Penyelenggara Pemilu Bingung, Kurang Sosialisasi?
Beberapa hari sebelum hari pencoblosan dalam pemilu anggota legislatif 2014, seorang teman menanyai saya, di mana dia bisa menemukan aturan pencoblosan yang benar. Saya cukup kelabakan juga menjawabnya, karena saya sendiri juga belum pernah melihat langsung aturan yang dikeluarkan KPU maupun panduan lain yang dikeluarkan pihak lain. Mencoba browsing pun, agaknya hanya sedikit aturan yang di-post di internet, itu pun saya anggap kurang lengkap. Kepada teman saya tersebut, saya berikan link yang menjawab sebagian pertanyaannya, dan menambahkan supaya pada hari H pencoblosan, bisa mengamati aturan pencoblosan yang ditempel di TPS.
Tetapi saya justru dikecewakan ketika mendatangi TPS untuk mencoblos. Di sana memang tertempel daftar nama caleg lengkap dengan foto dan daerah domisilinya, model kertas suara yang digunakan, dan skema alur pencoblosan. Meskipun demikian, saya tak menemukan tata cara pencoblosan, coblosan mana yang dianggap sah atau tidak, coblosan seperti apa yang akan memberikan suara pada partai ataupun caleg.
Bagi warga yang melek internet dan sempat mencari tahu aturannya, mungkin tidak begitu menjadi masalah saat berada dalam bilik suara. Namun bagaimana dengan mayoritas warga yang masih buta dengan teknologi, atau tidak memiliki akses internet? Padahal dalam pemilihan raya kampus pun, aturan tersebut selalu ditempel, bahkan meskipun di dalam bilik suara.
Ketiadaan aturan yang tercetak ini menjadi masalah ketika tiba waktunya perhitungan suara. Ada beberapa keraguan yang pada akhirnya justru berakibat cukup fatal.
Ketika petugas perhitungan suara menemukan surat suara yang dicoblos tepat pada garis kolom partai, petugas tersebut menanyakannya kepada saksi yang dianggap tahu peraturan. Tetapi ketika saksi yang hadir pun sama tidak tahunya, petugas perhitungan justru menyerahkan urusan sah atau tidaknya suara tersebut kepada warga yang menonton. Hal ini tentunya merugikan, baik untuk partai yang bersangkutan maupun warga yang suaranya menggantung tersebut.
Kebingungan selanjutnya ditemui ketika ada pemilih yang mencoblos gambar partai sekaligus nama caleg dari partai yang sama. Menurut peraturan, seharusnya suara tersebut dihitung sah untuk caleg yang bersangkutan. Akan tetapi, petugas perhitungan menetapkan hal tersebut sebagai suara sah untuk partai yang bersangkutan.
Saya mencoba browsing untuk meluruskan hal tersebut, akan tetapi ketika ada hasil pencarian pada Google yang mengarah pada situs KPU, link tersebut tidak bisa diakses. Memang, ada aturan yang di-post pada situs lain, tetapi rasanya kurang kuat jika tidak diambil dari situs resmi penyelenggara pemilu.
Kasus tersebut, sayangnya, tidak hanya pada satu-dua surat suara. Bagi partai yang solid, yang persaingan antarcalegnya relatif kecil, mungkin kejadian di atas tidak berpengaruh banyak. Akan tetapi, dengan sistem yang "mengizinkan" kompetisi antarcaleg, kejadian tersebut bisa merugikan caleg yang bersangkutan.
Awalnya saya berpikir, mungkin penyelenggara pemilu di TPS saya yang kurang memahami aturan. Tetapi, ketika dikembalikan pada para saksi pun, para saksi sendiri juga kurang memahami bagaimana seharusnya. Sementara, dalam jeda antara perhitungan suara untuk DPR RI dan DPRD provinsi, ada seorang warga yang menanyakannya secara pribadi kepada petugas perhitungan, dan petugas tersebut hanya mengatakan itulah yang dia dapat ketika sosialisasi.
Maka patut dipertanyakan, sosialisasi seperti apa yang sudah dilakukan KPU? Mengapa ada perbedaan antara aturan yang saya temukan di internet dengan aturan yang dikatakan petugas tersebut? Kalau aturan di internet itu benar, mengapa petugas TPS ini mengatakan hasil sosialisasi yang berbeda jauh? Petugas TPS yang salah tangkap (padahal bukan cuma seorang yang mengatakannya) atau pihak yang memberikan sosialisasi yang salah? Dan kalau kata petugas TPS ini benar, aturan yang ada di internet merupakan merupakan penipuan. Tetapi kalau demikian, di mana masyarakat diharapkan mendapatkan informasi yang benar soal aturan pencoblosan ini?
Saya tak tahu apakah kasus tersebut bisa dikategorikan pelanggaran pemilu. Tetapi saya sungguh berharap, kejadian seperti ini takkan pernah terulang lagi dalam acara pemilihan apa pun. Khususnya untuk pemilihan presiden nanti, saya sungguh berharap akan ada sosialisasi yang jelas dan masif agar tak terjadi kesalahpahaman yang merugikan lagi, meskipun saya rasa, aturan pencoblosan untuk pemilihan presiden jauh lebih simpel dibandingkan pemilihan anggota legislatif.
NB. TPS yang saya maksud berada di Ungaran, Jawa Tengah.
(Tulisan ini juga saya unggah di http://politik.kompasiana.com/2014/04/09/penyelenggara-pemilu-bingung-kpu-kurang-sosialisasi-646339.html)
No comments