Header Ads

Penyusup di Upgrading Andal FLP (Bag. 2): Bersama Perempuan Tangguh

Pada tulisan sebelumnya, saya sempat menceritakan betapa saya sudah mengenal para penulis senior ini selama hampir dua dekade melalui tulisan-tulisan mereka. Terkadang saya berpikir, rasanya sedikit menyerupai para Ahli Kitab yang mengenal Rasulullah Muhammad saw. seperti mereka mengenali anaknya sendiri, karena ciri-ciri nabi dan rasul terakhir ini telah disebutkan dalam Taurat dan Injil—walaupun perbandingan itu mungkin tidak tepat.

Maimon Herawati, atau dulu menggunakan nama pena Muthmainnah, penulis yang juga merupakan salah satu pendiri FLP itu, melangkah melewati pintu otomatis lobi hotel dan langsung mendekati kami, sebagaimana kami juga bergegas menyambut beliau. Tentu saja, beliau dan Inel sudah saling mengenal, dan saya sedikit jengah ketika Inel memperkenalkan saya, "Dia ini fansnya Teh Imun."

Saya hanya menanggapinya dengan nyengir malu-malu dan mengungkapkan bahwa dulu sebenarnya saya sempat ingin masuk Jurusan Jurnalistik Unpad, tempat beliau mengajar, tapi waktu itu tidak menemukan jurusan tersebut dalam pilihan.

"Tahun berapa?" tanya Bu Imun.

(Saya memanggilnya Bu, walaupun Inel memanggilnya "Teh". Menurut Inel, beliau agak risih dipanggil "Bu", tapi saya berkeras memanggilnya demikian mengingat jarak umur di antara kami, dan salah satu unggahan beliau di Facebook soal anak-anak yang "sok akrab" memanggilnya "Teh" padahal beliau seusia dengan ibu mereka. Beliau menanggapi celotehan kami ini dengan tertawa kecil.)

"2010," jawab saya.

Lalu beliau bercerita, bahwa Jurusan Jurnalistik sempat bergabung dengan Jurusan Ilmu Komunikasi, sebelum pada 2013 (CMIIW) kembali berdiri sebagai jurusan tersendiri.

Sepanjang perjalanan dalam lift, kami juga sempat mengobrol sedikit tentang buku-buku beliau, terutama Rahasia Dua Hati yang tebalnya bukan main, karenanya kami tidak membawa buku itu.

Sesampai di depan ruang acara, beliau menanyakan, "Siapa ketua FLP Yogya sekarang?"

Menjawab pertanyaan beliau, saya dan Inel serempak mengacungkan telapak tangan ke sosok yang berdiri tepat di depan pintu masuk sambil mengangkat kamera. Rupanya, kamera itu memotret momen tersebut. Beruntung dia sempat mengabadikan momen itu, yang akhirnya menjadi satu-satunya foto yang memuat saya dan beliau dalam satu frame.

Setelah berbasa-basi sebentar dengan Rais si ketua, Bu Imun memasuki ruang acara. Sambutan dari peserta cukup meriah, tetapi saya tidak mengikuti. Saya kembali ke tugas kepanitiaan lainnya.

Saat jeda shalat Ashar, saya tertahan cukup lama di kamar. Pikiran saya gelisah, ingin segera kembali ke ruang acara karena ini adalah sesinya Bu Imun. Pengin dengar langsung apa yang beliau sampaikan.

Saya pun bergegas naik ke ruang acara, sedikit terlambat, tidak yakin apakah saya boleh menyimak materi yang kira-kira bertemakan ideologi dalam tulisan. Berkedok meliput (haha), saya nekat saja duduk di kursi paling belakang. Selain saya, seingat saya hanya ada Rais yang memang bertugas sebagai fotografer.

Ada terlalu banyak insight yang disampaikan Bu Imun. Saya sampai gelagapan sendiri mencatat sambil memilah-milah bagian mana yang bisa dibagikan kepada publik, mana yang khusus untuk forum ini.

Saya juga takjub dengan hangatnya diskusi dalam sesi materi itu. Dengan santainya para peserta mengacungkan tangan untuk bertanya, menjawab, dan saling melontarkan dan menanggapi opini di sembarang waktu, tidak harus menunggu sesi tanya jawab. Sungguh suasana diskusi yang saya ingin sekali terlibat di dalamnya, tetapi saya sadar diri saya bukan peserta. Dalam forum-forum lain, bahkan dalam sesi tanya jawab pun kadang-kadang tidak ada yang mengacungkan tangan.

Beginilah kalau sebuah forum diisi orang-orang yang sefrekuensi.

FYI, di ruangan itu terdapat 6 meja bundar, masing-masingnya dikelilingi kira-kira 6 kursi. Baik peserta maupun para anggota Dewan Pertimbangan bebas duduk di mana saja di meja-meja tersebut, sehingga suasana diskusi lebih mengalir seolah mereka "sederajat". Bu Imun bahkan meninggalkan kursi pembicara untuk berjalan-jalan di antara meja tersebut sambil menanggapi berbagai pendapat yang terlontar.

Saat sesi malam, saya kembali duduk di kursi paling belakang. Rupanya, Bu Imun sedang ada jadwal pertemuan Zoom, karena beliau melipir dari meja diskusi dan duduk di samping saya, sedikit terhalang tumpukan suvenir untuk pembicara, dan langsung membuka laptop dan menyiapkan earphone-nya.

Dalam hati, saya berdecak kagum melihat kesibukan ibu satu ini, apalagi ketika di sela-sela pertemuan daringnya, beliau masih sempat menanggapi diskusi yang terjadi di ruangan. Sesekali beliau juga menggumamkan komentar singkat pada saya, yang hanya bisa saya tanggapi sambil nyengir.

Begitu acara usai, saya memberanikan diri bertanya pada Bu Imun, "Besok pulang jam berapa, Bu?"

"Kereta jam 12 siang," jawab beliau. "Gimana?"

"Ehm... pengin wawancara," ungkap saya ragu-ragu. Jurnalis wannabe dengan dosen Jurnalistik? Berasa kebanting, euy!

"Besok pagi, ya, sambil jalan-jalan ke Malioboro," usul beliau. Waktu itu memang para peserta (dan panitia BPP) lagi asyik mendiskusikan kemungkinan jalan-jalan pagi ke Malioboro yang tak jauh dari hotel.

"Siap!"

Meski begitu, saya tidak yakin, jam berapa beliau berniat jalan-jalan. Sebelum subuh saya sudah bangun, mengerjakan berita pembukaan upgrading ini untuk dimuat di web FLP Yogya. Rupanya butuh waktu lama untuk mendengarkan rekaman sambutan Ketua DP. Matahari sudah terbit ketika saya selesai mengunggah berita tersebut.

Setelah berpakaian lengkap dan memasukkan perlengkapan wawancara ke dalam tas, saya keluar kamar. Kamar beliau tepat di depan kamar saya, tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan. Apakah mereka sudah keluar, entah jalan-jalan atau di ruang acara? Atau masih di dalam kamar?

Saya tak berani mengetuk pintu. Takut mengganggu. Saya naik ke lantai 8, ke ruang acara. Kosong. Turun ke lobi, kalau-kalau beliau hendak berangkat atau sudah pulang dari jalan-jalan. Rasanya tak mungkin kalau baru berangkat jam segini, karena acara dimulai jam 8.

Kepalang basah ada di lobi, saya pun memilih ke resto dan sarapan. Di sana, tak ada tanda-tanda Bu Imun juga, walaupun saya satu meja dengan Bu Rianna Wati dan sempat berpapasan dengan Bunda Sinta.

Sudah lebih dari jam 8 ketika saya memasuki ruang acara. Beliau sudah ada di sana. Saya segan "menagih janji" wawancara itu, karena beliau tampaknya sibuk dengan laptopnya. Saya pun terlibat diskusi seru di teras depan ruangan dengan beberapa anggota FLP Yogya yang datang.

Satu ketika, Bu Imun keluar bersama beberapa anggota DP yang sekamar dengan beliau. Mereka memberi isyarat hendak ke kamar. Aku yang panik bertanya kepada teman panitia begitu ibu-ibu itu masuk lift, "Mereka udah mau pulang?"

Waktu masih sangat jauh dari pukul 12. 

"Ke kamar aja, mungkin mau istirahat," jawab teman di sebelah saya.

Saya manggut-manggut. Kegelisahan masih belum hilang. Bagaimana kalau beliau langsung pulang tanpa saya sempat wawancara?

Pukul 10.36, saya pun nekat mengirimkan pesan WhatsApp, "menagih janji" wawancara. Pesan itu berbalas 15 menit kemudian, "Mangga."

Singkat. Namun, tidak berhenti di situ.

"Ada panitia betmotor nggak nanti yg bisa antar ke stasiun? Jadi waktu saya bisa lebih lapang."

Saya memandang berkeliling teman-teman lain yang sedang berdiskusi. Inel, dia enggak bisa nyetir motor. Yuna, sama aja. Sisanya, laki-laki.

Tanpa pikir panjang, saya menjawab agak lancang, "Saya ada motor, tapi gak bisa boncengin. Bu Imun bisa boncengin di depankah?"

Untungnya beliau menjawab santai, "Saya biasa boncengin suami dan anak-anak. Mbak bisa di belakang, saya yang bawa, hihihi."

Setelah beberapa saat mendiskusikan tempat yang enak untuk wawancara, termasuk efisiensi waktu beliau menuju stasiun, kami sepakat melakukan wawancara di lobi hotel 15 menit kemudian, jam 11.10-an. Saya mulai panik dalam hati, karena itu berarti waktu beliau menuju stasiun singkat banget. Berapa pertanyaan yang bisa diajukan?

"Tiga atau empat, mungkin," jawab saya ragu ketika beliau menanyakan itu.

Masih bingung dengan konsep wawancara, saya mengajak Yuna sebagai videografer. Konsep sementara, mau bikin reel kecil-kecilan untuk Instagram. Banyak topik yang ingin saya angkat, sebenarnya: jurnalisme, ideologi, FLP, Palestina... akhirnya saya mengambil topik terakhir ini, mengingat isu terkini tentang negeri para nabi tersebut.

Topik itu tentu saja udah ngelotok di kepala beliau sebagai aktivis ke-Palestina-an.

Satu pertanyaan terakhir yang bisa saya ajukan mungkin pertanyaan standar, "Pesan-pesan ke-Palestina-an apa yang bisa Bu Imun sampaikan untuk para anggota FLP dan FLP Yogya, khususnya?"

Dalam bayangan saya, jawaban Bu Imun enggak jauh-jauh, lah, dari peningkatan literasi, banyak-banyakin lagi nulis tentang Palestina, dan sejenisnya. Tapi jawaban beliau sungguh di luar dugaan.

"Bersihkan jiwa dulu. Banyak-banyak istighfar, banyak-banyak memperbaiki keseharian kita."

Jleb!

Beliau memesankan hal paling dasar, yang kadang kita tanpa sengaja melewatkannya karena fokus pada aksi-aksi eksternal, tapi lupa membenahi internal alias diri sendiri dulu.

Wawancara itu berakhir di situ. Bagian akhir wawancara sedikit terganggu oleh suara tawa sekelompok orang rapat di ruang makan tak jauh dari situ (padahal tadinya lumayan hening), dan Bu Imun sempat menyarankan untuk nge-cut bagian yang ada tawanya itu, tapi saya sudah tak bisa berpikir apa-apa lagi. Saat itu sudah pukul 11.25, waktu yang amat sangat mepet untuk mengejar kereta.

Motor saya ada di tempat parkir underground. Kami turun sembari saya membuka Google Map mencari rute terdekat menuju stasiun. Koneksi internet tidak stabil. Saya meminta mas-mas hotel yang kebetulan lewat untuk mengeluarkan motor saya yang terhalang motor lain, meminta izin Bu Imun supaya saya menunggu di atas sembari mencari sinyal. Dengan kata lain, Bu Imun yang membawakan motor saya ke atas di depan lobi!

Ada yang lebih konyol lagi?

Saat saya sampai di atas dan berhasil mendapatkan sinyal, saya baru sadar: helm saya cuma satu! Sempat terpikir untuk meminjam helm dari petugas hotel, tapi tak ada waktu lagi. Begitu Bu Imun sampai di teras lobi, saya langsung naik sambil berdoa, semoga kepala saya tetap aman tanpa kepala cadangan.

Dan rupanya, perkiraan saya soal rute menuju stasiun sedikit meleset. Saya lupa kalau rute yang saya pikirkan ternyata searah. Harus ambil rute yang lebih jauh. Saya sendiri belum pernah ke stasiun lewat jalur ini.

Sampai panik saya berusaha meminta maaf kepada Bu Imun, menggunakan alasan, "Saya jarang lewat jalur ini." Tidak enak hati.

Tapi beliau malah menenangkan, "It's okay."

Malah, sepanjang jalan, beliau mencoba mengajak ngobrol, "Kalau video tadi tidak bisa diedit dengan baik, kita take ulang saja lewat Zoom."

Otak saya sudah tidak sempat merekam detail obrolan kami. Yang jelas, saya mendadak teringat deskripsi beliau di novel Rahasia Dua Hati tentang cara menyetir Harry, salah satu tokohnya: tidak ngebut, tapi laju. Saya kira, deskripsi itu juga cocok untuk cara beliau menyetir motor ini. Apalagi, di Jogja ini walaupun enggak terlalu macet, tapi lampu merahnya itu loh...

"Masih lama?" sesekali beliau bertanya.

Saya hanya menyuarakan estimasi waktu berdasarkan Google Map sembari sesekali mengarahkan harus belok ke mana. Saya sama asingnya dengan beliau soal jalan ini, hanya berharap dalam hati semoga Google menunjukkan rute yang benar.

Saat sudah dekat, beliau mengenali nama hotel yang menjulang cukup tinggi di seberang rel, "Ah, itu hotel X. Sebentar lagi."

Saya merespons dalam hati, "Iya, tapi sepertinya kita perlu jalan memutar untuk sampai di pintu stasiun."

Meski begitu, saya sendiri yang terkejut karena tiba-tiba pintu stasiun sudah tampak. Rupanya, Google mengarahkan menuju pintu timur. Biasanya, saya menggunakan pintu selatan, tapi terakhir kalinya saya naik kereta juga setahun sebelumnya. Saya mendesah lega karena pintu timur itu adalah pintu masuk untuk penumpang kereta jarak jauh.

Bu Imun berhenti tepat di depan batas kendaraan pengantar, sedekat mungkin dengan pintu masuk. Saya melirik jam di HP, 11.45. Cepat juga. Masih ada 15 menit sebelum kereta berangkat.

Salam perpisahan terucap singkat. "Semoga bertemu kembali," ucap Bu Imun.

Sedang saya, saya tak menemukan ucapan perpisahan yang layak. Saya hanya memandangi sosok beliau melangkah menuju pintu masuk, sambil berharap semoga cukup waktu bagi beliau untuk sampai di kereta, kalau perlu sambil pesan makanan dulu (di hotel tadi, beliau sempat menanyakan apakah makan siang sudah siap sebelum beliau check out, siapa tahu bisa dijadikan bekal).

Ada satu pertanyaan yang diusulkan teman saya untuk ditanyakan pada beliau, "Tips stay strong dengan segala amanah." Saya tidak sempat menanyakan itu, tetapi, pikir saya sembari mengendarai motor kembali ke hotel, saya beruntung bisa menyaksikan langsung setangguh apa ibu satu ini.

2 comments:

  1. Wawancara (dan ngejar kereta) yang penuh adrenalin, jadi ikut deg-degan :D
    Dan nasihat yang ngejleb, bener-bener jadi reminder buat segala situasi :')

    ReplyDelete

Powered by Blogger.