Swasunting: Dimensi Isi (Tulisan 2 dari 4)
Pada tulisan sebelumnya, kita telah membahas pentingnya swasunting sebelum mengirimkan tulisan kita ke penerbit atau menerbitkan sendiri tulisan kita melalui kanal-kanal pribadi seperti blog atau media sosial. Pertanyaannya, apa saja yang perlu kita sunting secar mandiri?
Ada tiga dimensi dalam karya yang perlu menjadi perhatian kita dalam melakukan swasunting, yaitu dimensi isi, dimensi legalitas, dan dimensi bahasa.
DIMENSI ISI
Landasan utama dalam melakukan swasunting adalah pesan. Pesan apa yang hendak kita sampaikan kepada pembaca? Pesan atau nilai memuat idealisme kita sebagai penulis dan menjadi tujuan utama kita membagikan tulisan. Karya sastra, misalnya, sebagaimana diungkapkan oleh Aristoteles berdasarkan gagasan Plato, dipengaruhi oleh dunia (yakni memuat pesan alam semesta) sekaligus mempengaruhi dunia (yakni memuat pesan yang bisa mengubah dunia ke arah kebaikan atau pesan moral kepada dunia).
Ketika menulis, bisa jadi kita hanya memusatkan perhatian pada apa yang ada dalam benak, baik mengalir secara runut maupun berupa potongan-potongan yang kemudian disatukan. Pada proses swasunting, kita berkaca kembali pada pesan yang hendak kita sampaikan kepada pembaca. Sudahkah karya yang sebelumnya kita tulis sesuai dengan apa yang sesungguhnya ingin kita sampaikan? Sudahkah sesuai dengan nilai-nilai yang kita anut?
Sebagai contoh, ketika menulis secara acak, ada tokoh banci yang menjadi karakter dalam cerita. Awalnya, kita memaksudkannya sebagai humor belaka. Tak tahunya, ketika dibaca ulang, tokoh banci tersebut bisa saja dipahami sebagai dukungan terhadap transgender. Jika kita adalah penulis yang membawa ideologi Islam, ini tentunya harus direvisi karena tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Pesan dalam Karya
Meskipun pesan merupakan ruh dari sebuah tulisan, seringkali pesan-pesan tertentu harus disamarkan, khususnya pada karya fiksi. Karya fiksi, menurut seorang penyair di kekaisaran Romawi bernama Horace, karya sastra tidak hanya harus memberi manfaat, tetapi juga harus menghibur. Dengan penyampaian pesan yang terlalu terbuka, dikhawatirkan fungsi menghibur akan hilang dan karya tersebut menjadi tidak nyaman untuk dibaca.
Penyembunyian pesan juga perlu dilakukan untuk menjaga pembaca dari perasaan "disuapi" dengan pelajaran tentang nilai-nilai moral, sementara secara psikologis manusia tidak disuka diajari. Pesan-pesan moral yang disampaikan dengan gaya preaching atau berkhotbah akan membuat pembaca merasa diremehkan. Secara alami, seseorang akan merasa senang memperoleh suatu manfaat dari kerja kerasnya sendiri. Nilai-nilai yang "ditemukannya" sendiri akan memberikan kepuasan batin dan akan lebih berkesan bagi seseorang. Pesan tersembunyi merupakan tantangan tersendiri bagi pembaca untuk menjadi cerdas, atau minimal merasa cerdas.
Alasan lain mengapa pesan perlu disamarkan adalah untuk menjaga keamanan dan keselamatan penulis. Dalam situasi tertentu, penulis mungkin memahami bahwa pesan-pesannya akan sangat bertentangan dengan kebijakan penguasa. Namun dorongan untuk membuat situasi dunia lebih baik menyebabkan penulis tetap berusaha menyampaikan pesan ini kepada pembacanya.
Untuk alasan tersebut, penulis juga harus memahami karakter pembaca. Ada pembaca tersurat, yang memahami sebuah karya apa adanya. Ada juga pembaca tersirat, dan inilah tipe pembaca yang sebenarnya dituju oleh penulis. Pembaca tersirat sangat teliti menangkap setiap detail ketika melakukan close reading sebuah karya sastra serta mampu menangkap pesan yang mungkin tersembunyi di balik metafora, ironi, atau alusi yang sengaja digunakan untuk mengaburkan pesan ini. Saat penulis menuangkan gagasannya dalam cerita dia sudah memikirkan pembaca-pembaca seperti inila yang akan mampu menangkap pesan-pesan yang disamarkannya.
Bagaimana dengan karya nonfiksi?
Dibandingkan dengan fiksi, tulisan nonfiksi sebenarnya lebih terbatas karena harus mengikuti kaidah-kaidah tertentu. Kekuasaan penulis karya nonfiksi dibatasi dengan persyaratan akan kejelasan dan kelugasan makna. Bahkan jika tulisan itu bersifat ilmiah maka tulisan harus terbebas dari sikap bias atau kecondongan terhadap pihak tertentu. Namun, pada dunia kepenulisan masa kini muncul kajian wacana atau discourse studies yang membuktikan bahwa tulisan-tulisan nonfiksi juga berpotensi menyamarkan pesan dan ideologi tertentu.
Meskipun dianggap lebih vulgar dalam soal penyampaian propaganda, sebenarnya tulisan nonfiksi juga dapat menyelipkan kecondongan penulisnya secara tak kentara. Ilmu matematika yang selama ini dianggap eksak pun tak lepas dari hal ini, misalnya tentang pemilihan narasi dalam soal cerita. Bahkan, sebenarnya matematika pun menyimpan persaingan budaya yang cukup kental. Dari mana angka arab yang kita kenal sekarang berasal? Sebagian menyebut angka tersebut dari wilayah Arab, sebagian lain berpendapat angka tersebut berasal dari India. Mana yang dianggap benar dalam teori matematika? Tergantung penulis bukunya!
Strategi Penyampaian Pesan
Ada enam cara yang dapat dilakukan penulis menempatkan pesan moral secara bijak dalam karya sastra. Keenam cara ini pada gilirannya sekaligus bisa dipahami sebagai strategi pemahaman pesan yang tersamarkan tersebut.
Yang pertama adalah melalui pemilihan genre yang tepat. Setiap genre memiliki tujuan atau fungsi yang berbeda-beda sehingga pemilihan genre ini secara tidak langsung akan menyampaikan pesan tulisan itu sendiri. Salah satu genre yang bisa dipilih adalah humor. Genre humor menyimpan pesan bahwa dalam hidup harus ada jeda dari ketegangan dalam hidup. Karena ceritanya lucu, pembaca akan merasa senang dulu tanpa harus diberi tahu. Keuntungan lain jenis cerita ini potensi untuk secara sempurna menyembunyikan pesan-pesan tertentu seperti sindiran. Dengan kelucuannya, orang-orang tidak terlalu merasa dirinya sedang disindir, bahkan ikut menertawakan plot yang ada bersama para tokohnya.
Tidak hanya dalam prosa, dalam puisi pun pemilihan genre memainkan peran penting. Dalam budaya Jawa, misalnya, ada tembang macapat yang dinamai Bapak Pucung. Pembuat macapat mengkreasikan pesan yang sarat dengan filosofi ini melalui tebak-tebakan yang bersifat mendidik.
Cara kedua untuk menyampaikan pesan adalah melalui pemilihan tema. Tema merupakan gagasan utama sebuah karya, yang bisa juga merupakan pesan moral itu sendiri. Contohnya, dalam cerita-cerita rakyat seperti Cinderella atau Bawang Putih dan Bawang Merah, semuanya berkisar pada tema kebaikan akan menang melawan keburukan. Di sini, pesan yang ingin disampaikan adalah, "Berbuatlah yang baik agar bisa memperoleh kebahagiaan." Pesan ini juga merepresentasikan ideologi yang mendukung pentingnya berbuat baik dalam kehidupan ini.
Cara ketiga yang dapat dilakukan penulis untuk memasukkan pesan-pesan yang dibawanya adalah dengan memainkan plot. Dalam plot, terdapat perkembangan cerita yang menarik minat pembaca dan membuat pembaca terkesan. Perkembangan cerita ini akan menjadi suatu kenangan yang selalu diingat oleh pembaca dan berpotensi menjadi model bagi kehidupan pembaca. Plot juga memuat hubungan sebab-akibat dari satu peristiwa dengan peristiwa lain. Dengan pengertian ini, plot berpotensi memuat pelajaran kehidupan yang bermanfaat bagi pembaca.
Dalam suatu cerita, misalnya, si tokoh akan mengalami hal-hal tertentu, kemudian ada resolusi yang dicapai si tokoh setelah klimaks. Pada bagian resolusi ini, penulis memasukkan pendidikan atau pesan moral untuk pembaca. Dalam cerita Cinderella, resolusi yang dicapai adalah terungkapnya Cinderella sebagai pemilik sebelah sepatu kaca yang pasangannya dibawa pangeran. Saat itulah, semua orang yang ada di sana sadar betapa baiknya Cinderella sehingga pantas mendapatkan kebahagiaan, sedangkan tokoh ibu tiri dan saudara tirinya menelan akibat dari kejahatan mereka. Penulis juga dapat merekayasa agar seorang tokoh mengikuti ideologi yang sesuai dengan yang dimiliki si penulis, yang dengan cara ini, masalah yang ada terselesaikan.
Ngomong-ngomong soal tokoh, tokoh juga bisa jadi cara keempat yang cukup strategis untuk menyisipkan pesan. Sebagian tokoh diberi sifat sesuai dengan ideologi penulis, yang membuat membaca mendukung gagasan-gagasan si tokoh. Di sisi lain, ada juga tokoh yang dicitrakan sedemikian rupa sehingga pembaca terhanyut dalam kecaman terhadap tokoh yang berseberangan pemikiran dengan penulis. Contohnya, dalam cerita-cerita bermuatan rasial, penulis bisa saja menjadikan tokoh dengan ras tertentu menjadi hero atau pahlawan, yang dalam alurnya menjadi orang yang sukses, sedangkan tokoh dengan ras lainnya menjadi tokoh antagonis yang pada akhirnya dikalahkan tokoh pahlawan tersebut. Atau, bisa juga penulis dengan kecenderungan islamofobia menamai karakter-karakter jahat dalam ceritanya dengan nama-nama Arab untuk memunculkan sentimen negatif terhadap hal-hal berbau Arab sebagai representasi umat Islam.
Selain itu, penulis bisa memunculkan karakter komikal yang terkesan lucu, santai, dan nyeleneh untuk mengungkapkan sindiran-sindiran yang jika disampaikan oleh tokoh hero akan terkesan serius dan menyinggung pihak tertentu. Karena dibawakan oleh karakter komikal, sindiran tersebut akan dianggap tak lebih dari kelakar terlepas dari kebenaran isinya. Cara ini dianggap aman untuk menyelipkan sindiran-sindiran sensitif. Tokoh komikal ini juga sering kali menjadi kunci penyelesaian konflik dengan cara tak terduga.
Tidak hanya karakter tokohnya, dialog antartokoh adalah cara kelima untuk menyampaikan pesan kepada pembaca. Dialog bisa juga menyamarkan posisi penulis atas suatu gagasan tertentu dengan menunjuk tokoh-tokoh tertentu untuk mewakilinya. Misalnya, seorang ayah memberi nasihat tertentu kepada anaknya, padahal sebenarnya penulislah yang sedang menyampaikan pesan-pesan tertentu kepada pembaca karyanya. Dialog yang menarik akan diingat oleh pembaca dan bisa menjadi kutipan yang akan disebarluaskan dari sebuah cerita.
Cara keenam untuk memasukkan pesan adalah melalui teknik figurative speech alias majas. Ungkapan kiasan perbandingan atau metafora menjadi salah satu metode yang cukup populer pada teknik ini. Dalam metafora, penulis menunjuk kepada suatu fenomena untuk menggambarkan fenomena lain. Penggunaan simbol atau lambang juga dianggap dapat menyembunyikan kejadian atau tokoh nyata dalam karya fiksi. Di sini, pesan atau nilai moral bisa disamarkan atau disampaikan dengan halus. Teknik ini digunakan oleh Tundjungsari dalam novelnya Pilkadal di Negeri Dongeng. Dia menamai beberapa partai politik dalam novel tersebut dengan nama-nama unik, misalnya Partai Semangka, Partai Tahan Lama, dan Partai Aksi Kera Sakti yang memiliki deskripsi yang mirip dengan partai-partai politik di dunia nyata. Jika pembaca memiliki wawasan politik yang luas, lalu membaca tulisan tersebut dengan jeli, akan jelas partai politik mana saja yang dimaksud penulis.
Teknik Tulisan
Keenam poin pada bahasan di atas dapat disebut unsur intrinsik karya (fiksi). Setelah memastikan unsur-unsur tersebut mengakomodasi pesan yang ingin kita sampaikan, hal berikutnya yang harus disunting adalah teknik penulisannya.
Apakah karya tersebut benar-benar sesuai dengan genre yang kita inginkan? Awalnya kita ingin menulis dengan genre komedi, tetapi di tengah jalan tulisan tiba-tiba jadi tragedi. Itu tidak masalah kalau kita bisa menggabungkannya dengan luwes sehingga pembaca bisa menikmati kedua genre tersebut, tetapi akan aneh jika perubahannya terjadi secara drastis.
Apakah karya kita sudah memiliki alur gagasan atau plot cerita yang jelas? Seperti yang saya singgung di atas, saat memulai, kita bisa saja menulis secara acak sesuai ide yang muncul saat itu. Ketika ide-ide tersebut disatukan, adakah jembatan yang menghubungkan antara satu kalimat dengan kalimat lainnya, atau antara satu paragraf dengan paragraf setelahnya? Jangan-jangan, karena kita asal copas dari draf yang tercecer, awalnya kita bercerita tentang kejadian di pasar, tahu-tahu latar tempat pindah ke istana.
Salah satu kekurangan banyak penulis adalah kesulitan menemukan ending yang tepat dan meninggalkan kesan mendalam. Bisa jadi karena pengaruh batasan halaman atau tenggat waktu, atau karena penulis sudah buntu, ending yang ditulis biasanya terlalu njeglek dengan puncak konflik atau klimaks yang baru saja diceritakan. Terlalu memaksakan kesimpulan adalah jebakan umum bagi penulis, padahal ada kalanya perlu beberapa waktu supaya tensi cerita bisa mencapai titik antiklimaks.
Selain genre dan plot, pemilihan sudut pandang juga perlu diperhatikan agar konsisten. Jika kita memilih sudut pandang dari orang pertama, kita harus sadar bahwa pandangan orang pertama sangat terbatas. Risikonya, tidak semua kejadian dapat kita ceritakan. Si "aku" bisa saja berasumsi, dan secara natural, ego manusia memang menganggap diri sendiri benar. Namun, jangan sampai kebablasan dengan menarasikan bahwa semua pendapat si "aku" pasti benar. Kesan yang ditangkap pembaca bisa jadi adalah si "aku" ini dianggap "tuhan" yang tahu segalanya, atau si tokoh "aku" ini sombong karena menganggap diri sendiri selalu benar sedangkan tokoh lain banyak salahnya.
Selanjutnya, kita perhatikan lagi dialog yang terdapat dalam naskah kita. Dialog adalah bagian penting dalam fiksi karena dialog bisa memperjelas situasi atau jalan cerita yang dimaksud oleh penulis. Misalnya, untuk memberikan penilaian kepada seorang tokoh atau suatu peristiwa dalam cerita. Dialog juga mengurangi rasa bosan pembaca pada uraian penulis atau deskripsi yang terlalu panjang. Pada proses swasunting, kita perlu menilai ulang apakah proporsi dialog dan narasi sudah seimbang (walaupun tidak harus sama persentasenya).
Penyelarasan Logika dan Fakta
Hal lain yang tak kalah pentingnya untuk dicek ulang adalah mengenai logika dan fakta yang ada dalam tulisan. Misalnya, kita menceritakan komunikasi antara dua orang yang berjauhan lokasi, satu di Indonesia, satu di Inggris. Ketika keduanya sedang bertelepon, pastikan mereka melakukannya di waktu yang logis sesuai fakta. Jangan sampai bilang di Indonesia sedang jam 6 pagi, sementara di Inggris sudah jam 12 siang. Faktanya, waktu Indonesia dan Inggris terpaut kurang lebih 7 jam (perhatikan pula fenomena DST alias perbedaan standar waktu antara musim dingin dan musim panas) dan waktu Indonesia lebih awal daripada waktu Inggris.
Jebakan batman berikutnya adalah kemampuan komunikasi antara dua tokoh yang berbeda asal-usul, terutama pada cerita fantasi yang salah satu tokohnya berasal dari "dunia lain". Logikanya, para tokoh dari kedua dunia itu akan mengalami kesulitan komunikasi karena perbedaan bahasa. Dalam serial Doraemon, misalnya, tak hanya sekali-dua kali Doraemon dan Nobita berpetualang dan terdampar di tempat dan waktu yang sangat jauh dari keberadaan mereka di Jepang. Bagaimana cara mereka berkomunikasi dengan orang-orang yang mereka temui di sana? Doraemon mengeluarkan alat sakti yang bisa menginterpretasikan maksud si lawan bicara. Setelah itu, sepanjang cerita, sudah tidak perlu dipertanyakan bagaimana mereka bisa saling memahami ucapan masing-masing.
* * *
Dimensi isi menjadi dimensi pokok yang perlu diperhatikan penulis karena inilah yang menjadi inti dan pesan tulisan. Tanpa strategi dan teknik tertentu, pesan yang ingin disampaikan penulis tidak bisa ditangkap secara benar oleh pembaca. Apalagi, setelah sebuah tulisan dipublikasikan, maka itu adalah hak pembaca untuk menafsirkan seperti apa tulisan Anda. Oleh karenanya, penerapan teknik dan strategi tersebut penting untuk "membatasi" potensi konflik yang timbul akibat adanya multitafsir atas karya Anda.
* * *
Karena pembahasan dimensi isi sudah terlalu panjang, penjabaran tentang dimensi legalitas dan dimensi bahasa akan disampaikan pada tulisan selanjutnya.
* * *
Sumber bacaan (untuk keseluruhan tulisan tentang swasunting)
- http://dimasalbiyan.blogspot.com/2017/11/penyimpangan-bahasa-dalam-puisi.html
- http://wekaagnes.blogspot.com/2015/02/pentingnya-self-editing.html
- http://www.sastraananta.com/2017/03/pentingnya-self-editing-dalam-menulis.html
- https://arynilandari.wordpress.com/2013/06/26/logika-cerita-plot-dan-jebakannya/
- http://bekindrewrite.com/2011/07/29/show-dont-tell-on-hiding-morals-in-stories/
- https://ceritamini.wordpress.com/panduan-tugas/logika-cerita/
- https://fachmycasofa.com/panduan-self-editing/
- https://hijaubiru-hijaubiru.blogspot.com/2022/02/pesan-dalam-tulisan.html
- https://ikasari396.wordpress.com/2020/09/22/perlukah-swasunting-penting-ya/
- https://narabahasa.id/berita/kiat-swasunting-dari-ivan-lanin
- https://narabahasa.id/keterampilan-bahasa/membaca/swasunting-mengapa-penting
- https://narabahasa.id/keterampilan-bahasa/perlukah-karya-sastra-disunting
- https://narabahasa.id/linguistik-umum/semantik/ambiguitas
- https://narabahasa.id/linguistik-umum/sintaksis/menyusun-kalimat-yang-kokoh
- https://openoregon.pressbooks.pub/wrd/chapter/discover-what-a-text-is-trying-to-say/
- https://ruangmenulis.id/proses-self-editing/
- https://ruangmenulis.id/proses-swasunting-naskah/
- https://tulisanholipehh.blogspot.com/2020/08/logika-cerita-dan-narasi-tidak-logis.html
- https://www.instagram.com/iben.wah/
- https://www.kompasiana.com/elfat67/5c0177c3aeebe15d8f49c815/peran-penting-self-editing-dalam-sebuah-karya-tulis
- https://www.kompasiana.com/ratna65179/6055fa298ede4856ce748132/pentingnya-self-editing-sebelum-mengirim-naskah
- https://www2.southeastern.edu/Academics/Faculty/elejeune/critique.htm
Mantap... Terima kasih, Mbak, daging banget ini ilmunya. Jadi tahu kalau swasunting itu dalam dan banyak juga ya yang kudu diperhatikan.
ReplyDelete