Hayya 2: Simbol Duka Kenyataan Kini
Gambar: Twitter Helvy Tiana Rosa |
Ada dua kesamaan peristiwa setiap kali saya nonton serial Hayya: saya nonton sendirian dan jumlah penonton di studio saat itu bisa dihitung dengan jari. Bedanya, saya nonton The Power of Love 2: Hayya sendirian karena "ketinggalan" rombongan nobar, sedangkan saya nonton Hayya 2: Hope, Dream & Reality di hari ketiga tayangnya ini sendirian karena memang sengaja.
Tadinya, saya ragu mau memeriahkan film Hayya 2: Hope, Dream & Reality. Bukan apa-apa, di masa pandemi ini, saya masih takut ke mana-mana, walaupun orang-orang tampaknya sudah hampir lupa kalau pandemi masih ada. Mengingat pengalaman nonton sebelumnya pada jadwal penayangan reguler—bukan nobar, saya memantapkan diri ke bioskop. Benar saja, di studio, hanya ada tiga kelompok penonton: satu keluarga berisi 3 orang, sepasang sahabat perempuan, dan saya. Total 6 orang. Sedikit miris melihat antusiasme masyarakat umum terhadap film ini, tetapi saya mengambil hikmahnya: tidak ada kerumunan karena studio tidak terlalu penuh. Blessing in disguise.
Serial Hayya ini sebenarnya unik. The Power of Love 2: Hayya merupakan sekuel dari 212: The Power of Love, dan Hayya 2: Hope, Dream & Reality ini adalah sekuel dari The Power of Love 2: Hayya. Jadi, Hayya 2: Hope, Dream & Reality adalah sekuelnya sekuel 212: The Power of Love. Apakah bisa dibilang Hayya 2 adalah The Power of Love 3?
Melanjutkan cerita sebelumnya, film dibuka dengan adegan Hayya yang sudah hendak dideportasi ke Palestina. Meski trauma akan perang yang dialaminya membuatnya enggan kembali ke tanah kelahirannya, Hayya masih menyimpan mimpi untuk bertemu orang tuanya di Masjidil Aqsa. Hayya kemudian bertemu dengan Faisal dan Lia, sepasang suami-istri yang baru saja kehilangan anak mereka.
Konflik selanjutnya berkisar pada proses penyembuhan diri Faisal dan Lia dari trauma mereka. Isu ke-Palestina-an yang sebelumnya sangat kental di Hayya kini menjadi isu sekunder. Namun, ada link yang menghubungkan keduanya: rasa kehilangan. Hayya yang kehilangan orang tua di Palestina dipersatukan dengan Faisal dan Lia yang kehilangan anak.
Sesungguhnya, tema kehilangan ini sangat relevan dengan kondisi saat ini. Di tengah situasi pandemi yang berlarut-larut, berapa banyak orang yang kehilangan keluarga, saudara, sahabat, dan kerabat-kerabat lainnya? Walaupun menggunakan sebab yang berbeda sebagai plotnya, Hayya 2 berhasil memotret luka dan kesedihan keluarga yang ditinggalkan anggotanya akibat pandemi. Hayya 2 memberikan dua gambaran tipe manusia ketika menghadapi musibah kehilangan: menerima tetapi masih membawa perasaan berat sebagaimana Faisal, atau denial sepenuhnya seperti Lia.
(Secara pribadi, saya sempat trauma menonton adegan pemasangan respirator oksigen pada Hayya, karena itu membuat saya teringat betapa banyak penderita Covid-19 yang membutuhkan alat tersebut bahkan sampai tidak kebagian.)
Pada saat bersamaan, Hayya 2 juga mengangkat topik lain yang saat ini sedang hits, yaitu kesehatan mental. Hayya 2 menunjukkan dengan gamblang bahwa metode psikologis dengan pendekatan spiritual tidak perlu dipertentangkan dalam menyelesaikan persoalan mental, karena keduanya saling melengkapi. Faisal dan Lia tidak ragu untuk berkonsultasi dengan ahli jiwa, lalu sabar dan salat turut menciptakan penerimaan dalam diri mereka.
Keunggulan film ini adalah pemilihan pemain kedua tokoh utama: Faisal dan Lia. Diperankan oleh Dimas Seto dan Dhini Aminarti yang merupakan suami istri di dunia nyata, chemistry antara Faisal dan Lia dapet banget. Tak hanya itu, adegan-adegan antara suami dan istri yang biasanya kaku, kali ini bisa dimainkan dengan sangat luwes karena mereka tidak perlu menjaga jarak. Sebagai suami istri sungguhan, mereka bebas saling bersentuhan: saling memeluk, menepuk, cium tangan, mengguncang pundak, dan sebagainya.
Saya kira, film-film islami ke depannya bisa mencontoh trik ini supaya adegan antara tokoh suami dan istri tidak terkesan kaku tapi masih dalam koridor syar'i. Bandingkan kemesraan antara tokoh Faisal dan Lia dengan Rahmat dan Yasna. Gombalan antara pasangan yang disebut belakangan ini jadi sedikit garing karena faktanya, Fauzi Baadila dan Meyda Sefira bukan suami-istri; mereka paham ada jarak yang harus dijaga.
Ngomong-ngomong soal film islami, Hayya 2 tampaknya menjadi ajang reuni para aktor dan aktris film-film islami sebelumnya. Selain Meyda Sefira yang sudah jadi pemeran inti sejak 212: The Power of Love, dua tokoh utama Ketika Cinta Bertasbih turut membintangi film ini. Ada Oki Setiana Dewi yang perannya selaras dengan aktivitasnya sebagai ustazah. Cholidi Asadil Alam merupakan kejutan buat saya: dia memerankan peran yang sama sekali berbeda dengan pakemnya sebagai santri atau ustaz di film-film religi lain yang dibintanginya. Ada pula Aquino Umar, yang terkenal berkat Ketika Mas Gagah Pergi, dan kali ini tampak cocok memainkan peran sebagai ibu guru. Bahkan, ada pula Donny Alamsyah dari film 3: Alif Lam Mim.
Kalau ada yang ingin saya koreksi, itu adalah penajaman sisi ke-Palestina-annya. Selain isu perang dan kemanusiaannya, saya juga berharap posisi Hayya sebagai gadis asal Palestina lebih jelas. Misalnya, dia seharusnya lebih banyak bercakap dalam bahasa Arab daripada bahasa Indonesia. Penjelasan logis dari kemampuan bahasa Indonesia Hayya (walaupun sedikit tersendat-sendat) secara langsung dijelaskan dalam salah satu dialog: Rahmat yang mengajarinya. Meski begitu, kalau kita lihat kembali Hayya, berapa lama, sih, interaksi antara Rahmat dengan Hayya?
Alih-alih bicara dalam bahasa baku (sebagaimana penutur asing yang baru mulai belajar bahasa Indonesia), Hayya cukup banyak menggunakan diksi lokal seperti "nggak" dengan susunan kalimat lebih luwes sebagaimana anak Indonesia pada umumnya. Hayya juga tampaknya cukup memahami kata-kata Lia atau Embit yang juga tidak terlalu baku. Walaupun bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling mudah dipelajari, orang luar biasanya sedikit kesulitan memahami banyaknya kosakata slang dan susunan kalimat yang tidak terlalu baku dalam ragam percakapan harian.
Sebagai bintang utama di dua seri sebelumnya, peran Rahmat dan Adhin tidak terlalu menonjol di film ini. Kangen juga dengan duet kocak Fauzi dan Adhin yang biasanya mewarnai The Power of Love. Setidaknya, ini terobati dengan totalitas Dhini dan Dimas yang sangat menjiwai peran masing-masing. Seperti pengakuan mereka, saking menghayatinya, emosi mereka kadang terbawa sampai rumah, hehehe. Mungkin ini karena mereka sudah lama terjun ke dunia seni peran, jadi cara mereka beraksi tidak sekaku pemain-pemain sinema islami lainnya yang biasanya jam terbangnya belum terlalu tinggi.
Bersama teknik pengambilan gambar yang keren banget, kecemerlangan akting Dhini dan Dimas bisa dibilang merupakan penyelamat Hayya 2 secara keseluruhan. Dibandingkan dengan Hayya yang menguras air mata, jalan cerita Hayya 2 sedikit datar. Emosi mulai terasa mengharu-biru ketika Hayya, dalam kondisi antara hidup dan mati, bertemu dengan keluarga kandungnya. Namun, baru saja saya siap menangis, cerita berakhir di situ. Padahal, durasinya baru 100 menit, masih bisa banget kalau mau ditambah sampai genap dua jam misalnya.
Apakah ini isyarat akan hadirnya Hayya 3? Kita nantikan saja.
Iya, sesepi ini. |
No comments