Header Ads

Memilih Sunyi di Ingar Bingar Sosial Media

Beberapa waktu lalu, kantor saya mendata media-media sosial yang dimiliki karyawannya, dari Facebook, Instagram, sampai Twitter. Jujur aja, rasanya risi harus menyerahkan data media sosial pribadi.

Sudah lama berlalu sejak saya bersemangat bersosial media, mengumpulkan sebanyak mungkin teman (dari teman dekat, guru/dosen, sampai tokoh-tokoh publik), minder karena jumlah teman di friend list yang sedikit, dan mengunggah apa saja yang saya lakukan atau saya pikirkan secara impulsif.

Pada tiga media sosial di atas, sejujurnya, saya memang membuat akun. Hanya saja, ketika membuat Twitter, saya membatasi diri hanya dengan mengikuti orang-orang tertentu yang saya anggap dekat dengan saya. Sebagaimana Twitter, saya juga termasuk terlambat menggunakan Instagram, dan lagi-lagi hanya mengikuti sedikit orang; atau setidaknya, awalnya saya maksudkan sebagaimana Twitter, selanjutnya sesekali saya mengikuti orang yang mungkin tidak terlalu dekat secara pribadi, tapi setidaknya saya kenal baik dan ada manfaat atau kebaikan yang bisa saya peroleh dengan mengikutinya. Tidak sedikit orang yang pernah satu circle pergaulan dan follow akun-akun saya, tapi tidak saya follow back, hehe.

Bukan sombong, hanya saja... saya sedang dalam fase menikmati keheningan di tengah keramaian. Mungkin usia dan kedewasaan berpengaruh, ya. Dulu, saya sempat menikmati perhatian yang ditunjukkan dengan saling sapa di media sosial, senang dapat ucapan selamat ulang tahun walaupun itu tak lebih karena pengingat dari mesin Facebook. Lama-lama, saya semakin hanya ingin teman-teman terdekat saja yang berinteraksi dengan saya, apalagi semakin ke sini rasanya semakin introvert saja saya.

Saya pernah begitu menikmati Google Plus, karena hanya saling follow dengan tak lebih dari lima orang di sana. Saya jadi lebih bebas berekspresi, menjadi diri sendiri, menulis bait-bait pendek yang terlintas begitu saja sesuai suasana hati. Tidak ada yang akan menyangka sedang galau, mellow, atau apalah yang bertentangan dengan image diri saya yang terkenal galak, hehe.

Sayang, mungkin karena tidak telalu populer, Google akhirnya menutup layanan media sosialnya yang satu itu. Padahal, justru keheningannyalah yang saya sukai dan membuat nyaman di sana.

Sesekali, saya masih bisa, sih, bersyair di Instagram, tapi, kan, Instagram butuh gambar, ya. Nggak lucu kalau caption-nya apa, gambarnya apa. Nggak nyambung. Apalagi fotonya lagi narsis, caption-nya puisi atau motivasi. Bah!

Akun Facebook saya masih aktif, dan saya buka tiap hari sebagai pelepas penat. Ada saja bacaan-bacaan menarik di sana, baik dari "Friend" saya, atau yang mereka bagikan di akun masing-masing. Sudah sangat jarang saya posting tulisan sendiri. Saking banyaknya teman yang saya tambahkan selama satu dekade sebelumnya, saya jadi merasa sedang diawasi. Tak ada privasi, saking bervariasinya akun-akun yang berteman dengan saya.

Kalau menginginkan privasi, kenapa tidak di-private saja akunnya? Begitu mungkin ada yang bertanya.

Well, entahlah. Mungkin karena kalau saya kunci, itu menyulitkan orang yang mau kepoin saya, hahaha. Saya tahu persis rasanya, ketika lagi butuh menghubungi seseorang, atau mencari tahu latar belakang seseorang untuk keperluan tertentu, dan mendapati akunnya di-private itu menyulitkan.

Saya berpikir... silakan saja kalau mau lihat-lihat akun saya, cari tahu siapa saya, melihat kepribadian saya, dan sebagainya... asalkan saya nggak tahu kalau kalian kepo, hehe. Kalau mau follow saya silakan, tapi jangan harap saya dengan gampangnya langsung folback. Meski begitu, sesekali saya risi kalau di-follow orang-orang tertentu, jadi kadang saya blokir juga ini orang, wkwkwk.

Itu sebabnya, saya juga tidak terlalu ngoyo mengejar viewer blog. Orang-orang boleh berlomba-lomba belajar SEO, ada pelatihan di sana-sini, memonetasi blog mereka. Namun, saya lebih suka cara organik, kalau ada yang mau mengunjungi blog saya, ya, itu karena isi yang ada di dalamnya dicari atau disukai orang lain, bukan karena saya gencar promosi.

Soal promosi ini, saya juga kurang suka kalau diwajibkan mempromosikan sesuatu melalui akun pribadi. Dari circle mana pun. Kadang, kan, ada lomba atau agenda tertentu yang mensyaratkan pesertanya membagikan informasi atau tulisannya di media sosial pribadi. Kalau ketemu yang begini ini, biasanya langsung saya skip, haha. Kalaupun itu lomba atau agenda yang memang saya minati sehingga terpaksa harus share, saya pilih share di Twitter yang relatif sepi buat saya.

Isi blog saya pun terlihat "acak-acakan", mungkin, bagi sebagian orang. Sejak awal, saya memang meniatkan blog sebagai sarana ekspresi diri saja, sebagai wadah kumpulan ide, kreasi, dan catatan hidup saya sendiri. I just wanna show that this is me, nggak dibuat-buat tapi juga nggak terlalu gamblang membuka diri.

Kalau ada istilah antisocial social-club buat orang-orang yang memang anti bersosialisasi, sepertinya istilah yang tepat buat saya adalah antisocial social media. Hehehe.

4 comments:

  1. Replies
    1. Iya, di sosmed apa pun yg ada akun, selalu ada elu 😂😚

      Delete
  2. Sekarang pendataan medsos pegawai makin banyak, ya. Padahal kadang orang punya medsos biar punya tempat pelarian dari capeknya kerja/sekolah, hehe. Mungkin karena itu juga sekarang jadi makin banyak orang yang punya 2nd account

    ReplyDelete
    Replies
    1. Padahal 2nd account itu malah bikin susah ngelolanya :D

      Delete

Powered by Blogger.