Header Ads

Huruf Kecil

Walaupun sebagian orang menganggapnya tidak penting, penggunaan huruf kecil dan kapital rupanya memengaruhi pemahaman orang lain yang membaca sebuah tulisan.

Saya pernah dapat pesan WhatsApp, isinya begini.

"Telah meninggal dunia ibu Dra. Ani."

Saya punya dua alasan untuk mempercayai bahwa yang meninggal adalah ibunya "Dra. Ani".

Pertama, dalam aturan bahasa Indonesia, sejatinya penggunaan dua sapaan beruntun tidaklah terlalu disarankan, apalagi diikuti nama orang tersebut. Cukup panggil saja Dra. Ani, atau Ibu Ani. Contoh lain, ketika ada seseorang bernama Budi yang bergelar profesor, maka cukup panggil saja Bapak/Pak Budi, atau Prof. Budi. Tidak perlu memanggil dengan Bapak Prof. Budi.

Meski begitu, tampaknya sudah lazim di masyarakat kita untuk memanggil seseorang dengan profesinya: Pak Guru, Bu Dokter, Pak Polisi, Bu Bidan, atau dengan profesi suaminya seperti Bu Lurah. Dalam konteks kekuasaan, lazim juga kita dengar sapaan "Pak Presiden", "Pak Bupati", atau, di Jogja, "Pak Sultan". Ada percampuran sapaan "Bapak/Ibu" dengan gelarnya, seolah kalau kita hanya memanggil dengan gelar, itu masih dianggap kurang sopan atau tidak menghormati, padahal gelar sendiri seharusnya sudah menunjukkan penghormatan kita atas pencapaiannya.

Kedua, penggunaan huruf "i" kecil pada kata "ibu" di tengah kalimat, dalam bahasa Indonesia, menunjukkan sosok yang berperan sebagai orang tua, bukan sebagai sapaan. "Ini Ibu Ani," berarti ada seorang wanita bernama Ani yang biasa dipanggil dengan sapaan "Ibu", atau terkadang disingkat "Bu". "Ini ibu Ani," berarti orang itu adalah seorang ibunda yang memiliki anak bernama Ani, atau bisa juga diperjelas dengan "-nya" menjadi, "Ini ibunya Ani."

Baik saya dan ibu saya mengenal Dra. Ani ini, dan ketika mendapatkan kabar tersebut, kami sama-sama berpikir yang meninggal adalah ibunya Dra. Ani. Jadi, reaksi kami biasa saja, sebagaimana kami juga sering mendengar ibunya si A meninggal, bapaknya si B meninggal. Lagipula, kalau yang meninggal ibunya Dra. Ani, kami berpikir itu wajar saja karena usia beliau yang sudah sepuh.

Reaksi kami (saya dan Ibu) berubah drastis setelah mengonfirmasi kepada si pemberi informasi. Yang meninggal adalah Dra. Ani sendiri, bukan ibunya. Kami terkejut karena Dra. Ani masih termasuk muda, hanya berjarak usia 3 bulan dari ibu saya, dan tidak ada berita sakit apa pun sebelumnya. 

Rupanya penggunaan huruf "i" kecil itulah yang jadi masalahnya.

Kalau dipikir-pikir, lucu juga, ya, manusia ini. Jika yang meninggal kerabat orang lain, dan kerabat itu bukan orang yang kita kenal, reaksi kita sepertinya biasa-biasa saja, seolah itu bukan musibah yang terlalu besar buat kita. Ucapan belasungkawa yang terucap pun seringkali tidak tulus, kalau di WhatsApp malah kadang sekadar copy and paste dari ucapan orang lain. Jangankan empati, simpati pun tidak dari hati. Barulah kalau mengalami sendiri, kita tahu seperti apa dukanya.

1 comment:

  1. Gara-gara kebiasaan lisan, lalu ikut kebawa di tulisan, artinya bisa beda, ya, Mbak.

    ReplyDelete

Powered by Blogger.