Header Ads

Travel Alone 2: The Guide's Wedding


Jumpa lagi, jumpa Maissy kembali... eh, maksudnya, jumpa ELO kembali. Yeah, ELO hadir lagi dengan membawa serangkaian kisah bolang alias bocah ilang. Ini petualangan kedua ELO bersama, sedangkan The Adventure of ELO episode 1½ enggak dipublikasikan. Ya soalnya yang episode 1½ ini cuma melibatkan E-O aja, L-nya cuma jadi tempat transit.

Oke deh, dijelasin dikit. Ceritanya, waktu itu EO ada kondangan di Pati, dan ternyata mereka kemaleman dalam perjalanan pulang, dan akhirnya nginep di rumah L di Ungaran. Paginya, ELO jalan-jalan ke Alun-Alun Bung Karno yang juga disebut Alun-Alun Kalirejo, naik mobil-mobilan yang dikayuh empat orang. Nggak seru, kan?

Eh, btw, siapa tuh si ELO?

Kalian yang udah baca tulisan Travel Alone: Lost in Jakarta, pasti tahu kalau ELO singkatan dari Ely, Lilo, dan Ovi. Waktu itu kami bertiga ada acara kondangan di daerah Serpong, tapi sekalian jalan-jalan di Jakarta. Sebagai guide kami, Ume yang habis kuliah domisilinya di Jakarta. Jadi waktu itu sebetulnya nggak ilang-ilang banget.

Tapi apa yang terjadi kalau si guide itu sekarang justru yang "punya gawe" alias nikah? Siapa dong yang akan mengawal ELO di Kuningan, tempat asal mempelai wanita?

Nah, simak ketidakjelasan kisah ELO berikut ini.

(Nama subjek ELO disingkat pakai inisial masing-masing aja ya, hehe...)

* * *

Naik Kereta Api, Tut... Tut... Tut...


Tahu bahwa ELO merupakan bocah-bocah nekat yang, kalau ada kondangan, memilih moda transportasi umum daripada bareng-bareng nyarter kendaraan sendiri, Ume ngasih undangan ke kami beberapa waktu lebih dulu dari yang lain. Seriusan, di chat dia emang nulis gitu, biar ELO bisa mempersiapkan tiket. Maklumlah, Ume termasuk rombongan pelepas status lajang di bulan Syawal. Jadi hari-hari itu emang tiket biasanya ludes kalau nggak pesan dari jauh-jauh hari.

Benar saja. Meskipun Ume kasih kisikan kira-kira sebulan sebelumnya, tiket kereta ke Cirebon udah mendekati limit. Karena acaranya Ahad, ELO berencana berangkat Jumat, biar Sabtu bisa jalan-jalan dulu, tapi tiket hari Jumat yang ramah kantong udah habis. Akhirnya dapet tiket Sabtu.

FYI, karena EO domisilinya di Jogja, kali ini giliran L yang ngalahi ke Jogja dulu biar bisa berangkat bareng-bareng. ELO bakal ketemuan di Stasiun Lempuyangan sebagai stasiun keberangkatan. E yang pertama kali datang, dan dia duduk menunggu di emperan depan gerai ATM, ditemani ransel di sampingnya dan bantal leher yang melingkari lehernya. Setidaknya, begitulah posisi E ketika L bergabung dengannya. Begitu O datang, kami langsung check in.

Di dalam kereta, kejadian perjalanan ke Jakarta dulu terulang kembali. L dikasih tempat yang terpisah dari EO. Mereka berdua di kursi A-B, si L ditaruh di kursi C. Ya emang, sih, waktu itu kursi kosong udah limit.

Akibatnya, sementara E dan O dengan tekun mencari informasi penginapan di Cirebon (bener-bener traveller nekat, udah otewe tapi nggak tahu tujuannya) dan book kamar, L sibuk mencari cara biar nggak terlalu berdempetan sama "rekan sekursi" yang laki-laki. Mau pindah juga nggak mungkin, soalnya keretanya udah penuh banget.

Setidaknya, perjalanan kali ini lebih singkat daripada perjalanan dulu. ELO turun dari kereta di Stasiun Cirebon Prujakan. Udah tahu, kan, ya, kalau Cirebon, seperti Semarang, juga punya 2 stasiun? Yang satu lagi namanya Stasiun Cirebon, tapi oleh warga setempat dikenal sebagai Stasiun Cirebon Kejaksan.

Dari Cirebon Prujakan, ELO menyewa taksi online menuju Tenacity Guest House, yang merupakan salah satu jaringannya Airy Rooms.

Walaupun jaraknya tak jauh, tapi kalau kalian cek di peta, penginapan ini ternyata udah beda wilayah dengan stasiun, lho. Stasiun Cirebon Prujakan ada di Kota Cirebon, sementara Tenacity udah masuk wilayah Kabupaten Cirebon.


Jalan Ke-Sabar-an


Sembari istirahat sejenak di kamar guest house, E kembali asyik googling tempat menarik terdekat yang bisa dikunjungi, lalu mencari lokasi tepatnya di Google Map. O, yang mengawasi E menggeser-geser peta, bertanya penasaran, "Itu di sebelah kanan, kenapa warnanya biru?"

"Itu laut," seru E sambil tertawa bersama L. Si O cuma mesem.

Pada akhirnya ELO sepakat mencicipi empal gentong khas Cirebon. Menurut Google, ada rumah makan Empal Gentong H. Apud sekitar 800 meter dari penginapan. ELO memilih jalan kaki ke sana, itung-itung ngirit ongkos. Hehe...

Dengan santai, ELO keluar dari gang tempat guest house berada menuju Jalan Sutawinangun, lalu belok kanan sesuai jalan yang dilalui dari stasiun tadi.

Nama gang yang dijumpai sepanjang jalan tersebut menarik perhatian ELO. Awalnya, L menemukan plang bertuliskan "Gang Ikhlas". L terkekeh sendiri teringat film Kiamat Sudah Dekat, yang mencari ilmu ikhlas sampai papan nama "Jalan Ikhlas" pun mau dicabut.

Beberapa meter selanjutnya, gang yang dijumpai bernama Gang Tulus.

"Eh, kok unik banget, sih, nama gangnya," celetuk L.

"Jangan-jangan habis itu ada Gang Sabar dan Tawakal," timpal E atau O.

Eh, ternyata bener, usai Gang Rahayu dan Gang Teguh, ada Gang Tawekal dan Gang Sabar!

Saking asyiknya mengamati nama gang yang bijak banget gitu, ELO mendadak bingung lihat jalannya. Ini udah jalan kaki sekitar 700 meter, kok belum ada tanda-tanda rumah makan, ya? Malah ini sampainya di jembatan sungai.

E kembali mengecek Google Map-nya, dan ternyata... ELO nyasar! Harusnya tadi begitu keluar gang dari guest house, nyeberang, langsung masuk gang lagi, bukannya malah menyusuri Jalan Sutawinangun. Beneran jadi bolang, eh?

Denah nyasar ELO. Harusnya, dari perempatan di titik A itu, ELO nyeberang ke Jalan Perintis-Jalan Widarasari III, baru belok kanan sampai Empal Gentong H. Apud. Tapi ELO malah belok kanan di titik A, dan menyusuri jalan hingga titik B.


Berminggu-minggu setelahnya, ketika napak tilas jalan tersebut via Google Map, didapati bahwa sungai dan jembatan itu adalah perbatasan antara Kabupaten Cirebon dengan Kota Cirebon. Lihat, deh.

Yang di-highlight merah itu Kota Cirebon, selainnya Kabupaten Cirebon. Penginapan ELO ada di titik A (bukan yang ada tulisannya "Rumah Mantan" itu, ya), dan ELO menyusuri jalan sampai titik B yang tepat di perbatasan Kota dan Kabupaten Cirebon.

Tampaknya ELO memang disuruh bersabar atas ujian ini. Hahaha....

Berhubung udah jam 5-an (dan yang jelas, udah laper!) ELO ambil shortcut aja: pesen taksi online. Nggak jadi ngirit, deh! Tapi lumayan lah, olahraga dikit sebelum makan.


Wisata Kuliner


Empal gentong ternyata enak juga. Sebenernya pengin nambah lagi, tapi lihat daftar harganya udah bikin kenyang, rasanya cukup untuk sampai besok pagi.

Destinasi selanjutnya adalah Masjid At-Taqwa. Niat shalat Magrib di sana, tapi begitu ELO sampai di sana, jamaahnya udah hampir selesai. Ya sudah, sekalian shalat Isya aja nanti. Sementara nunggu, ELO nongski di terasnya, memotret sekitar berlatar belakang biru langit yang indah.

Rembang petang di halaman Masjid At-Taqwa, Cirebon. Ada oknum E di sana. Ketemu?

Usai Isya, yang dijamak takhir dengan Magrib, ELO pindah posisi nongski ke depan pintu masjid, kali ini sambil video call dengan Inung.

Oh iya, Inung dan Kuni sedianya bergabung dengan ELO di Cirebon ini; mereka berangkat dari Jakarta sore. Tapi qadarullah, Inung harus pulang ke Banjarnegara, dan Kuni ragu-ragu kalau berangkat sendirian, belum lagi ada kerjaan yang ditinggalkannya.

ELO ngobrol sama Inung sampai masjid sepi dan pintunya ditutup. Dan bersebab itulah, ELO akhirnya cabut dari sana (melihat masjid yang nyaman, ELO sempat kepikiran harusnya nginep di sana aja, ternyata ada jam malam juga), dan jalan-jalan di alun-alun Cirebon yang terletak persis di depan masjid.
a
b
c
Interior Masjid At-Taqwa (a dan b) dan bentuk bangunannya dari luar (c).

Kalian perhatikan, nggak, banyak kota yang, di sekeliling alun-alunnya, pasti berdiri masjid besar? Simpang Lima Semarang, Temanggung, Banjarnegara, Tegal, Cirebon... bahkan, lapangan Monas pun berdiri berhadapan dengan Istiqlal, bukan? Konon, pada masa lampau, masjid memang salah satu pusat berkumpulnya masyarakat, maka masjid dan alun-alun tak bisa dipisahkan.

Walaupun rencananya nggak makan malam, ELO malah mulai kelaparan tepat setelah meninggalkan area masjid. Untungnya ada pujasera di sebelah alun-alun. Niat makan nasi jamblang pupus lantaran tak ada yang jual. Akhirnya E memesan lumpia basah, L memilih seblak, sedangkan O... eh, O makan apa ya?

Sembari menikmati makan malam, pengunjung dihibur pengamen yang memainkan alat musik dan nyanyi sambil mengitari alun-alun.

Tapi makan di sana itu... lamaaaaa banget, wabilkhusus nunggu pesenannya dimasak. Saking lamanya, dari proses ELO pesen makan sampai selesai, grup pengamen itu udah lewat TUJUH KALI. Udah kayak thawaf aja, kan? Dan... ELO bahkan belum selesai makan!

Sampai penginapan, udah kepengin langsung tidur aja. Besok kudu siap sejak subuh, kalau mau menyaksikan akad nikahnya Ume.


Social Experiment


Keesokan paginya, sebelum check out, E berinisiatif melakukan social experiment kecil-kecilan. Caranya adalah dengan meletakkan tulisan dengan ucapan terima kasih di atas tempat tidur yang sudah ELO rapikan sebelumnya. Ini, kata E, sebagai bentuk apresiasi buat pihak manajemen penginapan.

"Terus, kita tahunya tulisan itu dibaca atau enggak, gimana?" tanya L. "Kan kita langsung pergi."

"Ya, kita nggak tahu," jawab E.

E dan O lantas melanjutkan mencari sesuatu yang bisa ditulisi, sementara L masih berkutat dengan memikirkan gimana caranya kita bisa tahu hasil experiment alias percobaan tersebut (berhasil atau tidak, atau seperti apa) kalau kita nggak tinggal untuk melihat reaksi "objek" penelitian ini.

Tak ada rotan, akar pun jadi; tak ada kertas, tisu pun jadi. Yeah, E menuliskan "Thank you" di selembar tisu dan meletakkannya di atas selimut yang sudah dilipat. ELO pun meninggalkan penginapan lengkap dengan seluruh bawaan masing-masing, karena ELO nggak akan kembali ke sana usai menghadiri walimah Ume. Sesuatu yang akan jadi masalah di kemudian waktu.


Sepanjang Jalan Kuningan...


Rumahnya Ume ternyata nun jauh di puncak. Bukan hanya nama daerahnya yang Desa Puncak, tapi lokasinya emang dikit lagi sampai puncak Gunung Ciremai. Jadi pengin nyanyi Naik, Naik ke Puncak Gunung, karena jalanan emang makin lama makin tinggi. Menurut perkiraan aplikasi taksi online, perjalanan ditempuh sekitar satu jam.

Dalam perjalanan, Google Map menjadi teman setia ELO and the driver. Setidaknya, ketika sudah masuk wilayah Kuningan. Tapi, beberapa kilometer sebelum sampai tujuan, Google mengumumkan, "Sinyal GPS hilang."

Ujung-ujungnya kembali pakai cara konvensional: nanya orang.

Penanyaan pertama, si "narasumber" bilang kami kebablasan. Akhirnya puter balik lagi, mencari ancer-ancer yang disebutkan. Penanyaan kedua, ketika udah sampai lokasi, dan tinggal mencari posisi persisnya, si driver meminta undangan yang kami bawa, untuk ditunjukkan ke orang yang ditanya. "Narasumber" mengambil undangan itu dan mengiyakan kalau itu tempatnya, menunjuk serombongan orang yang juga berpakaian rapi di depan masjid.

You know what, si driver bilang oke-oke dan makasih gitu aja sambil menyetir mobilnya mendekati rombongan orang itu, tanpa minta balik undangannya. PAK, ITU UNDANGAN KENAPA DIKASIHIN GITU AJA? Itu kan undangan kami.

Bukan undangan "milik" ELO juga, sih. Pada dasarnya, dalam undangan itu tercantum nama "Kuni" yang diposkan Ume ke L buat disampaikan ke Kuni, yang rumahnya masih satu kabupaten sama L, selama libur lebaran. Asumsinya, Kuni yang mudik lebaran punya kesempatan lebih besar untuk ditemui L lebih cepat daripada kalau Ume yang ngasih sendiri di Jakarta usai liburan. Tapi, jarak rumah L dan Kuni kira-kira 20 km, jadi nyaris nggak pernah ketemuan. L sendiri bawa-bawa undangannya dalam perjalanan ini buat disampaikan ke Kuni pas ketemu di Cirebon, tapi dia malah nggak jadi datang. Jadilah undangan itu raib di tangan bapak-bapak yang ditanya si driver. Maap, ye, Kun! Maap juga, Ume, amanah tidak tertunaikan. Hiks.

ELO turun dari mobil dan menuju masjid. Tampaknya, rombongan di sana adalah keluarga mempelai pria, karena di antara mereka ada yang bawa seserahan. Karena rombongan itu berkumpul di sana, dan beberapa tampak berdiri di undakan masjid, ELO sempat mikir akadnya mau dilaksanakan di masjid gede itu, maka ELO bergegas melepas sepatu dan menaiki undakan. Begitu mengintip lewat jendela, tak tampak masjid itu disiapin buat akad.

Masjid di Puncak

Di masjid itu, ELO berhenti sejenak, merapikan barang-barang bawaan yang seabrek, cuci muka habis tidur selama separo perjalanan. Selesai beberes, rombongan yang tadi ELO lihat udah jalan. Nggak nemu tempat buat nyembunyiin tas ransel dan bantal-lehernya E, semua barang itu dibawa aja sembari ELO berusaha menyusul jejak rombongan. Dengan isengnya, E menyelipkan bantalnya di pegangan atas ranselnya L, sedemikian rupa, sehingga L yang menggendong ranselnya di punggung jadi kayak Teletubbies yang punya antena di kepala.

Setelah melewati gang-gang sempit yang berliku-liku, sampailah kami pada area yang cukup luas untuk bisa menampung kursi-kursi tamu, meja hidangan, bahkan pelaminan di sana. Itu artinya, ELO sudah tiba di tempat yang benar. Suara-suara menjelang akad sudah terdengar, maka ELO mengambil tempat duduk di ujung terjauh dari pelaminan.

Tapi ELO tak bisa menemukan tempat akadnya. Ketika ada seorang bapak yang menunjukkan tempatnya, ELO bergegas mengikuti petunjuk beliau. Ransel dan bawaan besar lainnya? Ditinggal gitu aja di tempat duduk tadi. Hahaha.... Toh nggak ada barang "berharga" juga.


The Guide's Wedding


Salaman sama manten di pelaminan

Di belakang pelaminan itu ternyata ada mushala tersembunyi (beuh, kayak apaan aja), dan di situlah akad berlangsung. Sayangnya, pas ELO masih "ber-permisi-ria" menuju ke sana, akad nikah udah terucap. (Kirain baru latihan, nggak tahunya beneran.) Gagal deh menyaksikan perjanjian yang menggetarkan 'arsy ini. Sampai di mushala, udah sesi doa.

Setidaknya, di sana banyak adik dan kakak tingkat sefakultas di Teknik dulu. Ada Mbak Endang, Mbak Nurul, Mbak Tuti, Mbak Vidhe, Lily, Dida... siapa lagi, ya, yang belum disebutin? Jadinya kami malah sibuk salim-saliman sementara hadirin lainnya sibuk mengaminkan doa.

Beberapa saat kemudian, baru mempelai wanita dimunculkan. Uwoooo... pangling, euy. Nggak kelihatan kalau mempelai ini adalah biasanya kelihatan "bocil" alias bocah kecil (secara fisik) yang ringkas ke sana kemari, yang doyan coba-coba hal baru (macam ice skating, hehe...). Saat itu, Uum Umyati bener-bener kayak gadis Sunda yang anggun dan dewasa. (Jangan ge-er ya, Me!)

Tapi suasana sakral mulai pecah ketika orang-orang mulai foto bareng pengantin yang baru disahkan lima menit itu. Ledekan-ledekan mulai terdengar, termasuk saat kedua mempelai ini disuruh melakukan "reka ulang adegan" alias mengulang prosesi cium-tangan-suami-oleh-istri biar bisa difoto lagi.

Saking banyaknya orang yang pengin foto bareng seleb dadakan itu, geng akhwat Teknik baru bisa menyalami dan memeluk Ume ketika hadirin lainnya udah bubar. Lumayan juga, sih, lebih privat jadinya. Hanya saja, nggak bisa lama-lama, Mas dan Mbak Manten udah harus bersiap buat walimatul 'ursy.

Tapi, dasar manten anyar gres, mereka berdua keluar mushala udah kayak sendiri-sendiri gitu. Sampai ada (rombongan Teknik) yang ngeledekin Mas Manten, "Eh, itu dianterin, dong!"

"Dianter ke mana?" jawab si Mas Manten cuek.

Tepok jidat.

Reka ulang adegan: mempelai wanita mencium tangan mempelai pria
Rakyat: "Pak, itu istrinya dianterin, dong!" | Mempelai putra: "Dianterin ke mana?" | Rakyat: "Anterin ke surga."

Acara resepsi dimulai, diawali dengan sungkeman mempelai kepada kedua pasang orang tua. Terus, ada juga prosesi... apa ya, namanya? Kalau sepaham penulis sih, namanya saweran, nggak tahu nama aslinya, terutama di tanah Sunda. Yang jelas, mempelai dan orang tua mereka melempar segenggam barang-barang (detailnya lupa, kalau nggak salah ada koin dan permen) ke hadirin yang udah bergerombol di depan dan berebut hasil lemparannya. Melihat adat seperti itu, diiringi ucapan pembawa acara, membuat suasana Sunda lebih terasa.

Para akhwat Teknik nggak ikutan nyawer?

Nggak sih. Kami cuma nonton... dari balik pelaminan! Yeah, pas keluar dari mushala, prosesi tradisional itu udah siap dimulai, jadi orang-orang sebaiknya tidak berlalu lalang di sektiar pelaminan. Padahal, untuk mencapai kursi tamu dari mushala, harus melewati pelaminan. Tapi beberapa dari kami masih sempet fotoin, walaupun harus berdesakan dengan... tiang tripod kamera!

Prosesi adat

Kami nggak lama di acara resepsi. Begitu azan Zuhur, kami langsung pamitan sama Ume, lalu berjalan ke masjid yang tadinya ELO kira jadi tempat akad untuk menjamak Zuhur dan Asar. Eh, sebelumnya ELO ambil ransel mereka dulu di kami meletakkan tadi, dan ternyata nggak ada yang mengubah posisinya (padahal deket stand bakso, hehe), jadi ELO berjalan ke masjid dengan bawaan serempong waktu berangkat.

Seolah belum cukup rempong, sesampainya di masjid, ada bapak-bapak yang ngejar ELO, menyerahkan souvenir dari mempelai khusus buat temen-temennya. Bukan souvenir kayak yang dibagiin buat para tamu, beda lagi. Dan barangnya nggak bisa dikantongin. Eh, souvenir-nya sendiri bisa sih, tapi oleh-oleh lainnya itu... makanan khas setempat, minuman dalam botol... semuanya dijadikan satu dalam tas tangan kertas.

Nantinya, ELO ke mana-mana bawa seenggaknya dua pasang tas (tas ransel dan tas oleh-oleh dari Ume) plus tas belanja.


Tempat Wisata Terakhir


Karena perjalanan "menuju Puncak" tadi ELO naik taksi online, dan driver-nya nggak diminta nungguin, bagaimana cara ELO kembali ke Cirebon? Rombongan akhwat Teknik yang lain, yang semuanya berangkat dari Jakarta, memang membawa mobil, tapi kan udah penuh banget.

Allah Mahabaik. Di walimahan tadi, O ketemu sama seorang teman (nggak tahu temen apa, O nggak mau ngaku, yang jelas dia tamunya Ume juga) yang akan pulang ke Jakarta, dan bersedia menyisipkan ELO di mobilnya dan mengantar ke Cirebon.

Mereka mengajak ELO singgah di objek wisata air Cigugur, yang ada terapi ikannya. Kami mencoba terapi ikan itu di sana, mumpung waktu itu areanya masih relatif kosong. Begitu banyak pengunjung mulai berdatangan, kami buru-buru beranjak dan hanya menikmati siang di sana.

Objek Wisata Cigugur

Kata orang, perjalanan pulang biasanya terasa lebih cepet daripada perjalanan berangkat, karena dalam perjalanan pulang, kita udah "kenal" jalan yang dilalui. Tapi ini kayaknya nggak berlaku dalam perjalanan ELO dari Kuningan balik ke Cirebon, yang rasanya lama banget. Perasaan pas berangkat nggak selama ini. Mungkin karena macet? Atau, karena pas berangkat diisi tidur? Hehe....

Rombongan temennya O ini (duh, lupa namanya!) mengantarkan ELO ke tujuan wisata terakhir kami, Kampung Batik Trusmi.

Bisa bayangin gimana cara ELO bawa barang-barang sebanyak itu sambil belanja batik? Nggak usah dibayangin deh, haha.... Apalagi si L yang rempongnya bukan main (karena sebelumnya pas di Jogja, dibekelin banyak banget sangu makanan sama sodara, yang nggak mungkin ELO habiskan dalam semalam). Untungnya toko Batik Trusmi yang ELO kunjungi menerima penitipan barang.

Walaupun tokonya berjudul toko batik, ELO malah hampir-hampir nggak beli batik. Kebanyakan beli oleh-oleh berupa makanan. Celetukan L ketika melewati kafe batik kemudian diabadikan E dalam status WhatsApp-nya, "Kalau kafe batik gitu, hiasan di kopinya juga berbentuk batik, nggak, ya?"

Sebelum cabut ke stasiun, ELO menyempatkan diri menikmati jajanan angkringan di depan minimarket di sebelah toko batik tadi, yang salah satu menunya adalah tahu gejrot.


Stasiun Cirebon yang Istimewa


Akibat miskomunikasi, perjalanan pulang kali ini sedikit terburu-buru. Pasalnya, kereta L dijadwalkan berangkat pukul 7, sementara kereta E dan O baru berangkat sekitar jam 10 malam. Jadi, acara jalan-jalan harus disudahi sejam sebelum magrib, biar L bisa shalat dulu sebelum kereta berangkat.

Kok pulangnya bisa beda kereta gitu?

Singkatnya, E dan O kembali ke Jogja, sementara L langsung ke Semarang, nggak transit di Jogja lagi.

Versi panjangnya, ketika L berniat mencari kereta tujuan Semarang dengan waktu keberangkatan yang nggak jauh beda dengan kereta EO, si O belum memberikan kepastian mau pulang naik kereta apa dari stasiun apa hingga detik-detik terakhir. Baru semalam sebelum berangkat ke Jogja, L akhirnya nekat pesan kereta apa pun yang berangkat usai magrib. Asumsinya, EO mencari kereta sore supaya nggak kemalaman sampainya di Jogja. Eh, habis itu si O baru kabar-kabar kalau mereka naik kereta malam.

Well, setidaknya kali ini kami sama-sama naik kereta dari Stasiun Cirebon (Kejaksan). Nggak kebayang deh, kalau salah satu di Cirebon (Kejaksan), satunya lagi di Cirebon Prujakan.

Ternyata, jarak antara Batik Trusmi dan Stasiun Cirebon nggak terlalu jauh. Hampir cuma segaris lurus aja.

Stasiun Cirebon juga ternyata deket banget dari Masjid At-Taqwa yang disinggahi kemarin. Jadi, pada dasarnya, sama nggak jauhnya dari penginapan ELO. Bingungnya, waktu ELO berangkat ke Kuningan tadi, nggak lewatin jalan tol, sementara dari Kuningan ke Batik Trusmi lewat tol yang lumayan panjang. Jadi, bentuk rutenya gimana, ya? Hmm....

ELO masuk gerbang Stasiun Cirebon udah hampir magrib, dan kebetulan di deket gerbang ada masjid yang lumayan gede. Kami minta driver taksi online-nya buat menghentikan mobilnya di depan masjid, supaya ELO bisa transit di sana.

Eh, masjidnya ternyata keren banget, lho. Ukurannya luas, sangat luas dibanding masjid stasiun mana pun yang pernah penulis singgahi, tempat wudhu putrinya nyaman dan tertutup, dan yang jelas bersih. Ketika waktu magrib tiba, jamaah shalatnya pun lumayan banyak, shaf putra lebih dari 1 baris (sebarisnya aja panjang), termasuk banyak untuk ukuran masjid stasiun. Atau, sebenernya ini masjid agung setempat, yang kebetulan satu kompleks dengan stasiun?

Karena, di sebelah masjid persis ada kantor Rumah Zakat Cirebon, dan di seberangnya ada kantor BRI.

Interior masjid di depan Stasiun Cirebon

Stasiunnya sendiri terasa nyaman. Beda dengan stasiun lain (seperti Tawang, Poncol, bahkan Pasar Senen) yang sebagian besar lobinya dipakai buat check in, dan sisanya buat orang lalu-lalang, sampai-sampai tak ada tempat (karena merupakan area terbatas) buat calon penumpang yang belum saatnya boarding dan para pengantar mereka duduk menunggu; lobi Stasiun Cirebon tampaknya bebas digunakan oleh semua orang untuk menunggu boarding atau sekadar duduk santai.

Karena untuk pertama kalinya bakal naik kereta sendirian, L udah mulai panik sejak jam setengah tujuh. Takut salah baca jadwal kereta di tiket, takut salah naik kereta, takut ditinggal kereta... hahaha. Rada-rada obsesif-kompulsif kayaknya, yang harus berkali-kali ngecek kantong untuk memastikan tiket dan KTP ada di sana, dan berkali-kali pula ngecek tiket untuk memastikan jadwal keberangkatan kereta. Sedikit membantu, ada papan informasi posisi kereta yang bersangkutan, apakah kereta bakal tiba on time atau terlambat.

Keretanya tiba sedikit lebih awal dari jadwal, tapi berkat pengumuman panggilan dari petugas stasiun, L jadi tahu siapa-siapa aja yang bakal naik kereta yang sama. Jadi L tinggal ngikutin mereka selama proses boarding, tentunya setelah berpamitan buru-buru dengan E dan O.

Dengan demikian, berakhirlah perjalanan ELO bersama sepanjang Jogja sampai Cirebon-Kuningan-Cirebon.

Sayonara, Cirebon...


* * *

Pembaca yang kami hormati...
Tulisan ini telah tiba di pengujung.
Periksa dan teliti kembali tulisan ini, jangan sampai ada typo atau salah tulis kejadian.
Untuk kesenangan Anda, tetaplah di halaman ini, sampai komentar Anda telah terpublikasi.
Terima kasih atas kesabaran Anda membaca cerita ini sampai selesai.
Sampai jumpa pada tulisan perjalanan berikutnya.

2 comments:

  1. luar biasa mbak lilo. serasa ikutan berpetualang, serasa nyasar juga. hahahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sekali-sekali ikut nyasar sini, Ir. Wkwkwk. Kapan ke Jawa lagi?

      Delete

Powered by Blogger.