngobrol sambil menunggu. Eh, lebih tepatnya, yang ngobrol akhwat-akhwatnya aja, sambil nyubit-nyubit si Azzam, anaknya Yuniva, sementara bapaknya Azzam dicuekin aja. Hahaha....
Seorang kameramen mendatangi kami.
"Mbak, temennya mempelai ya?" tanyanya.
"Iya," jawab kami ragu. Mau diapain, nih? Kalau ditanya apakah mempelainya bakal balik sekarang, kami tahu apa?
"Bisa ngasih ucapan ke mempelai?"
Bener-bener tak terduga.
"Ucapan gimana nih?"
"Ya, ucapan atau doa-doa," kata Mas Kameramen sambil mengulurkan mikrofon.
"Eh? Buat video?" tanyaku tak percaya.
Kupikir kan ada kata-kata yang ditentukan, trus kami ngucapin bareng-bareng di depan kamera. Nggak tahunya, begitu akhwat-akhwat Teknik udah ngumpul dan camera on, CUMA GUE YANG NGOMONG! Alasan mereka sih, karena aku udah biasa orasi.
Yaelah, orasi kan teriak-teriak pake TOA. Masa gue kudu teriak-teriak sama manten? Atau, orasi karena mereka udah nikah duluan sementara gue belum? HAHAHAHAHA. Sableng.
Ditemani emak-emak Teknik yang cuma NUMPANG NAMPANG di kamera itu, aku meluncurkan kata-kata pertama yang muncul di otakku, sambung-menyambung menjadi satu, itulah Indonesia... eh, maksudnya, begitu satu kata selesai, aku langsung mengucapkan kata lain yang terlintas. Ngasal banget deh. Udah nggak bisa mencerna apakah kata-kata itu terangkai dalam kalimat yang sesuai kaidah bahasa Indonesia, atau layak diucapkan sebagai doa mewakili seantero akhwat Teknik dan Undip.
MAS KAMERAMEN, ADA RETAKE VIDEO NGGAK, YA?
Yah, semoga penampilanku yang acak-acakan kayak gitu nggak merusak video kenang-kenangan acara yang cuma sekali seumur hidup ini, ya, Vi. Hehehe....
Atau mungkin, saking nggak jelasnya proses take tadi, editor videonya melewati begitu saja scene tadi dan tidak menyertakannya dalam album.
Nah, sekarang kedua mempelai sudah menuju kembali ke pelaminan, siap difoto bareng tamu-tamu yang masih tersisa.
Barulah saat itu aku bisa mengamati kostum Ovi lebih dekat. Roknya mengembang macam gaun Cinderella, ditahan crinoline kayak baju princess Eropa kuno. Lebarnya crinoline ini menghalangi orang yang mau foto mengambil posisi lebih dekat pada Ovi. Bahkan suaminya sendiri tidak bisa berdiri merapat padanya.
Ide bagus juga nih, kalau terpaksa harus foto jejer sama laki-laki (misalnya serombongan sesi foto isinya laki-laki semua, atau kadang kameramen yang meminta tamu laki-laki berdiri di sebelah mempelai wanita, dan sebaliknya), si laki-laki nggak bisa terlalu mepet sama mempelai wanita. Semacam "hijab" alami gitu.
Dari kiri ke kanan: 2 orang anak ST12 (:p), (1) Nyonya Masul BEN10, (1) Mas'ul BEN10, (2) mempelai pria dan wanita, (4) emak-emak BEN10 (foto: mas-mas fotografer tak dikenal) |
Tadinya Emak-Emak BEN10 udah khawatir aja, nggak ada yang mau "ngalah" foto jejer mempelai laki-laki. Kan biasanya manten itu di posisi tengah, dan kami kan perempuan semua. Sempat kepikiran, kita maksa aja foto sebelah Ovi semua, jadi manten di ujung? Atau kita foto sama Ovi sendiri, suaminya "dipinggirkan" dulu? Hehe.... Kedatangan Ihsan bersama Yuniva menyelesaikan persoalan. Ihsan bisa berdiri di sebelah suaminya Ovi, Yuniva mendampingi sang suami, baru akhwat lain di sebelah Yuniva.
Selesailah sudah kunjungan ke walimah Ovi. Kami berpisah: sebagian menuju masjid untuk shalat Zuhur, sebagian langsung pulang. Aku dan Ely ada dalam kelompok yang shalat di masjid tempat akad dilangsungkan tadi, merencanakan perjalanan selanjutnya.
Fokus Satu Titik
Namanya juga bonek alias bocah nekat, satu agenda udah selesai pun masih belum tahu agenda berikutnya apa. Buta arah dan tempat sama sekali akan daerah Solo, Ely gugling dulu tempat wisata yang dekat dengan Stasiun Solo Balapan, tempat kereta kami akan berangkat nanti.
Menurut Google, di sekitar Solo Balapan, ada Taman Tirtonadi, Monumen Pers Nasional, dan Benteng Vastenburg. Berhubung kami nggak tahu kendaraan umum yang lewat Donohudan, cuma taksi online pilihannya, dan ongkosnya mahal banget.
Demi memangkas tarif yang gila-gilaan itu, kami berdua memilih kembali ke RS Karima dengan taksi online, baru dari situ bisa naik BST ke tujuan.
"Paling nggak, kita udah punya satu titik yang menjadi patokan di Solo," komentar Ely mengenai RS Karima.
Tapi tidak semudah itu, Ferguso. Kembali kami mengalami kesulitan memetakan titik jemput, karena GPS-ku mulai tidak bisa dipercaya, beberapa kali geser. Belum lagi ketika mengetikkan "Asrama Haji Donohudan", lokasinya berada jauh dari tempat kami berada. Untungnya ada Gedung Musdalifah. Supaya mudah ditemukan driver, aku dan Ely duduk di dekat gerbang, di depan pos satpam.
Bukan itu saja, Santiago. Dua kali pesanan kami dibatalkan oleh driver dengan alasan bermacam: mobil mogok lah, lokasi terlalu jauh, lah. Memang, dari tadi pagi pesan taksi online selalu dapat driver yang lokasinya jauh banget. Dapat driver untuk yang ketiga kalinya, posisi driver sama jauhnya seperti sebelum-sebelumnya, tetapi driver satu ini bersedia menjemput kami.
Tahukah kau berapa lama kami menunggu, Meriam Bellina... eh, MarÃa Belén? Lebih dari setengah jam! Kami meninggalkan masjid sekitar jam satu, tapi sekarang hampir jam dua. Padahal kereta kami dijadwalkan berangkat pukul 16.10. Masihkah ada waktu untuk nanti berjalan-jalan?
Yah sudahlah, mungkin belum rezekinya kami jalan-jalan di Solo. Setidaknya kami mendapatkan driver taksi online yang ramah, yang juga berperan sebagai tour guide dadakan dengan menjelaskan beberapa hal tentang Solo padaku dan Ely selama perjalanan.
Salah satu yang ditunjukkannya adalah Pabrik Gula Colomadu, salah satu pusat industri di daerah Solo pada masa penjajahan Belanda. Nama itu samar-samar mengingatkanku pada plot novel De Winst yang mengambil daerah ini sebagai latar tempat.
Yang aku ingat, kami datang dari jalan yang tegak lurus berhadapan dengan Pabrik Gula tersebut, lalu belok kanan untuk menuju ke RS Karima.
Driver itu juga menjelaskan, di area alun-alun keraton sedang ada acara Haul Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi. Jadi jalan menuju ke sana memang macet parah. Ini menjelaskan kenapa kedua driver sebelumnya tampak enggan menerima orderan kami.
Meletakkan kompas, mencari arah yang benar (foto: Lilo) |
Sampai di RS Karima, kami masih harus jalan sedikit untuk mendapatkan halte terdekat menuju stasiun. Di situ sudah ada serombongan ibu-ibu yang sedang menunggu BST yang sama. Hampir 15 menit kami menunggu, busnya belum datang juga. Dua kali bus ke arah berlawanan sudah lewat, tapi kenapa di posisi kami masih lama?
Sekarang yang aku dan Ely pikirkan bukan lagi masih sempat jalan-jalan atau enggak, tapi bakal ketinggalan kereta atau enggak.
Kami melirik HP. Sudah hampir jam 3. Mau naik taksi online lagi sampai stasiun? Cek tarif dulu, dan harganya hampir sama dengan perjalanan sebelumnya.
Oke deh, ambil aja. Daripada ketinggalan kereta, ya, nggak?
Padahal tiket kereta cuma 8 ribu, dan kami harus menghabiskan 50 ribuan demi mengejar kereta itu? Eh, tapi daripada nunggu kereta selanjutnya dan malah kehabisan tiket?
"Kalau ketinggalan kereta, aku milih ngebis ke Semarang," celetukku. Kan bus Solo–Semarang tersedia 24 jam.
"Ntar aku nginep di rumahmu aja berarti," timpal Ely, bergabung dalam kehaluanku.
Driver taksi online sudah mendekati posisi kami, ada BST mendekat.
"Gimana nih? Cancel ordernya?"
"Nggak usah, deh, kasihan driver-nya."
Lagian, naik BST juga bisa jadi muter-muter dulu, kan?
Taksi online pesanan kami datang tak lama kemudian, membawa kami menuju jalur yang sama yang tadi kami lewati menuju RS Karima.
Jangan-jangan....
Benar saja. Di sebelah kanan kami muncul pemandangan Pabrik Gula Colomadu. Aku ingat betul, kalau belok kiri nanti sampai di Donohudan lagi, tapi kali ini kami mengambil jalan lurus.
Ternyata Solobalapan lebih dekat dari Donohudan daripada dari RS Karima!
Halah, kayak theme song Asian Games aja, "Tetap fokus satu titik, hanya itu, titik itu...." Kami fokusnya cuma titik RS Karima, nggak ngecek peta lagi untuk menentukan objek mana ada di mana.
Tahu gitu, nggak perlu muter-muter sampai Sukoharjo!
Astaghfirullah, nggak boleh berandai-andai kan, ya....
Yah, mending nyanyi bareng aja yuk habis ini.
Ning Stasiun Balapan...
Kuta Solo sing dadi kenangan kowe karo aku, El... hehehe....
Gimana nggak jadi kenangan, ini kota Solo? Yang bikin kita berdua, technically, menjelajah beberapa kota baru dalam beberapa jam saja. Dan stasiun yang namanya Balapan ini bener-bener membuat kita merasa lagi "balapan" beneran, dalam hal ini balapan dengan waktu biar nggak ketinggalan kereta. Sampai kepikiran, shalat Ashar di kereta aja apa, ya, kalau terpaksa?
Alhamdulillah, masih ada cukup waktu sebelum gate peron dibuka. Bahkan sebenernya bisa sholat Ashar dulu di luar peron, tapi mushola yang tersedia... aduh, nggak banget! Sempit, dan rasanya kumuh. Saat itu lagi penuh orang juga. Semoga masih ada waktu deh, antara masuk peron dengan datangnya kereta.
"Pak, untuk (penumpang) Prameks sudah dibuka?" tanya Ely ke penjaga gate.
"Tunggu Solo Ekspres jalan dulu," jawab bapak-bapak itu.
Lama ditunggu, Solo Ekspres belum jalan juga. Udah jam setengah empat pula, dan aku dan Ely udah sempet jajan teh bungkus dulu.
"(Penumpang) Prameks udah boleh masuk, Pak?" giliran aku yang tanya.
"Setelah Solo Ekspres jalan," informasi yang sama dari petugas.
Sepuluh menit kemudian, kereta itu akhirnya jalan juga. Penumpang Prameks langsung berhamburan masuk seperti air yang kerannya dibuka.
Pukul 16.45. Sepertinya masih sempat shalat Ashar di stasiun, walaupun jarak musholanya agak jauh dari Peron 1. Mushola di dalam nyaman, jauh banget dibandingkan yang di luar. Tempat wudhunya pun tertutup. Kalau nggak lagi terburu-buru, betah nih istirahat lama-lama di sini. Atau foto-foto dulu seperti rencana hiburan kami ketika gagal mengunjungi objek wisata di Solo. Info dari Google, Stasiun Balapan punya banyak objek foto menarik, termasuk dekat mushola dalam itu.
"Ingat misi kita," kataku pada Ely, seolah akan melakukan penyerbuan. "Ambil tempat duduk di sebelah kanan menurut arah keberangkatan kereta nanti, biar bisa motret merapi."
Nggak melebih-lebihkan juga sih, kedatangan kereta komuter Solo-Jogja itu benar-benar disambut dengan penyerbuan penumpang ke dalam kereta. Aku dan Ely berdiri di tempat sedemikian rupa di antara lautan manusia itu, sehingga ketika kereta berhenti, pintu terdekat dari kami sedikit terimpit tiang. Memaksakan diri menembus celah antara tiang tersebut dan badan kereta (untungnya muat!), aku berhasil mencapai pintu yang, karena posisi kecepitnya itu, hanya sedikit orang yang masuk lewat sana.
Yap, masih ada kursi kosong di sisi yang menjadi target kami. Sigap aku menempati posisi itu, Ely menyusul di belakangnya. Untuk sementara kami berdua bisa mengistirahatkan badan dengan nyaman. Tidak terlalu lama, karena kemudian datang ibu-ibu yang membawa anak-anak. Sebagaimana diharapkan dari seorang anak muda yang tahu adat, aku dan Ely berdiri di tepi pintu bersama seorang petugas kereta yang menjaga pintu.
Kereta berangkat. Ely sudah mengambil posisi bersila di lantai, bersiap tidur sambil duduk. Namun tidak sebelum dia berpesan, "Kalau ngelewatin Merapi, aku dibangunin ya."
Berbeda dengan kereta komuter di Jakarta, Prameks tidak mempermasalahkan kalau penumpangnya mau duduk-duduk di lantai. Petugas di samping kami bahkan sama sekali tidak mengacuhkannya.
Keluar dari Solo, aku menatap langit. Masih cerah, tapi di depan sepertinya mendung. Harap-harap cemas nih, semoga mendungnya setelah melewati Merapi.
Di setiap stasiun, aku menjawil Ely supaya tidak menghalangi jalan. Giliran melewati Merapi, dia udah mulai terbangun sendiri, tapi....
"Merapi-nya nggak kelihatan," laporku. "Ketutup awan."
Satu lagi misi gagal hari ini, setelah kegagalan misi-misi sebelumnya: mengabadikan banyak momen bersama Ovi di hari pernikahannya, mengunjungi tempat wisata di Solo, hunting foto di Stasiun Balapan, dan hunting foto Merapi di kala sunset.
Setidaknya, semua itu terbayarkan oleh perjumpaan dengan Emak-Emak BEN10 lainnya. Sampai ketemu kalau ada yang nikah lagi, hehehe....
Merapi tertutup awan |
Epilog
Sudah tiga kota menjadi tempat petualanganku dan Ely. Destinasi berikutnya, antara Semarang dan Jogja. Apakah salah seorang di antara kami akan jadi bolang alias bocah ilang lagi? Hehe....
Semoga tidak, ya. Kami sama-sama sudah pernah tinggal di kedua kota tersebut, harusnya sih sudah ma'rifah medan.
Hanya saja... entah di Semarang dulu atau Jogja dulu, salah satu dari kami akan benar-benar menjadi solo traveler. Menempuh perjalanan tunggal.
Ini malah ending-nya jadi mellow gini, yak?
MasyaAllah luar biasa nih mbak lila
ReplyDelete