Header Ads

Penyusup di Upgrading Andal FLP (Bag. 1): Mengenalmu, Tanpa Berkenalan

View dari lantai 8 SM Tower, tempat acara berlangsung (sekadar ilustrasi)

Saya pernah "diserang" netizen karena berkomentar bahwa saya tidak tahu di mana menariknya sinema-sinema Asia yang booming, seperti serial-serial dari Korea, Jepang, dan Taiwan, di masa remaja saya. Sebagian mereka mengatai, "Kamu baru lahir kemarin, ya? Zaman itu, mereka ganteng banget, tau!"

Wah, saya jadi ketawa membaca komentar itu. Saya mengalami masa di mana teman-teman saya menggandrungi serial itu, tapi, jujur saja, saya sama sekali tidak relate. Saat remaja, saya sedang asyik-asyiknya membaca berbagai buku Islami, khususnya karangan penulis-penulis FLP.

Karenanya, saya cukup bersemangat ketika awal tahun ini, Jogjadipilih menjadi tuan rumah peringatan milad. Ditambah lagi, beberapa bulan setelahnya, ada kabar bahwa Jogja kembali diminta menjadi tuan rumah acara upgrading untuk anggota Andal FLP. (FYI, Andal itu level keanggotaan tertinggi di FLP.)

Ini tentu lebih menakjubkan daripada waktu milad, yang dihadiri "hanya" oleh beberapa senior. Tidak seperti milad, upgrading ini dikoordinasi langsung oleh Dewan Pertimbangan (DP). Dan anggota DP ini... tak lain dan tak bukan, adalah para sesepuh FLP sejak zaman keemasan sastra Islami, antara akhir 1990-an dan awal-awal 2000-an.

Saya membayangkan, betapa banyak interview yang bisa saya dapat pada hari-H... lupa mempertimbangkan bahwa di acara sepadat itu, mereka punya waktu luang untuk meladeni saya.

Namun, pertama-tama... saya harus melewati satu kesulitan yang membuat saya hampir saja tidak bisa menghadiri acara yang sudah saya nanti-nantikan ini.

Jumat tepat sebelum hari-H, saya lembur di rumah sampai larut. Pukul 2 dini hari, saya hendak bangkit ke kamar mandi, ketika saya merasakan punggung bawah dekat pinggang mulai nyeri. Sudah posisi berdiri, kaki saya seolah berubah seperti jeli, tidak mampu menyangga seluruh tubuh karena nyeri punggung itu. Saya putuskan berhenti lembur dan tidur, berharap ketika bangun nyeri ini sudah hilang. Rupanya, justru semakin parah. Saya hampir tidak bisa berjalan ke tempat wudu, dan harus shalat Subuh dengan duduk.

Panik rasanya, khawatir tidak bisa datang ke SM Tower, tempat acara berlangsung. Segala obat saya coba, mulai dari paracetamol dan Counterpain Cool, ditambah minum air putih yang banyak, minum jus buah, sampai beli Salonpas Spray lewat aplikasi Halodoc. 

Seharusnya, panitia diminta tiba di tempat jam 10, tetapi saya izin baru bisa datang setelah jam 11, menunggu obat bekerja. Saat saya yakin sudah bisa berdiri tegak (walau sakitnya masih terasa), saya pun berangkat. Masih sempat shalat Dhuhur di kos, ternyata.

Teman-teman Jogja mengabari bahwa mereka sedang mengajak makan para peserta (dan panitia, termasuk DP) yang sudah hadir makan siang di sebuah rumah makan tak jauh dari hotel. Akan tetapi, karena merasa tidak lapar, saya langsung masuk ke hotel dan menuju ruang acara di lantai 8, yang saya kira kosong.

Ternyata sudah ada dua anggota DP di sana.

Ajaibnya, tanpa mereka memperkenalkan diri, saya tahu persis siapa saja kedua orang itu: Rahmadiyanti Rusdi (yang biasa disapa Mbak Dee) dan Intan Savitri (yang dulu punya nama pena Izzatul Jannah).

Awalnya, saya nervous mau membuka obrolan selain sekadar menyapa. Pembawaan mereka yang ramah dan supel membuat saya selanjutnya nyaman saja menceritakan tentang diri saya, pekerjaan saya, riwayat perjalanan saya di FLP, dan membeberkan judul buku-buku Bu Intan yang saya baca waktu SMP, yang sebagian besar bertema pernikahan, hehe.

Topik tentang buku-buku lawas ini mengarah ke usulan agar Bu Intan menerbitkan kembali buku-buku lamanya, diawali dengan mengumpulkan naskah-naskah itu meski dalam bentuk PDF. Bu Intan menanggapi, kurang lebih intinya gini, "Kesulitannya adalah mencari orang yang mau mengetik ulang naskah-naskah tersebut."

Tanpa pikir panjang, saya nyeletuk, "Saya mau, kok."

"Yakin?" tanya mereka berdua.

Saya sendiri mulai terbayang, betapa banyaknya karya mereka kalau harus diketik ulang satu-satu! Tapi entah apa yang merasuki (bacanya biasa aja, enggak usah sambil nyanyi :D), saya malah nantangin, "Ya, enggak apa-apa. Kapan lagi bisa baca buku gratis?"

Sedetik kemudian, baru saya merasa komentar saya terlalu lancang.

Pintu terbuka, menyelamatkan saya dari ucapan lancang lain yang bisa keluar dari mulut saya tanpa pikir panjang. Rupanya yang datang adalah Sinta Yudisia beserta seorang putrinya. Lalu, beruntun datanglah rombongan yang baru kembali dari rumah makan, termasuk di antaranya Afifah Afra. Baik Bunda Sinta maupun Bunda Afra sudah pernah saya temui waktu milad dulu, cuma sepertinya mereka lupa dengan saya.

Bagi saya, itulah perbedaan lain (dan terbesar) antara event milad lalu dengan upgrading kali ini. Karena pesertanya cuma sedikit (sekitar 30-an saja termasuk DP dan panitia), interaksi yang saya lakoni dengan mereka menjadi lebih intim. Bahkan, Bu Intan dan Bunda Sinta mendahului menanyakan nomor HP saya (saya, sih, sudah menyimpan nomor mereka, hehe).

Saat pembukaan, saya diajak rekan panitia, Inel, untuk mengurus kamar ke resepsionis di lobi. Saya mengikutinya dengan ogah-ogahan, tanpa tahu apa yang menunggu saya di sana.

Urusan kamar sudah selesai. Saya dan Inel berbalik dari meja resepsionis. Belum sempat berjalan lebih dari dua langkah, kami melihat ada sosok berjilbab lebar di luar lobi menuju pintu. Meskipun pintu kaca itu memiliki dekorasi yang sedikit menghalangi pandangan ke luar secara utuh, saya tak memerlukan seruan Inel (yang jaringan ke-FLP-annya luas banget sehingga sepertinya sudah pernah bertemu semua anggota FLP) untuk tahu siapa yang sedang mendekati kami tersebut.

"Teh Imun!"

(Bersambung)

2 comments:

  1. Waah asyik banget banyak penulis keren! Jadi penasaran sama bukunya, hehe. Menunggu part 2 :D

    ReplyDelete

Powered by Blogger.