Header Ads

Kunjungan ke Diorama Arsip Jogja

Beberapa waktu lalu, sohib saya, si UmmiL, mengabari bahwa dia sekeluarga akan ke Jogja dan mengajak saya ketemuan. Biasanya, kami bertemu di kafe atau lapangan terbuka. Namun kali ini, tempat meet up yang dipilihnya cukup unik: Diorama Arsip Jogja.

Pilihannya itu menyentil saya. Walaupun sudah lima tahun beraktivitas di Jogja, saya jarang sekali mengunjungi tempat-tempat wisata, bahkan di area kota (di dalam lingkaran ringroad) yang menjadi tempat domisili saya. Hanya sesekali, saat ada "tamu", saya baru mengunjungi objek-objek turisme itu, termasuk Diorama ini, yang padahal hanya selemparan batu dari kantor. Saya hanya tahu bahwa di lokasi tersebut, hanya ada perpustakaan dan gedung arsip; tak pernah terpikir bahwa ada museum yang menjadi salah satu fasilitasnya.

Untuk mengunjungi diorama tersebut, pengunjung diharapkan mendaftar dulu secara online melalui https://arsipjogja.id/registrasi.php. Karena saya juga baru tahu ini, saya keduluan UmmiL menguruskan segala sesuatunya, termasuk ternyata membayari tiket masuk saya. Duh, padahal yang tuan rumah ini siapa? Kan, jadi enak. Eh! Harga tiket masuknya sendiri Rp30.000,00 untuk pengunjung umum, dan tarif diberlakukan untuk mereka yang berusia 7 tahun ke atas. Jadi, kedua Eleanor masuk gratis, hehe.

Ini pertama kali saya mengunjungi museum dengan skema tur. Biasanya, museum yang saya kunjungi bisa saya eksplorasi dengan bebas, sesekali ada pemandunya, tetapi dengan waktu bebas dan hanya bersama rombongan pribadi. Satu sesi tur Diorama ini rupanya terdiri atas beberapa kelompok yang telah mendaftar untuk waktu yang sama, didampingi oleh seorang pemandu.

Rupanya, pembagian sesi ini berkaitan dengan perjalanan tur. Ada 18 ruang di dalam Diorama, yang masing-masing dapat dijelajahi dalam waktu terbatas. Setelah beberapa lama pengunjung melihat-lihat satu ruangan, lampu di ruangan tersebut akan padam otomatis, sedangkan lampu di ruangan selanjutnya mulai menyala, juga otomatis. Jadi, kalau kamu berencana berlama-lama di satu ruangan, siap-siap saja berada dalam kegelapan dan ketinggalan tur berikutnya!

Ruangan pertama merupakan tempat untuk menonton wilayah Jogja (yang waktu itu namanya jelas belum Jogja) di zaman Panembahan Senapati. Ruangan itu gelap dan penuh dengan cermin, sehingga saat film diputar melalui proyeksi ke dinding, film tersebut terdiri dari banyak layar. Saat sedang asyik-asyiknya menonton film, muncul asap di sebelah kiri ruangan, yang darinya tampak gambar seorang penari, seperti semacam augmented reality.

Setiap ruangan menyajikan Jogja dari masa ke masa, termasuk masa Kerajaan Mataram, massa penjajahan, masa perjuangan menuju kemerdekaan, Jogja pasca-Indonesia merdeka, dan Jogja masa kini. Masing-masing direpresentasikan melalui media yang berbeda: ada yang berupa artefak, kliping, video, audio, bahkan augmented reality. Jadi, Diorama ini kental dengan balutan teknologinya.


Ada satu ruangan yang menurut saya lumayan menarik. Ruangan ini mengkhususkan pada riwayat kebencanaan di Jogja. Sebagaimana saya sadari sejak awal, Jogja ini merupakan lokasi "strategis" untuk berbagai bencana alam: di utara ada Gunung Merapi yang sangat aktif, di selatan ada samudera yang rawan menjadi penyebab gempa (dengan segala potensi tsunaminya; jumlah gempa yang saya alami di Jogja dalam setahun ini saja jauh lebih banyak daripada total gempa yang pernah saya alami seumur hidup saat berada di luar Jogja), belum lagi menghitung gempa yang pusatnya di darat.

Lihat saja, pada mini-monumen di dalam ruangan tersebut, 10 dari 12 bencana yang tercatat pernah melanda Jogja adalah bencana alam, yang didominasi oleh letusan Gunung Merapi dan gempa bumi. Dua sisanya adalah pageblug flu Spanyol dan pandemi Covid-19. 

Membandingkan isi ruangan mula-mula dengan ruangan menjelang akhir, tampak sekali perbedaan Jogja di masa dahulu dengan masa kini, termasuk perbedaan budaya. Saya khususnya merasa bahwa ... sebenarnya budaya itu berkembang. Karena itu, agak sulit menyebutkan apa budaya suatu daerah tertentu tanpa menentukan masa atau zamannya.

Tur selesai dalam 90 menit. Bagi pencinta sejarah dan budaya, durasi tersebut rasanya kurang memuaskan untuk mengeksplorasi kekayaan Jogja. Namun, bagi masyarakat umum, keberadaan Diorama menjadi sarana yang bagus untuk memperkenalkan bahwa sejarah dan budaya itu tidak harus kuno.

Hal unik dalam tur saya kali ini adalah, saya harus menemani duo krucil Eleanor 1 dan Eleanor 2. Sementara orang tuanya mengeksplorasi museum sambil menggendong baby Elyas, kedua Eleanors ini sering banget menarik saya untuk melihat-lihat objek yang menujut mereka menarik. Berhubung keduanya masih berusia enam tahun, mereka lebih tertarik pada efek visual yang disajikan. Misalnya saja, ketika lampu ruang berikutnya menyala, mereka langsung menarik saya menuju ke sana. Mana peduli mereka dengan penjelasan Mbak Tour Guide-nya?

Tapi saya jadi kelimpungan sendiri menjelaskan keistimewaan berbagai objek yang ada pada keduanya. Di sekolah mereka, kan, belum ada pelajaran Sejarah! Jadi, saya harus memutar otak untuk mengarang narasi yang mungkin seru buat mereka, entah nyambung atau tidak, dan ternyata itu susah! Haha... Anggap saja ini latihan sebelum saya punya anak sendiri. :D

Buat yang mau mampir, lokasinya ada di timurnya Jogja Expo Center (JEC), ya. Satu hal yang perlu diperhatikan, pengunjung biasa hanya boleh menggunakan kamera HP untuk memotret dan merekam video yang durasinya tidak lebih dari 15 detik per video. Jadi, simpan dulu kamera profesionalmu, kecuali kamu memesan tiket khusus untuk content creator!

4 comments:

  1. thank you for 'guiding' eleanors 😘😏

    ReplyDelete
    Replies
    1. And now they know me as their tour guide :D

      Delete
  2. Wah sejarah Yogyanya lengkap sepanjang masa. Kalau pengin tahu rangkuman sejarah Yogya kayaknya bisa ke sini, nih.

    ReplyDelete

Powered by Blogger.