Header Ads

Swasunting: Dimensi Legalitas dan Bahasa (Tulisan 3 dari 4)

Selain dimensi isi yang pembahasannya cukup panjang di tulisan lalu, ada dua dimensi lain yang perlu diperhatikan dalam proses swasunting, yaitu dimensi legalitas dan dimensi bahasa.


DIMENSI LEGALITAS


Dimensi legalitas menyangkut aspek-aspek hukum yang mungkin berlaku pada karya kita. Jangan sampai karya yang kita terbitkan dianggap plagiasi karena menjiplak karya orang lain, atau kita mengklaim hasil karya orang lain sebagai karya sendiri. Salah satu pembeda plagiasi atau bukan adalah dengan mencantumkan rujukan atau sumber pengutipannya.

Dalam mencari sumber referensi ini, pastikan juga validitas sumber. Sumber-sumber anonim seperti pesan-berantai di media sosial bukan referensi yang akan dianggap layak bagi sebuah karya. Tulisan-tulisan populer seperti pada blog pribadi bisa juga menjadi sumber, tapi tetap bandingkan dengan sumber-sumber sahih lainnya sebagai proses validasi.

Meskipun mencantumkan sumber sebagai referensi, hindari terlalu banyak menyalin dan menempel kata-kata orang lain dalam tulisan kita. Salah satu cara untuk menyiasatinya adalah dengan memparafrasekan kata-kata tersebut menggunakan bahasa kita sendiri. Ini juga menghindari tuduhan bahwa kita asal copy-paste tanpa memahami makna tulisan yang kita rujuk, yang bisa-bisa tidak nyambung antara satu kutipan dengan kutipan berikutnya.

Bagaimana jika ide tersebut benar-benar muncul dari pikiran kita, tapi ternyata sudah ada karya orang lain? Itu mungkin saja, sebab konon tidak ada ide yang benar-benar orisinal. Namun, kita bisa menyiasati dengan memodifikasi karya kita dengan mengambil sudut pandang lain.

Oh, iya, jika Anda mengirimkan karya ke suatu penerbit atau lomba, bersabarlah. Jangan sampai satu karya dikirim ke dua atau lebih penerbit/lomba sekaligus. Ini sangat tidak etis dan bisa memicu masalah karena dianggap plagiasi, walaupun itu karya Anda sendiri.


DIMENSI BAHASA


Seperti yang saya sebut di tulisan sebelumnya, saltik atau typo berakibat fatal bagi karya kita. Tulisan yang kita maksud bisa dipahami berbeda oleh orang lain. Selain saltik yang contohnya juga sudah saya sebutkan di tulisan tersebut (tentang jamu jadi kamu), penggunaan tanda baca pun penting untuk menegaskan makna yang kita maksud.

Coba perhatikan guyonan yang sudah lazim kita dengar berikut.

Salat itu boleh dilanggar.

Dalam bahasa lisan, kalimat tersebut bisa bermakna ambigu. Namun, dalam bahasa tulisan, kalimat tersebut memiliki konsekuensi hukum syari yang tidak ringan. Menurut Ivan Lanin, dilanggar bisa diartikan sebagai ditabrak, disalahi, atau dilewati. Kalau kalimat tersebut disebarluaskan dan dibaca oleh orang yang tidak paham konteks tetapi tahu kaidah bahasa yang benar, lalu orang itu mengikuti petunjuk kalimat tersebut, siapa yang berdosa? Lain halnya kalau "di" ditulis terpisah sebagai kata depan penunjuk tempat.

Salat itu boleh di langgar.

Nah, kalimat ini bermakna benar secara syariat, karena "langgar" adalah padanan kata musala atau surau.

Contoh lainnya adalah sebuah kalimat yang awalnya saya dengar dalam bahasa Jawa, tetapi saya sertakan padanannya dalam bahasa Indonesia.

[Jw] pak lurah wedhus sampeyan mendem ajeng kula belèh pripun
[Id] Pak Kambing bapak sekarat mau saya sembelih bagaimana

Tanpa tanda baca apa pun, pembaca bisa saja menafsirkan membacanya dengan penggalan sebagai berikut.

[Jw] Pak Lurah wedhus! Sampeyan mendem! Ajeng kula belèh pripun?
[Id] Pak Kambing! Bapak sekarat! Mau saya sembelih bagaimana?

Ditambah intonasi tertentu, kalimat tersebut jadi ngegas. Sudah Pak Lurah dipanggil dengan sebutan kambing, dikatai sekarat, masih pula ditanya mau disembelih dengan cara apa. Wah, bisa-bisa menimbulkan perkara panjang antara Pak Lurah dengan warganya.

Coba kalimat yang awal tadi diberi tanda baca seperti ini.

[Jw] Pak Lurah, wedhus sampeyan mendem, ajeng kula belèh, pripun?
[Id] Pak, kambing Bapak sekarat, mau saya sembelih, bagaimana?

Pada pembetulan di atas, si pembicara memberi tahu Pak Lurah bahwa kambing milik Pak Lurah sekarat, jadi dia meminta izin untuk menyembelih kambing itu.

Perhatikan pula bahwa penggunaan huruf besar dan kecil pun berpengaruh terhadap perbedaan makna. Tanpa adanya tanda baca yang jelas, jika kata "pak" dan "kambing" disatukan dengan huruf kapital di awal masing-masing kata menjadi "Pak Kambing", maka ini berarti sapaan kepada lawan bicara. Lawan bicara dianggap bernama/berjuluk "Kambing". Inilah pentingnya penguasaan ejaan dan tanda baca dalam tulisan.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tata bahasa. Susunan bahasa yang tidak tepat bisa memengaruhi pemahaman akan makna sebuah kalimat. Contohnya sebagai berikut.

Buku istriku yang ketiga sudah terbit.

Frasa "yang ketiga" ini menerangkan siapa, buku atau istriku? "Buku-istriku yang ketiga" atau "buku istriku-yang-ketiga?" Kamu punya berapa istri, hey? Hehehe... Bagaimana supaya tidak ambigu? Letakkan frasa "yang ketiga" ini setelah kata yang diterangkannya, menjadi, "Buku ketiga istriku sudah terbit." Artinya, si istri sudah menerbitkan tiga buku, dan buku yang dimaksud adalah buku yang ketiga.

Kalimat lain yang sering kita dengar dari instansi atau lembaga adalah sebagai berikut.

Bagi yang membawa HP, harap dimatikan.

Siapa subjek yang dimaksud dalam imbauan itu? Si "bagi"? Pengumuman atau imbauan semacam ini sebaiknya langsung saja sebutkan subjeknya siapa, lalu apa imbauannya, tidak perlu ditambahi preposisi. Sebagaimana kita mengajak teman, kan kita langsung sebut namanya diikuti ajakan kita, "Raisa, ayo menyanyi!" Tidak pernah, kan, kita mengajaknya dengan "Kepada Raisa, ayo menyanyi!"

Oleh karena itu, kita hapus preposisi "bagi" sehingga menjadi:

Yang membawa HP harap dimatikan.

Eittsss... Ini pun ternyata masih menjadi masalah. Kebiasaan orang Indonesia adalah mereka lebih suka memerintah atau mengimbau menggunakan kalimat pasif daripada kalimat aktif. Mungkin niatnya supaya lebih sopan, tetapi lagi-lagi jadi ambigu karena pemilihan-subjek yang salah. Siapa yang harus "dimatikan"? Apakah "yang membawa HP"? Wah, bisa-bisa penyelenggara acara masuk penjara karena pembantaian massal!

Supaya kalimatnya lebih lugas dan gamblang, ubah saja menjadi kalimat aktif, "Harap matikan HP Anda!" Lebih singkat, padat, dan jelas, kan? Jika masih dianggap ambigu karena HP-nya ada di rumah bukan di tempat acara, kalimat tersebut bisa diperjelas menjadi, "Harap matikan HP yang Anda bawa."

* * *

Selain ketiga dimensi di atas, sebenarnya masih ada satu lagi yang harus disunting: format. Tidak semua tulisan perlu diatur formatnya, memang, apalagi jika hendak diunggah ke media sosial tertentu yang tidak memungkinkan pengguna mengatur format, seperti Facebook atau Twitter. Namun, jika tulisan akan dimuat media-media lain yang mengizinkan pengguna mengatur format tulisan, pengaturan ini penting untuk meningkatkan kenyamanan baca.

Salah satu yang bisa kita atur adalah font, baik itu gaya bentuk tulisan atau ukuran karakter, tulisan cetak tebal atau cetak miring, dan warna. Bayangkan kalau kita sedang membaca tulisan yang cukup panjang dengan gaya tulisan kaligrafi yang meliuk-liuk (seperti di ijazah) dengan ukuran tulisan yang kecil dan warna yang kurang kontras dengan latar belakangnya. Dijamin, Anda sakit mata.

Sudah begitu, spasi atau jarak antarbaris pada tulisan tersebut terlalu rekat. Paragraf tidak dibuat menjorok, tidap pula dijeda dengan satu baris kosong. Tepi tulisan sangat mepet dengan tepi kertas. Alih-alih Anda menghemat kertas, kertas tersebut justru jadi mubazir karena pembaca enggan menikmati lebih lanjut karya Anda.

Jika Anda berniat mengirimkan tulisan Anda kepada penerbit atau sayembara menulis, pastikan pengaturan format ini sesuai dengan ketentuan penerbit atau penyelenggara lomba. Tidak hanya supaya tulisan Anda nyaman dibaca, ini juga menjadi standardisasi panjang karya Anda. Misal, ada ketentuan bahwa karya yang dikumpulkan tidak lebih dari delapan halaman. Mentang-mentang Anda punya ide yang banyak, Anda menuliskannya dalam tulisan kecil-kecil, dengan jarak tepi sangat mepet, supaya tulisan Anda muat dalam delapan halaman itu. Sebaliknya, bisa juga Anda merasa delapan halaman terlalu panjang, maka Anda buat tulisan Anda dengan ukuran huruf yang besar, jarak tepi dan spasi lebar. Jadi, apakah benar kedua tulisan ini "sama panjangnya"?

Patuhi juga jika penerbit/panitia lomba memberikan ketentuan khusus seperti harus menggunakan kop atau header/footer tertentu. Ini bisa menjadi tanda keseriusan Anda, bahwa Anda benar-benar bermaksud mengirimkan karya ke penerbit/sayembara tersebut; bukan salah kirim, bukan pula blasting tulisan ke banyak media sekaligus. Seperti yang saya sebutkan di atas, ini menyalahi etika publikasi.

* * *

Banyak orang abai terhadap hal-hal kecil seperti ini, padahal sejatinya inilah daya tarik awal karya Anda. Ada pepatah mengatakan, "Don't judge the book by its cover," dan secara umum benar. Meskipun demikian, di antara sekian banyak buku yang ada, bagaimana orang bisa tahu karya Anda berkualitas, kalau tampilannya saja sudah sedemikian mengganggu sehingga membuat pembaca tidak nyaman untuk membaca lebih jauh? Rasa nyaman inilah yang disebut dengan "cinta pada pandangan pertama".

* * *

Sumber bacaan (untuk keseluruhan tulisan tentang swasunting)
  • http://dimasalbiyan.blogspot.com/2017/11/penyimpangan-bahasa-dalam-puisi.html
  • http://wekaagnes.blogspot.com/2015/02/pentingnya-self-editing.html
  • http://www.sastraananta.com/2017/03/pentingnya-self-editing-dalam-menulis.html
  • https://arynilandari.wordpress.com/2013/06/26/logika-cerita-plot-dan-jebakannya/
  • http://bekindrewrite.com/2011/07/29/show-dont-tell-on-hiding-morals-in-stories/
  • https://ceritamini.wordpress.com/panduan-tugas/logika-cerita/
  • https://fachmycasofa.com/panduan-self-editing/
  • https://hijaubiru-hijaubiru.blogspot.com/2022/02/pesan-dalam-tulisan.html
  • https://ikasari396.wordpress.com/2020/09/22/perlukah-swasunting-penting-ya/
  • https://narabahasa.id/berita/kiat-swasunting-dari-ivan-lanin
  • https://narabahasa.id/keterampilan-bahasa/membaca/swasunting-mengapa-penting
  • https://narabahasa.id/keterampilan-bahasa/perlukah-karya-sastra-disunting
  • https://narabahasa.id/linguistik-umum/semantik/ambiguitas
  • https://narabahasa.id/linguistik-umum/sintaksis/menyusun-kalimat-yang-kokoh
  • https://openoregon.pressbooks.pub/wrd/chapter/discover-what-a-text-is-trying-to-say/
  • https://ruangmenulis.id/proses-self-editing/
  • https://ruangmenulis.id/proses-swasunting-naskah/
  • https://tulisanholipehh.blogspot.com/2020/08/logika-cerita-dan-narasi-tidak-logis.html
  • https://www.instagram.com/iben.wah/
  • https://www.kompasiana.com/elfat67/5c0177c3aeebe15d8f49c815/peran-penting-self-editing-dalam-sebuah-karya-tulis
  • https://www.kompasiana.com/ratna65179/6055fa298ede4856ce748132/pentingnya-self-editing-sebelum-mengirim-naskah
  • https://www2.southeastern.edu/Academics/Faculty/elejeune/critique.htm




No comments

Powered by Blogger.