Header Ads

Travel Alone: Lost in Jakarta



Glosarium Khusus

Alone tidak cuma bisa diartikan sebagai "seorang diri", bener-bener seorang diri. Dalam beberapa kasus, bisa juga bermakna lebih dari satu orang (tapi jumlahnya nggak banyak) yang terpisah dari entitas-entitas lainnya. Di tulisan ini, alone berarti trio Ely, Lilo, dan Ovi, yang selanjutnya bakal disingkat ELO.

* * *

Prolog

Syawal emang bulan yang disarankan buat nikah. Selain sudut pandang syari'at, manfaat punya hajat di bulan Syawal juga biar sanak saudara bisa dateng semua, mumpung liburan panjang. Praktisnya sih bukan cuma Syawal aja, kadang-kadang sedikit bablas beberapa hari dari bulan kemenangan ini.

Akibatnya, undangan merajalela. Ini tentu merepotkan orang-orang yang dikirimi undangan, karena di satu sisi memenuhi undangan itu wajib. Di sisi lain, THR lebaran belum bisa nombokin biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi semua undangan itu, mengingat yang lokasi walimah tersebar di seantero nusantara. Itu baru biaya transport, belum lagi biaya lain-lain... masa sih udah dateng jauh-jauh cuma numpang makan? Mana dalam amplop undangan nggak ada voucher buat akomodasinya.

Pada akhirnya, sebiji undangan pun nggak ada yang gw penuhi, walaupun setidaknya gw satu-dua udah niatin dateng, tapi takdir berkata lain. Ada yang karena lupa tanggalnya (saking banyaknya undangan yang masuk), ada yang tempatnya terlalu jauh, ada juga yang karena duitnya ternyata udah kepakai buat kebutuhan lain. Gw berdalih, toh mereka ngundangnya kan komunal: wajihah, angkatan... jadi kewajibannya pun cuma fardhu kifayah.

Tapi kemudian gw ditanyain Ume, mau ikutan nggak ke nikahannya Mb Gita; Ovi sama Ely juga ikutan katanya. Gw lihat-lihat tanggalnya juga cocok, dan dengan berbagai pertimbangan, akhirnya gw putuskan mengiyakan tawaran Ume. Planning-nya, Jum'at siang berangkat naik kereta ke Jakarta, nginep di tempat Ume, Sabtu full jalan-jalan, Ahad-nya ke Mb Gita.

* * *

Bagian 1

Kisah diawali dari penempatan bangku di kereta. Ely, yang mesenin kereta, entah gimana bisa menempatkan gw di kursi 14A, padahal dia sendiri sama Ovi dapet 13D-13E. Awalnya gw nyangkanya ketiga tempat itu hadap-hadapan, sebelum kemudian baru inget kalo A-C pasti seberangan sama D-E walaupun sederet. Tapi untungnya tempat gw ada di bagian utara, jadi gw masih betah lah berjam-jam sendirian dikepung orang asing. Lebih-lebih, kursi deket jendela masih kosong waktu gw dateng. Gw sempet mikir, kalo sampe gw dapet sisi selatan, gw bakal maksa tukeran sama Ovi atau Ely. Bukan apa-apa, sisi utara kan langsung menghadap laut, jadi gw bisa dapet pemandangan pantai yang udah pengin gw foto sejak pertama kali ngeliatnya belasan tahun lalu. Hehehe...

Alih-alih dijemput Ume pake limo (seperti request gw), at least dijemputnya pakai mobil. Jujur aja, awalnya gw beranggapan bakal dijemput Ume sendiri di stasiun, trus dia membawa ELO naik beberapa angkot (pengalaman terakhir kalinya ke Jakarta bareng temen sih gitu) sebelum tiba di kos dia. Ternyata emang pemesanan transport via online udah jadi budaya di Jakarta. Sempet muter-muter nyari mobil yang dipesan Ume (FYI, ELO nggak pada punya pulsa telepon―dasar udah jaman WA), gw dan Ovi nunggu di depan pintu keluar, sementara Ely nyamperin ke dalem parkiran. Entah karena jetlag (istilah adopsi dari pesawat) atau karena emang cuek dengan sekitar, gw nggak merhatiin Pak Pengemudi, tapi beliau membuat Ely dan Ume terpana dengan image beliau yang secara fisik bisa dikira orang sholeh: jenggotan, pakai baju koko, dan (yang ini gw juga perhatiin) layar di mobilnya menampilkan kalimat bahasa Arab (entah potongan ayat/hadits).

Saking terpananya, Ely yang jadi mas'ul sekaligus bendahara perjalanan jadi gelagapan waktu bayar ongkosnya. Dikasih 50.000, si bapak nanya, kembali apa enggak. Dan Ely, karena ngerasa tarif yang udah ditunjukkan kurang dari segitu, dengan bingung cuma bilang, ya kembali lah. Baru pas udah leyeh-leyeh di kos Ume, sadar kalo tadi itu bisa jadi kode, kali aja kita mau ngasih tip.

Malam itu, kamar kecil Ume, yang dia tinggalin berdua bareng Mega, penuh sesak dengan tambahan tiga bolang dari Semarang. Kasur yang cuma dua itu ditata sedemikian rupa sehingga bisa memuat lima orang.

* * *

Bagian 2


Kecanggihan transportasi Jakarta bikin gw ngerasa kayak berasal dari kota paling pelosok di Indonesia, padahal domisili gw terhitung kota besar. Sistem e-ticketing ternyata lumayan bikin gw terlihat gaptek. Dari beberapa kali nge-tap kartu gagal terus, susah masukin duit di vending machine (gegara duit gw terlipat-lipat, as usual), lupa ngambil kembalian dari mesin otomatis itu, sampai ketika gw udah berhasil nge-tap kartu, gw malah mencoba masuk lewat electric gate sebelahnya. Hahaha... habis, sebelumnya nge-tap di kanan, kali ini ternyata mesinnya di sebelah kiri palang. Tapi setelah beberapa kali ngelewatin, udah jadi kebiasa juga.

ELO mengawali petualangan dengan mengunjungi ke Stasiun Kota, niatnya mau jalan-jalan di Kota Tua (gw kudu membiasakan lidah untuk nggak menyebutnya dengan Kota Lama), dengan Ume sebagai guide-nya. Tapi sampai sana udah puanaaas banget, padahal baru sekitar jam 10-an. Emang sih, kita berangkatnya tergolong kesiangan, yang jadi patokan adalah fakta bahwa tukang bubur ayam aja udah kehabisan ayamnya (gagal ngerasain bubur ayam Jakarta, trus digantikan dengan sarapan soto mi Bogor).

Alih-alih jalan ke Museum Fatahillah, karena di sana nggak ada tempat buat neduh, Ume akhirnya ngajakin ELO masuk ke tempat terdekat dari ujung terowongan bawah tanah, Museum Bank Mandiri. Ternyata di sana bertepatan dengan pameran fotonya 80 Tahun Habibie, jadi pas banget lebih banyak objek yang bisa dilihat selain ilustrasi bank jaman dulu dan perkembangan alat komunikasi.


Perjalanan berlanjut ke Istiqlal, karena udah mau Dhuhur juga. Kali ini, guide-nya Mb Vidhe (Ume cuma nganter dari Kota, sampe Juanda ELO turun sendiri, Ume bablas ke kantor), yang awalnya mau ketemuan di Stasiun Kota, tapi malah pas dia udah nunggu di sana, ELO keburu masuk kereta, dan Mb Vidhe nyusul pakai kereta berikutnya.

* * *

Bagian 3

Istiqlal, masjid yang gw ingin singgahi lagi sejak pertama kali berkunjung 5 tahun lalu. Yang paling gw kangenin sih karpetnya, yang waktu itu bener-bener bisa bikin capek ilang. Kunjungan kali ini, gw penasaran sama satu hal: dari arah pintu masuk, tempat wudhu laki-laki di kiri, perempuan kanan, tapi tempat shalatnya perempuan di kiri, laki-laki kanan. Kan bikin "papasan" waktu nyeberang. Kenapa nggak dipaskan aja ya? Trus kayaknya juga nggak ada petugas yang ngingetin atau apa, jadi ada laki-laki (serombongan malah) yang sholat di bagian perempuan, jamaah sama perempuan. Hmm...

ELO dan Mb Vidhe juga makan siang sambil piknik di serambi Istiqlal (yang deket tempat sholat perempuan). Nasinya udah dibawain Ume dari kosan, lauknya beli di deket Juanda sebelumnya.

Break. Udah nulis panjang2 lanjutannya sampai masuk Bagian 4, ternyata page-nya reload otomatis, dan tulisannya belum ke-save. Hiks... :'(

Mb Vidhe cuma nge-guide ELO sampe antrean bus wisata Jakarta. Bus satu ini adalah bus tingkat yang rutenya melewati beberapa ikon wisata Jakarta, dan yang paling utama, gratis! Dan ELO pun memulai penjelajahan di kota yang sebelumnya di antara kita bertiga belum pernah jelajahi sendirian.

Ternyata naik bus di tingkat dua nggak seserem yang gw bayangkan sebelumnya, malah asyik. Ketiga ELO sama-sama ngotot pengin duduk di pinggir jendela, jadinya nggak ada yang duduk jejeran, tapi berurutan ke belakang. Sayangnya, tiga-tiganya duduknya di sisi jendela sebelah kiri, jadilah pemandangan yang kita lihat, sekaligus jepret, sama. Padahal, Ely menunjukkan Istana Negara di sebelah kanan, nggak ada yang bisa motoin itu. Sekilas lewat sih gw lihatnya tuh halaman istana kok kecil banget, nggak segede yang gw lihat kalo upacara 17-an. Ah, mungkin karena lewatnya cuma beberapa detik, di sisi seberang lagi. Gw pun melanjutkan menikmati pemandangan ibu kota.

Selain Istana Negara, bus juga melalui gedung-gedung pemerintahan yang lain dan objek wisata, kayak Monas, Museum Nasional, termasuk Kota Tua yang tadi belum jadi ELO singgahi. Tapi sepertinya ada pusat wisata Kota Tua sendiri dikhususkan pejalan kaki (ada tulisannya). Museum Bank Mandiri juga dilewati, yang sebelahnya ternyata ada Museum BI. Sebelumnya, di suatu sudut Jakarta Barat (kalo nggak salah), gw ngalamin "macet khas Jakarta", yang sempet bikin gw tidur beberapa menit (dan kayaknya juga nggak kelewat apa-apa).

Di halte yang nggak jauh dari Stasiun Kota, kondektur bilang itu tujuan terakhir. ELO ragu-ragu; katanya bus bakal muter sampai balik lagi ke Istiqlal? Apalagi penumpang lain pada turun. Kemudian ELO bersepakat, kalo semua penumpang lain turun atau sampai diusir, baru kita ikut turun. Satu-dua penumpang yang berdiri ternyata cuma pindah tempat duduk ke bagian depan, jadilah ELO ikut bertahan di dalam, sementara bus kembali penuh oleh penumpang yang naik dari situ. Kita beli tiket lagi pun, ongkosnya juga free kan?

* * *

Bagian 4

Tadinya, kalo emang kita harus turun di halte Kota itu, sempet mikir kalo lanjutnya naik KRL aja ke Gramedia (ini gw yang pengin, haha... jauh-jauh ke Jakarta cuma ke Gramed; tapi kan Gramed Jakarta konon jauh lebih gede dan lengkap daripada Gramed Semarang). Ely sendiri pengin habis ini ambil bus wisata lain yang rutenya lewat HI (yang ini ternyata nggak lewat). Tapi sampai di Istiqlal udah jam setengan limaan, berarti perjalanan tadi makan waktu sekitar 2 jam (macetnya yang lama deh).

Nggak jadi lanjut naik bus yang, menurut Ovi, cocok untuk orang galau (keliling kota tanpa tujuan lihat-lihat pemandangan), ELO pengin coba-coba main ke UI. Naiklah kita ke peron Juanda, udah mulai bisa make vending machine. Hehe...


Untuk ketiga kalinya kita naik gerbong wanita, yang katanya justru gerbong paling "rusuh", tapi selama kita naik, justru terkesan nyaman. Sekali lewat gerbong campuran sebelum mencapai gerbong wanita... beuh! Kayaknya kanan-kiri cowok semua. Mana gantungan lumayan tinggi, walaupun gerbong campuran ini punya tiang di tengah-tengahnya yang bisa buat pegangan kalo tangan nggak mencapai gantungan. Di gerbong wanita nggak ada tiang di tengahnya, tapi mau gantungan ke atas pun tetep rasanya save. Pun sewaktu naik TransJakarta (orang setempat lebih mengenalnya sebagai busway, mungkin karena lebih simpel, tapi gw sebisa mungkin menyebutnya TransJakarta atau minimal Trans, soalnya kata busway kan lebih tepat diartikan sebagai jalur bus, bukan si bus itu sendiri; seperti anak Undip mencoba konsisten menyebut nama yang sebenarnya untuk Patung Diponegoro, alih-alih Patung Kuda seperti yang lebih luas dikenal). ELO dan rombongan hampir selalu masuk dari pintu depan, yang areanya dikhususkan untuk wanita.

Perjalanan Juanda-UI ternyata cukup lama, nggak secepet yang gw ingat ketika menempuh jalur yang identik 5 tahun lalu. Membatalkan rencana jalan-jalan keliling karena diperkirakan sampai UI udah waktu Maghrib, ELO berniat mampir aja ke masjid UI, shalat di sana, trus balik lagi. Tapi habis itu Ely dapat info, kalo akhwat UI dilarang berkeliaran setelah Maghrib!

Sementara itu, sejak setengah perjalanan, Ovi sibuk berkorespondensi (halah!) di grup koordinasi bareng Ume, karena rencananya kita berempat mau makan malam sama Inung jam 7 (HP Ely udah setengah sadar, dan HP gw udah koma dari tadi). Kayaknya Ume juga sedikit khawatir sama ELO, takut ELO ilang kali ya, haha...

Rencana shalat di masjid UI gatot. Walaupun ELO udah melewati gate keluar di stasiun UI (kita sampai di sana Maghrib), kita nggak berani ke mana-mana: cuma berdiri aja di halaman di depan loket, nungguin petunjuk berikutnya dari Ume. Mau foto-foto (pemandangan) pun, HP Ovi juga mulai dehidrasi listrik (hidrasi mah kaitannya sama air, ya?). Walhasil, daripada kayak orang ilang di sana, kita memutuskan balik lagi aja ke stasiun Cawang, nungguin di sana. Malah bayar lagi kan, jadinya?

* * *

Bagian 5

Di Cawang, kita udah naik ke pinggir jalan raya seperti yang dilalui paginya, tapi Ume nyuruh kita turun lagi. Ternyata jalannya beda untuk kembali ke halte TransJakarta yang sama kayak tadi pagi, tapi arah sebaliknya. Gw pikir sepasang halte Trans saling terhubung dengan jembatan. Menurut Ume, kasus ini karena haltenya sendiri ada di atas terowongan kereta, jadi getarannya kenapa... gitu, gw nggak paham kajian Sipil. Ume memimpin ELO menyusuri terowongan di bawah jalan itu, mepet banget sama rel kereta (untungnya ada pagernya), dan muncul di sisi lain jalan, dan melanjutkan perjalanan untuk mengunjungi kos Mb Nurul. Naik Trans, kita turun di halte Pancoran Barat.

Sebelum tiba di rumah Mb Nurul, kita mampir di sebuah warung penyet (apa ya istilahnya?), makan malam dulu bareng Inung yang nyusul kita ke warung itu. Pas kita mau bayar, ternyata udah dibayarin Inung. Masya Allah... jadi seharian ini kita nggak keluar duit buat makan: sarapan dijamu Ume, siang dibayarin Mb Vidhe, malam ditraktir Inung. Jazakunnallah buat kalian semua...

Karena udah malem, kita cuma ngobrol sebentar sama Mb Nurul. Gw udah "tepar", padahal masih harus balik ke kos Ume. Gw minta pesen mobil onlen aja, tapi SEMBILAN KALI para driver itu batalin pesanan karena posisi mereka ada di seberang SMESCO, tempat kita nunggu, sementara untuk mencapai posisi kita, harus muter jauh, macet pula. Sebetulnya gw ngerasa masih bisa lah jalan plus dua kali naik-turun halte Trans (yang tangganya sendiri panjang banget), tapi yang mengurangi semangat gw adalah pijakan jembatan yang terbuat dari (kata Ume) chequer plate yang horornya bukan main kalo diinjek, apalagi berkat bunyi yang ditimbulkan. Untuk mengatasi kehororan itu aja butuh separo tenaga fisik yang digunakan.

Dan setelah sampai di kos Ume, gw langsung terkapar. Kalau nggak inget belum shalat Magrib dan Isya', rasanya udah pengin bablas aja. Tapi bahkan rasa gerah Jakarta bikin gw memutuskan mandi dulu tengah malam, yang nggak cuma menyegarkan tapi juga bikin aliran darah lebih lancar. Sementara itu, Ely lagi ditraining Ume untuk perjalanan besok.

* * *

Bagian 6

Pagi-pagi sekali, Ume udah berangkat ke Markaz Qur'an. Tadinya udah direncanakan, ELO ikut ke sana, terutama Ovi, tapi karena kecapekan akibat petualangan hari sebelumnya, ELO mau nyusul agak siangan. Siangan, dalam arti yang sebenarnya. Setelah menyantap bubur ayam yang diidamkan sejak kemarin, dan menempuh perjalanan sampai ke Pasar Rebo, di sana udah cukup siang untuk nyusul ke Markaz. Dan seperti sebelumnya, kita terlanjur keluar dari halte, jadi masuknya bayar lagi. Trus ELO nungguin Ume di dalam halte sambil... tidur! Setidaknya gw sama Ely yang sempet tidur, Ovi kayaknya sibuk muraja'ah. Gw sendiri sempet ngimpi dalam tidur yang kalo ditotal mungkin ada setengah jam, sebelum akhirnya Ume dan Mb Nurul nyamperin kita di halte situ, dan berangkatlah kita ke walimahan Mb Gita.

Jadi, ELO jauh-jauh naik Trans sampe Pasar Rebo, cuma buat istirahat di halte!

Perjalanan ke Serpong lumayan lama. Gw lagi-lagi ngantuk di dalam Trans gegara macet, dan minta jajan ke Ely, cuma biar ada yang dikerjakan, sebelum kemudian diingetin Mb Nurul kalo di dalem Trans nggak boleh makan-minum. Tapi alhamdulillah gw dapet tempat duduk bareng Ely, sedikit nyimpen tenaga buat sehari lagi kuras tenaga. Dari Cawang ke Serpong naik KRL, dan perjalanan yang lama itu dimanfaatkan buat bungkus kado, hehe... Untungnya gerbong wanita yang kita tumpangi dari Tanah Abang nyaris kosong.

Sampai di Serpong, lagi-lagi ditolak sama layanan mobil online. Kebanyakan driver terdekat ada di Rawa Buntu. Jadi, setelah Ume dan Mb Nurul shalat Dhuhur di stasiun, kita balik lagi naik kereta ke Rawa Buntu, stasiun persis sebelum Serpong kalo dari Tanah Abang. Baru di sana ketemu driver yang tadi udah nolak kita, yang ternyata mobilnya terhitung kecil, jadi di kursi belakang, Ovi, Ely, Ume, dan Mb Nurul berkreasi gimana caranya bisa duduk semua, sementara gw duduk di samping Pak Sopir yang sedang bekerja. Tiap naik mobil di sana emang gw selalu kebagian tempat di depan. Ada enaknya juga punya lebar badan XXXL, dapet kursi sendiri, nggak perlu desak-desakan di belakang, hahaha...

Habis itu perjalanan mulus?

No. Kita sempet nyasar dalam pencarian, sampai-sampai driver-nya bilang, kalo tempatnya belum diketahui, pesannya pakai Uber. Kalo Go dan Grab cuma untuk fixed location. Si bapak sendiri bersedia diajak muter-muter setelah sepakat nambah ongkos. Bahkan shared location dari Devina dan Naila, yang udah nunggu di masjid tempat Mb Gita berpindah ketaatan, ternyata disampaikan oleh Google dengan kurang akurat.

* * *

Bagian 7

Ujung gang rumah Mb Gita menjadi titik pertemuan rombongan ELO, Devina dan Naila, dan Mb Vidhe yang bareng Mb Tuti. Kesembilan orang itu udah kayak konvoi jalan ke tempat walimah. Di buku tamu, nama yang dicantumkan cuma "Rombongan FT", tapi habis itu porsi makannya sendiri-sendiri. Dasaaar!

Di sana juga ketemu banyak orang yang dikenal, terutama akhwat-akhwat FT lain yang mencakup Mb Egi dan Aju cs, dan pada akhirnya, sembilan orang tadi ditambah sodara-sodara FT ini foto dalam satu frame bareng Mbak dan Mas Manten. Usai doain pengantin, makan-makan (gw nambah tiga kali―manfaatin ajalah mumpung di walimahan, ya nggak?), dan foto-foto (baik yang difoto sama kameramen walimah sampai wefie gila-gilaan), kesembilan rombongan ELO beranjak ke masjid, Ashar di sana, kemudian sisanya berpisah dari Devina dan Naila dalam satu kelompok besar ke stasiun.

Lagi-lagi mobilnya dipesen pake aplikasi, dan karena gw duduk depan, driver-nya sempet nanya, muter jalannya abis ini ya? Duh, Pak, gw nggak ngerti apa-apa di sini... Seriusan, gw udah kayak kehilangan orientasi selama di Jakarta. Jangankan empat arah mata angin, kanan-kiri aja gw nyaris nggak bisa bedain! Karena biasanya naik-turun kendaraan dari sebelah kiri, di Jakarta ini seringnya keluar-masuk lewat kanan.

* * *

Bagian 8

Perpisahan dengan Mb Vidhe dan Mb Tuti dilakukan tanpa say goodbye secara resmi, mengingat hiruk pikuk stasiun dan KRL. Gw sendiri nyaris bikin orang panik karena naik dari pintu kereta yang berlainan dari Ume dan yang lain, karena semua orang memaksa masuk lewat pintu yang mereka lewati, sedangkan pintu sebelahnya lebih sepi. Di dalam kereta yang penuh sesak itu, kayaknya gw sempet denger ada yang nyariin di mana gw (takut gw masih di stasiun), dan melihat gw, ada yang melambai. Gw mendesak untuk mencapai mereka sampai nabrak ibu-ibu (ternyata yang membuktikan "kesadisan" gerbong wanita itu gw sendiri).

Sampai Cawang udah hampir Maghrib, tapi ELO dan Ume singgah dulu ke kos Mb Nurul yang deket SMESCO buat beli oleh-oleh. Dari atas JPO, emang bagus banget pemandangan kota Jakarta, dan pas turun di Pancoran Barat, gw menyempatkan diri jeprat-jepret view khas kota berlatar langit senja (mumpung jembatannya berplat beton). Bagus banget, kendatipun gw bukan fotografer pro yang bisa mengabadikan keindahan aslinya. Bahkan sebelumnya gw lihat ada laki-laki yang masang tripod di jembatan.

Sekali lagi, kos Mb Nurul adalah tempat memulihkan ke-"tepar"-an gw. Sementara yang lain makan sebungkus ayam penyet, gw menjajah kasur dan meluruskan tubuh. Fyuuuh, baru dua hari di Jakarta segini capeknya... apalagi yang tiap hari di sini. Emang sih, fasilitas transportasinya nyaman banget―terlepas kalo nggak dapet tempat duduk―yang bikin ke mana-mana serasa gampang dan cepet, tapi untuk mencapai tempat pemberhentiannya (halte/stasiun) itu... jalan kakinya aja seolah lebih lama daripada perjalanan naik KRL-nya, belum naik-turun tangga nyeberangin jalannya. Gw jadi nggak yakin akan milih Jakarta sebagai tempat tinggal.

Semua perjalanan naik KRL itu bikin gw (dan Ely) ngerasa jetlag selama memijak tanah: selalu dibayang-bayangi getaran kereta. Kesan itu diperparah oleh another jetlag pasca-naik lift di SMESCO, sehingga ketika kita berdiri di lantai yang diam, rasanya kayak bergerak horizontal sekaligus vertikal.

Gw akan senang punya kesempatan menjelajah barang-barang khas seluruh Indonesia di SMESCO kalau saja waktunya cukup lama. Saat itu udah jam 7 lebih, sedangkan jam 10 udah harus tiba di Stasiun Pasar Senen.

* * *

Bagian 9

Sekitar jam 9, ELO meninggalkan kos Ume. Sebagai tuan rumah yang baik, Ume membekali ELO dengan roti bakar dan juga mesenin mobil buat nganter kita bertiga ke Senen. Indeed, dia bener-bener guide yang baik selama di Jakarta... jazakillah khairan katsiiran... kapan-kapan mampir lagi juga boleh. Seolah mendukung argumen ini, masing-masing dari ELO ternyata meninggalkan sebuah barang (meski sepele) di kos Ume.

Tapi ELO sama sekali nggak menyadari barang yang tertinggal itu. Saat itu udah setengah 10, padahal kereta Ovi ke Jogja berangkat setengah 11, dan menurut sang driver, harus lewat tol supaya di Senen masih ada waktu buat boarding. Benar saja, sampai di depan Senen udah hampir jam 10, dan mobil terjebak macet tepat di depan pintu masuk stasiun. Mobil tinggal puter masuk, tapi dihalangi mobil lain di depan jalan masuk. Begitu masuk, Ovi melesat keluar dari mobil, bergegas mau cetak tiket. Gw dan Ely, karena kereta ke Semarang baru jam 11, bertahan sampai mobil menemukan tempat berhenti yang enak dan menyelesaikan pembayaran, baru turun.

Di dalam, udah nggak sempat ketemu Ovi lagi. Well, padahal gw belum saling ngucapin salam sebelum pisah. Yah, diucapin di sini yah... assalamu'alaikum, Ovi... Hehehe...

Di kereta, gw sama Ely dikepung cowok-cowok yang kayaknya pencinta alam. Parah banget, gw awalnya duduk deket jendela, sampai nyaris nggak bisa menggerakkan kaki. Ely minta tuker, maka gw jadi di deket lorong (untung kita dapet tempat duduk yang 2 orang, bukan 3). Gw mencoba meluruskan kaki, tapi ini pun sama susahnya: kaki cowok di tempat duduk samping gw (yang seberang lorong) melintangi lorong, mana kakinya gede banget! (Numpang curhat.)

Sampai Semarang, matahari udah benar-benar terbit. Dan ajaib, semua getaran kereta yang membayangi selama di Jakarta, di sini langsung ilang, padahal kita baru aja turun dari kereta.


2 comments:

  1. Mb Sus juga di jakarta, mb? Kemarin padahal bingung mau silaturrahim ke siapa lagi :p

    ReplyDelete

Powered by Blogger.