Header Ads

Ada Tangis dan Tawa dalam Hayya


Gagal nonton Hayya: The Power of Love 2 di hari-hari pertama tayangnya, gw baru bisa nonton lebih dari seminggu kemudian. Karena semua temen lain udah pada nonton, gw nekat nonton sendirian setelah lebih dulu pesan tiket via online. Saat gw milih tempat duduk, cuma ada 1 kursi lain yang terisi seantero studio.

Sampai di bioskop, pas gw nuker tiket, ada 1 keluarga terdiri dari 4 orang lagi beli tiket buat nonton Hayya juga. Ternyata, begitu dipersilakan masuk sama petugas, cuma kita berlima dong yang nonton Hayya di jam itu. Entah ke mana 1 orang yang kursinya gw liat di pemesanan tiket online tadi. Jadi berasa nonton privat, sih. Agak nyesek juga, rasanya, melihat antusiasme yang minim untuk film baik kayak gini.


Sisi positifnya, suasana sepi gini mendukung gw buat berekspresi. Gw jadi bisa nangis sepuasnya tanpa perlu jaim, karena ada banyak adegan yang luar biasa menyentuh. Ada juga scene kocak yang bikin ketawa sampai perut sakit.

Hayya bisa dibilang merupakan lanjutan dari 212: The Power of Love, dengan tokoh-tokoh yang masih sama. Cerita masih dinarasikan Adin, sebagai saksi perjalanan temannya, Rahmat, yang kini udah hijrah. Dalam salah satu aktivitas kemanusiaannya di Palestina, mereka bertemu dengan anak kecil sebatang kara Palestina bernama Hayya. Konflik sesungguhnya dimulai ketika Hayya "terdampar" di rumah Rahmat tanpa sepengetahuan semua orang. Mengetahui trauma Hayya dengan suasana perang di Palestina, Rahmat berusaha melindungi Hayya agar tidak dikembalikan ke negara asalnya itu. 

Kalau dalam 212 penonton dibuat geregetan dengan sikap Rahmat yang menentang Islam, dalam Hayya penonton dibuat bersimpati dengan kepedulian (walaupun menjurus posesif) Rahmat, bahkan secara umum mendukung langkah-langkah yang diambilnya.

Seperti yang gw bilang di atas, tangis dan tawa mendominasi film ini dalam porsi yang cukup ekstrim. Thanks to Amna Shahab yang aktingnya keren banget, penonton dibuat nangis kejer mengingat beratnya kehidupan anak-anak Palestina: ketidakhadiran orang tua mereka, trauma mereka dengan suara-suara ledakan bom bahkan hanya melalui TV, keterikatan hati mereka dengan para relawan kemanusiaan, dan kerinduan mereka akan kedamaian dalam hidup mereka. Begitu totalitasnya penampilan Amna, sampai-sampai gw sering membatin, nemu anak kayak gini dari mana, coba?

Rasa sakit yang bertubi-tubi tersebut dinetralisir dengan humor yang bertebaran dalam berbagai adegan. Pembawaan kocak Ria Ricis bener-bener patut diacungi jempol, dan berperan besar dalam terjadinya konflik cerita, belum lagi ekspresi nyunda Asma Nadia yang kelihatan natural banget. Sisipan pesan mengenai perlawanan terhadap LGBT pun dibalut dalam kekonyolan yang mengingatkan kita akan betapa menjijikkannya perilaku tersebut.

Lokasi syuting di Palestina menunjukkan keseriusan pembuatan Hayya, walaupun ada rasa eman-eman udah menembus izin ke sana, negeri para nabi itu hanya dapat porsi sedikit dalam scene. Mungkin juga karena memang hanya segitu yang bisa diperoleh dari perizinannya, ya.

Selain kecintaan terhadap Palestina, nasionalisme pun tak luput diangkat di dalamnya. Adegan Hayya menonton pawai tujuh belasan seolah ingin menunjukkan bahwa penduduk Palestina pun bersuka cita dengan perayaan kemerdekaan Indonesia. Ketaatan terhadap hukum negara maupun internasonal juga ditekankan melalui para tokohnya.

Apa yang pengin gw ubah dari film ini?

Yang jelas, ending. Setelah semua roller coaster emosi sepanjang film, endingnya agak antiklimaks, terutama peran Rahmat di sana. Hayya akhirnya dideportasi ke Palestina, tapi kekhawatiran Rahmat belum menemukan jawabannya: apakah Hayya akan lebih aman dan damai di Palestina?

Gw mengharapkan Rahmat masih mencoba memprotes keputusan yang dibuat tanpa melibatkannya, memaksa mendapatkan kepastian nasib Hayya, dan baru mulai ikhlas setelah mendengarkan nasihat Abah, Adin, Yasna, dan yang lainnya namun tetap dengan tangis penyesalan karena tidak bisa memberikan perlindungan yang lebih baik. Gw kira ini akan lebih membuat penonton berazzam untuk memperjuangkan hak-hak anak-anak Palestina.

Kedua, porsi dialog Hayya. Mengingat peran Hayya sebagai tokoh sentral, gw pengin dong liat lebih banyak kata-kata dari mulut gadis cilik ini.

Secara umum, Hayya sudah jauh lebih baik daripada sekuel pertama The Power of Love. Permainan peran para aktor sudah lebih natural, mungkin karena chemistry-nya udah dapet. Alur cerita dan sinematografi juga ada peningkatan. Kekurangan-kekurangan kecil sekali lagi masih bisa tertutupi dengan ruh dan penjiwaan yang dibawa.

Iya, sesepi ini suasana bioskop pas gw nonton

Sungguh sayang bahwa film sebagus ini tidak sepopuler film-film lainnya. Kebanyakan dari massa muslim memang semangat banget beli tiket buat nobar, tapi gw sengaja nonton di luar jadwal nobar karena ingin bioskop juga tahu, bahwa ada orang yang tertarik nonton secara reguler. Padahal, kalo boleh gw bilang, film ini layak tonton untuk masyarakat lintas agama.

Semoga Bunda Helvy dan kru lain The Power of Love tidak menyerah dalam menyajikan tontonan-tontonan mendidik seperti ini. Kita semua selalu mengandalkan kekuatan cinta pada agama, tanah air, dan kemanusiaan untuk menjadikan bumi ini menjadi tempat tinggal yang aman dan damai bagi umat manusia.

No comments

Powered by Blogger.