Header Ads

Cerita Membaca

Pekan kemarin, saya lumayan sibuk, tidak sempat menulis apa pun di blog. (Maaf, ya, buat para pembaca setia, haha!) Saking banyaknya pekerjaan yang dilimpahkan ke saya, saya sempat berkhayal punya delapan tangan seperti gurita untuk menyelesaikan semuanya sekaligus.

Ngomong-ngomong soal gurita, saya teringat sebuah karakter gurita yang bernama Tata Gurita. Saya sendiri lupa, di mana saya pernah mendapati nama tersebut. Cari di Google Image... rasa-rasanya si Tata Gurita ini tidak seperti gambar-gambar yang ada sebagai hasil pencarian, yang kebanyakan bersumber dari toko online boneka.

Apakah saya pernah membacanya di sebuah buku yang sering saya buka waktu kecil?

Masa balita saya ditemani banyak buku: ada buku berbahasa Indonesia, Inggris, maupun campuran keduanya. Satu buku (yang saya curigai merupakan buku yang mengenalkan saya pada si Tata Gurita) adalah semacam kamus bergambar Inggris-Indonesia. Ilustrasi di buku itu begitu menarik, terutama bagian tempat pikniknya, sampai-sampai saya desperate banget pengin ke sana, tapi tak tahu tempat itu di mana. Ya, iyalah, namanya juga ilustrasi fiktif. :D

Beranjak SD, saya mulai membaca buku-buku semacam Pak Gangsir Juru Ramal Istana; buku-buku yang dulunya milik perpustakaan SD tempat Eyang Uti menjadi kepala sekolah, yang (karena lokasinya bersebelahan dengan rumah Eyang) terbawa ke rumah saya karena ibu saya dan saudara-saudaranya sering membaca buku-buku tersebut ketika mereka muda. Kelas 3 SD, saya sudah menamatkan komik serial Mahabharata dan Bharatayudha-nya R.A. Kosasih, yang sampai saat ini, menjadi satu-satunya komik yang saya tamatkan (saya tidak terlalu suka baca komik, sejujurnya, apalagi yang berjenis manga).

Saat itu pun saya sudah merasa terasing dengan lingkungan teman-teman saya. Entah mereka jarang membaca, atau selera bacaan mereka berbeda... saya merasa tidak punya teman berbagi kisah-kisah yang dibaca. Kesamaan tontonan mungkin masih ada: selera anak-anak seusia saya saat itu berkisar antara pahlawan-robot semacam Big Bad Beetleborgs dan serial Power Rangers, atau telenovela semacam Amigos X Siempre dan Carita de Angel. Tapi bacaan?

Kelas 4 SD, saya membaca dua buku pertama Harry Potter... Lalu, entah kelas 4 atau 5 SD, saya menamatkan serial Malory Towers-nya Enid Blyton. Seingat saya, saya sempat dicemooh karena menentang teman-teman yang suka nonton film horor karena menganggap itu syirik, tapi di sisi lain saya suka baca Harry Potter. Haha... mungkin karena Harry Potter masih ada sisi sastranya, kali, ya.

Kelas 6 SD merupakan awal perkenalan saya dengan buku-buku Islami kontemporer (maksudnya, yang bukan shirah atau novel anak Islami). Saya mendapatkan buku pertama Serial Akta: Kelelawar Wibeng karya Mbak Jazimah Al-Muhyi sebagai hadiah ulang tahun kedua belas. Di tahun itu juga, majalah-majalah pemikiran seperti Sabili, Ghoib, bahkan Saksi mulai membanjiri rumah saya... Mana di masa itu (2003-2004), memang tahun politik, kan.

Di perpustakaan SMP yang baru dibuka waktu saya kelas dua (saya angkatan pertama), saya bisa memuaskan nafsu membaca sepuasnya. Memang, bukunya tidak selengkap perpustakaan sekolah-sekolah lain yang sudah lebih maju (setidaknya dilihat dari fasilitasnya), tapi perpustakaan SMP saya dibanjiri karya-karya penulis Islami, baik fiksi maupun nonfiksi. Dari perpustakaan inilah saya mengenal semua nama-nama penulis seperti Nurul F. Huda, Fahri Asiza, Novia Syahidah, Ifa Avianty, Solikhin Abu Izzudin, Muthmainnah (Maimon Herawati), Azimah Rahayu, Leyla Imtichanah... dan banyak penulis-penulis FLP lainnya. Tidak cuma penulisnya, saya juga mulai mengenal penerbit-penerbit seperti Mizan, Era Intermedia, Pro-U, dan Gema Insani.

Saya bisa menghabiskan waktu istirahat hanya dengan membaca semua buku itu, kadang malah saya bawa pulang saking tidak sabarnya menamatkan ceritanya. Tema-tema yang saya baca pun bermacam. Ada cerita anak-anak, remaja, anak kuliahan... bahkan buku-buku tentang pernikahan pun saya lahap habis.

Ketika sekolah mengadakan wisata akhir tahun ajaran ke Jogja, salah satu tujuan akhir kami adalah Malioboro. Selagi teman-teman mencari oleh-oleh khas Jogja, saya malah masuk ke mall dan cari toko buku di sana. Jadi kasihan sama teman yang saya ajak itu, mungkin tidak cukup puas berbelanja cendera mata seperti seharusnya. :D

Kalau bersekolah di SD yang letaknya cukup "kota" (mungkin setara dengan istilah "down town" bagi kabupaten tempat saya tinggal) saja, waktu itu saya cukup kesulitan menemukan teman yang sama-sama hobi baca, apalagi di SMP yang sebutan "up town" saja masih terlalu "kota" untuk mengistilahkannya. Untungnya, guru-guru saya yang masih muda itu bisa menjadi partner diskusi bagi saya. Terutama guru Bahasa Indonesia waktu saya kelas tiga, yang (kalau tidak salah ingat) merupakan anggota FLP.

Dari beliau, saya mengenal novel Laskar Pelangi. Ketika, di SMA, saya membaca buku ini di sekolah, beberapa teman yang mendekat dan melihat buku saya tampaknya masih penasaran, buku apaan, sih? Eh, tapi setahun kemudian, novel tersebut difilmkan, dan sebagian besar teman saya (termasuk yang dulu bertanya) menonton bareng-bareng. Sudah populer, waktu itu, hehehe.

Meski begitu, di SMA inilah saya mulai "melihat dunia luar". Saya bertemu teman-teman lain yang juga suka membaca... walaupun, sebagian besar, tetap saja punya jenis bacaan yang berbeda dengan saya. Mereka baca teenlit, saya bacanya fiksi Islami, haha. Bacaan yang beririsan mungkin Harry Potter, ya. Hehe....

Salah satu hal yang berkesan adalah, setelah kelulusan, ketika satu sahabat saya hendak merantau karena dia diterima kuliah di luar kota, kami saling bertukar hadiah berupa buku. Lucunya, kami sepakat, bukunya adalah Lupus! Kami memang sama-sama penggemar serial Lupus, tapi lebih banyak yang seri Lupus Kecil atau setidaknya yang ABG (mungkin lebih tepatnya... yang ditulis Hilman dan Boim, bukan Hilman seorang atau yang bertiga tambah Gusur). Salah satu tokoh favorit kami adalah Papi karena karakternya yang pelit irit.

Di kampus, hobi membaca justru menjadi hobi yang sangat mainstream. Yang membedakan dari perbedaan yang saya temui di SMA adalah... di sini, yang mereka baca jelas bukan teenlit, tapi buku-buku pergerakan! Haha! Nah, saya masih saja lebih memilih sastra Islami.

Setidaknya, ada cukup banyak teman yang punya bacaan yang serupa dengan saya. Mau bernostalgia dengan karya-karya Enid Blyton, ada. Mau pinjam bacaan pop seperti Twilight, ada. Mau fiksi-fiksi Islami seperti karyanya Afifah Afra, jelas ada; untuk yang satu ini, mungkin inilah yang awalnya mendekatkan saya dengan salah satu teman karib saya di kampus.

Bersama sahabat saya ini, kami punya harapan Semarang bisa menyelenggarakan Islamic Book Fair (IBF). Biasanya kami mengejar acara ini sampai ke Jogja. Satu-satunya bazar buku terbesar di Semarang sifatnya umum, bukan khusus yang buku Islami.

Kesempatan itu datang ketika salah satu organisasi yang kami ikuti bersama berencana mengadakan seminar kepenulisan. Kami sudah membayangkan bagaimana acaranya... tapi ternyata tidak semua panitia paham konsep yang kami usulkan. Selain karena memang organisasi itu bukan organisasi kepenulisan (hanya concern dengan pentingnya menulis), salah satu sebabnya, ya, seperti yang saya ungkapkan di atas: kami punya perbedaan genre, haha.

Seiring berjalannya waktu, minat baca saya tampaknya menurun. Bukannya jadi enggak suka baca, tapi lebih tepatnya kurang berminat membaca bacaan-bacaan baru. Rasanya seperti... pengin buru-buru tahu endingnya, atau takut kecewa karena ceritanya tak sesuai ekspektasi, atau bosan dengan pembukaan yang berbelit-belit dan pengin langsung masuk konfliknya.

Saat ini, saya malah sedang tertarik mencari novel-novel yang pernah saya baca dulu waktu SMP. Susah juga, rupanya, mencari penjual buku-buku tersebut, sebagian besar karena memang sudah tidak diterbitkan lagi.

Sementara ini, harus puas bolak-balik baca buku Harry Potter lagi, Harry Potter lagi. Duh!

2 comments:

  1. Wah sama, Mbak. Akhir-akhir ini rasanya buru-buru baca buku karena keburu pengin tahu isinya. Jadinya nggak 'jenak'. Btw buku Enyd Blyton kadang masih ada yang dipajang di Gr*medi*, meski yang Mallory Towers emang jarang. Saya pernah nemu tapi di toko online

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, carinya sekarang di buku-buku bekas malahan :D

      Delete

Powered by Blogger.