Header Ads

Di Sepanjang Jakarta – Bogor, Ada Rencana yang Tertukar


Prolog

Kayaknya udah bosen mau izin keluar rumah sama ortu. Bukan karena pengin keluar tanpa izin, bukan. Gue kan anak baik. Haha... Tapi lebih karena... tiap pergi, hampir selalu gue pergi sama Iip. Kayak nggak ada temen lain aja gitu, jalan-jalan bareng Iip melulu. Mau i'tikaf di Undip aja barengannya Iip, yang sama sekali nggak ada darah-darah Undip-nya. Bahkan sampai Iip udah enggak jomblo lagi, tetep aja sama dia. Sampai emak gue pernah nanya keheranan, "Bukannya dia yang kemarin nikah itu?"

Alamak!

Tapi dari semua agenda jalan-jalan gue sama Iip, sebelumnya selalu muter-muter aja di Semarang dan sekitarnya. Maka dari itulah, ketika gue dan Iip mengagendakan silaturrahim ke rumah UmmiL di Jakarta coret, perencanaannya sampai ngalahin persiapan DM2 (kata Iip).

Wacananya sih udah sejak pertengahan 2016, tapi waktu pastinya baru ditentukan pertengahan Oktober 2017. Dan atas berbagai faktor, akhirnya diketok palu bahwa petualangan akan diawali dengan perjalanan naik kereta pada 30 Desember 2017 pagi, dan pulang pada 3 Januari siang.

Mau tahu apa aja persiapan kita sebelum berangkat?
  1. Izin Iip ke suami. Walaupun Iip LDR-an dengan suaminya, sebut saja namanya Edoz, Iip tetep menjadi istri yang bertanggung jawab, harus izin sebelum pergi. Keikutsertaan gue ternyata penting, soalnya menurut Iip, dia diizinin pergi kalau ada temennya.
  2. Rancangan agenda. Dua kali lho, gue dan Iip "syuro" cuma bahas timeline harian selama di Jakarta. Tapi notulennya hilang.
  3. Cari kartu buat naik KRL dan Trans Jakarta. Daripada pakai one-way trip melulu kan susah, kalau tiba-tiba kita mau pindah haluan (yang nantinya memang akan sering terjadi). Tadinya mau pakai Indomaret Card, tapi ENAM Indomaret yang gue dan Iip datangi ternyata lagi kehabisan stok semua. Akhirnya pakai kartu bank.
  4. Ganti HP gue. Smartphone gue yang mendadak manja sebulan sebelum keberangkatan tentu akan menyusahkan komunikasi di sana. Mau beli nggak punya duit. Tapi alhamdulillah dapet pinjeman dari temennya adik gue.
  5. Oleh-oleh. Sebagai orang Ungaran, bawain tahu bakso khas Ungaran adalah sebuah kebanggaan. Tapi, ketahanannya (apaan sih namanya?) itu lho. Karena emang nggak pakai bahan pengawet, tahu bakso rebus di Bu Pudji cuma bisa bertahan sehari di luar kulkas, dan tiga hari di dalam kulkas. Maka dari itu, hanya jadwal hari pertama yang nggak boleh berubah, karena berkaitan erat dengan kualitas tahu bakso. Sisanya... jadwal berubah semua. Hehe...

Tempat Duduk yang Bohong

Singkat cerita, Sabtu terakhir di 2017, tibalah gue dan Iip di bangku kereta yang udah dipilih. Bangku yang memulai seluruh kekonyolan yang terjadi, gara-gara gue merasa dibohongi sama denah pemesanan tiket kereta api.

Jadi ceritanya, di situs pemesanan, denahnya begini:


Gue pilih kursi 7A dan 7B, dengan harapan, kalau emang sesuai denah, kita duduk di bagian depan sebelah kanan sesuai arah laju kereta, alias di sisi utara, yang artinya kalau perjalanan dari Semarang ke Jakarta, bisa melihat pemandangan laut. Jelek-jeleknya, kalau gerbongnya dibalik berlawanan dengan arahnya, normalnya dengan transformasi rotate 180 derajat, jadi denahnya kayak gini:


Kalau pakai denah itu, posisi 7A dan 7B ada di belakang gerbong, di belakang sisi kiri berdasarkan laju kereta, di bagian selatan. Enggak bisa lihat pemandangan laut, sih.

Tapi, yang terjadi adalah, transformasinya bukan di-rotate tapi di-flip alias dicerminkan jadi kayak gini:


Yang artinya, kita jadi duduk di sisi selatan, tapi di bagian depan. For your information, kereta Menoreh yang kita naiki itu, formasinya berhadapan di bagian tengah. Dari gambar di atas, kursi 1-10 hadap belakang, kursi 11-21 hadap depan. Jadi, gue dan Iip udah kebagian jalan mundur, nggak bisa lihat laut, pula!

Ya sudahlah, setidaknya enggak berhadap-hadapan juga dengan orang lain di depan, sama-sama menghadap ke belakang. Masih bisa meluruskan kaki dan bertingkah antik di kursi sendiri, hahaha...

Hal baik lainnya, sampai di Jatinegara on time, nggak ngaret. Gue dan Iip langsung shalat jama' qasar di mushala stasiun.

Begitu keluar mushala, Iip mulai lari sprint menuju tempat aktivasi kartu bank supaya bisa digunakan naik KRL, habis itu melewati pintu keluar hanya untuk masuk lagi dengan nge-tap kartunya sebagai tanda start masuk ke KRL. Gue cuma bisa tergopoh-gopoh di belakang dia; meskipun barang pribadi gue cuma satu tas ransel dan tas selempang kecil (bandingin sama Iip yang bawa tas ransel sekaligus duffel bag), tangan gue masih memegang tote bag berisi 4 kotak tahu bakso.

Pas ditanya kenapa harus buru-buru gitu, dalih Iip, "Ntar keretanya keburu berangkat."

Pengen gue nepok jidat... jidat Iip, maksudnya. Tapi nggak jadi. Bisa-bisa gue dimarahin Edoz kalo Iip pulang dalam keadaan tidak utuh.

"Kan bisa nunggu kereta selanjutnya," bantah gue.

"Lama lagi ntar nunggunya," tutup Iip. Iya juga sih, ya?


Bertemu Diah

Danau UI menjelang magrib

Kita sengaja ambil kereta rute Jatinegara-Bogor, soalnya gue penasaran aja pengin nyoba melewati rute Jatinegara – Pasar Senen – Angke – Tanah Abang – Manggarai – Depok. Kalau rute Jakarta Kota – Bogor, gue terhitung udah sering ngelewatin lah. Malah, waktu SD, gue pernah hapal urutan stasiunnya.

Sore itu ternyata bertepatan dengan detik-detik terakhir acara Islamic Book Fair di UI, jadi tujuan pertama kita adalah Stasiun Pondok Cina. Di situ juga sudah menanti Diah, sobat Iip dari IPB yang juga temen DM2 gue (jadi udah sama-sama kenal), yang berbaik hati menampung dua traveller ini di kosnya. Tapi sebelumnya, Diah mengajak gue dan Iip keliling IBF dulu.

Walaupun sebagian besar stan penerbit udah mulai beres-beres, tapi pengunjungnya masih lumayan banyak. Mereka terutama ingin mendengarkan orasi seorang syaikh dari Palestina, yang nggak sempet gue tangkep isinya. You can imagine, bagaimana gue dan Iip melihat-lihat buku dan baju, lalu mencari makan, masih dengan tentengan yang menggelayuti tangan dan pundak.

Untungnya Diah bersedia memenuhi permintaan gue buat nunjukin danau UI (yang gagal gue kunjungi satu setengah tahun lalu), dan kita bertiga istirahat di tepinya. Habis itu, Diah shalat maghrib di masjid UI, sementara gue dan Iip menunggu (berhubung bisa shalat jama', gue dan Iip pengin mandi dulu sebelum shalat).

Kos Diah ternyata ada di daerah Kramatjati. Jadi gue dan Iip kembali mengusung semua bawaan itu naik kereta sampai Stasiun Duren Kalibata. Dari situ, mobil yang dipesan online sama Diah ternyata belum sampai.

Sepanjang jalan naik mobil, Iip menempelkan HP-nya di jendela samping mobil. Aplikasi yang menyala adalah kamera.

"Motret apa, sih?" tanya gue. "Gelap juga, nggak kelihatan."

"Ngerekam jalan, biar besok nggak nyasar kalau mau ambil barang."

Ide cemerlang, nih. Soalnya, besok kan Diah mau mudik pagi-pagi. Kan nggak mungkin gue sama Iip jalan-jalan besoknya sambil nenteng beban kayak tadi. Jadi, rekaman Iip harusnya bisa sedikit membantu.

Sayangnya, ternyata rekamannya nggak tersimpen di HP-nya! Entah karena memorinya full, atau, simpel aja, karena lupa mencet tombol record.

Trus gimana, dong?

Rencana awalnya kan, besok barangnya ditinggal di tempat Diah, trus sorenya gue dan Iip ambil barang di situ untuk pindah nginep di rumah sodara gue di daerah Depok, sedangkan sodara gue itu sekeluarga baru pulang dari liburannya besok siang. Padahal janjian sama UmmiL jam 10.

Masa mau dibawa-bawa lagi tas yang segede dan sebanyak itu?

Qadarullah, waktu itu gue bisa komunikasi sama temen kampus gue, Ela. Dia ternyata rumahnya deket banget sama Stasiun Pasar Minggu, dan mempersilakan gue dan Iip menitipkan barang di rumahnya. Tadinya gue sama Ela berniat nonton bareng, tapi ternyata ada jadwal lain. Akhirnya ketemuan cuma buat nitip barang. Makasih ya, El, udah bersedia direpotin.


Di Rumah UmmiL

Inilah inti dari perjalanan gue dan Iip ke Jakarta: nengokin UmmiL dan si kembar Eleanors. Tadinya cuma pengin main ke tempat UmmiL di Jakarta, tapi sampai lama nggak ketemu waktu yang tepat, sampai dia punya anak yang usianya udah setengah tahun. Pada akhirnya, tema acaranya adalah tilik bayi. Hehe...

Rumah UmmiL ternyata nun jauh di perbatasan dua kota. Menurut suaminya, sampai-sampai mau instal listrik maupun air susah, karena menurut administrasi Bogor, rumahnya kejauhan dari pusat kota, tapi sama Depok ditolak sebagai wilayahnya. Dan emang, dari stasiun tempat gue turun, gue ngerasa tempatnya jauuuuuuuuh banget. Jadi penasaran, gimana mereka kalau mau berangkat kerja di Jakarta.

With Eleanors (tebak siapa yang mana)
Si UmmiL sendiri udah rapi jali menyambut gue dan Iip. Untungnya penampilan UmmiL nggak berubah, masih sama aja walaupun terakhir ketemu hampir dua tahun sebelumnya, pas UmmiL nikah. Jadi masih bisa dikenali, haha... Bercanda, ding! Habisnya dia nyambit, eh, nyambut gue sama Iip aja udah kayak kedatengan tamu yang wah gitu. Belum lagi jamuannya yang banyak banget, seolah pengin bikin gue tambah bunder aja.

Ternyata akhir tahun 2017 itu bertepatan dengan awal-awal Eleanors mulai mengonsumsi MPASI, jadi gue juga bisa ngelihat gimana cara UmmiL menangani anak kembar itu. Serius, nggak gampang loh mengasuh dua anak sekaligus, apalagi sebagai anak pertama. Untungnya si Kakak Khodijah juga kooperatif, mau-mau aja gue gendong, meski mukanya kayak tegang gitu. Hehehe... Boboklah, Nak, ammah cakep empuk buat bantal kok. Hihi...

Sedangkan Shofiyyah, mungkin karena nervous ketemu orang imut kayak gue (jangan muntah, plis!), mukanya serius hampir sepanjang kunjungan. Padahal katanya dia lebih sering senyum. Eh, tapi senyum yang dinanti akhirnya muncul juga kok menjelang gue cabut.


Rencana yang Tertunda

Habis dari rumah UmmiL, kegiatan gue dan Iip adalah... jadi bolang. Bukan bocah petualang, tapi bocah ilang.

Gue malah udah lupa rencana gue dan Iip apa aja, saking fleksibelnya. Yang bisa dipastikan cuma ke rumah UmmiL di Ahad pagi sampai siang, dan agenda masing-masing di hari Selasa.

Stasiun Bogor
Seingat gue, sehari sebelumnya gue dan Iip sepakat bahwa dari rumah UmmiL, kita mau jalan-jalan keliling Jakarta. Tapi ternyata sebelum pulang dari sana pun udah ujan. Akhirnya agenda berikutnya dimajukan, yaitu agenda menjajal rute KRL.

Dari Stasiun Depok Baru, gue dan Iip menuju stasiun Bogor sebagai start kereta, dengan harapan bisa dapat tempat duduk. Dari sana, kita berencana menuju Stasiun Tangerang. Entah mau ngapain di sana.

Tapi, sampai di Manggarai, ada pengumuman tentang pohon tumbang di antara Stasiun Manggarai dan Sudirman yang menutup jalur kereta, jadi kereta akan balik arah kembali ke Bogor. Padahal kalau mau ke Tangerang, transitnya di Stasiun Duri, yang harus melewati Stasiun Sudirman.

Keputusan kilat pun dibuat: nggak jadi jalan-jalan, tapi langsung ambil tas dari rumah Ela, dan ke tempat sodara gue di Depok. Apalagi mengingat ini malam tahun baru, pastinya bakal rame banget jalanan.

Sampai di rumah (untuk lebih ringkasnya, gue sebut gini aja ya, padahal aslinya rumah sodara gue), gue dan Iip belum bisa langsung istirahat. Gue dan Iip malah diajakin buat menghadiri kajian malam tahun baru, di masjid yang lumayan deket, tapi berangkatnya naik mobil. Bagus, sih, materinya tentang akhir zaman gitu, tapi dengan kondisi badan yang udah remuk habis perjalanan dua hari dan nyaris nggak tidur di malam sebelumnya, dengerin kajiannya sambil ngantuk-ngantuk.


Jakarta Padat, Bro!

Ada yang udah bosen sama tulisan ini? Skip aja deh nggak apa-apa Yang di atas itu baru sehari-dua lho, masih ada tiga hari lagi. Haha...

Senin, it was a really me-time (atau lebih tepatnya, we-time) buat gue dan Iip. Bener-bener cuma untuk kita berdua, yang tidak bertujuan untuk menemui siapa-siapa, hanya berjalan-jalan berdua menikmati kota Jakarta. Saking private-nya tuh acara jalan-jalan, kita juga udah lupa itu hari apa, tanggal merah atau bukan, bahwa itu tanggal 1 Januari 2018 yang merupakan tahun baru dan masih tanggal merah, sehingga bukan hanya kita berdua yang pengin jalan-jalan.

Naik bajaj

Tadinya Iip mau memperkenalkan gue dengan transportasi bernama bemo, karena belum pernah terlintas di benak gue yang namanya bemo itu kayak apa. Tapi begitu kita keluar dari Stasiun Manggarai, nggak ada satu pun bemo yang kita lihat. Jadinya malah kita naik bajaj, menuju ke UI Salemba.

Kenapa UI Salemba? Enggak tahu juga. Haha... cuma pengin jalan-jalan aja kok.

Mencoba bajaj udah, habis itu agendanya naik bus wisata Jakarta. Bus yang tingkat itu, loh. Start-nya di Istiqlal. Nah, maka kita harus ke Juanda. Biar semua mode transportasi terjajal, untuk ke Juanda dipilihlah Trans Jakarta.

Nah, masalahnya, harus naik koridor yang mana? Kita googling dulu, padahal posisi udah di dalam halte. Itu pun nggak yakin, bus yang kita naiki bener atau enggak. Kita sih udah siap kalau harus nyasar-nyasar, tapi untungnya bener.

Antrean menuju bus tingkatnya ternyata penuh, Bro! Gue sama Iip udah nyaris pasrah menunggu bus kloter berikutnya, ketika petugas mengumumkan masih bisa sekian orang lagi naik. Gue dan Iip pun naik, dan ternyata... kuota ditambah itu karena kita dapetnya kursi plastik yang nggak ada sandarannya! Bayangin aja naik bus di tingkat dua, dikasih kursi plastik yang sangat portable untuk jatuh.

Ini beneran Istana Negara bukan, ya?
Disyukuri aja sih, toh gue masih bisa lihat Istana Negara, haha... walaupun saat itu kayaknya masih direnovasi. Pun objek-objek lain yang bisa difoto.

Sampai di Kota Tua, semua penumpang disuruh turun, dan yang mau lanjut jalan bisa nunggu di BNI 46. Tapi... mana kita tahu BNI 46 itu di mana? Gue sama Iip akhirnya malah cuma terbawa arus yang penuhnya masyaallah. Masih sempat beli kerak telur sama pecel (eh, apa sih namanya?).

Enggan mengantre yang lebih panjang lagi di BNI 46, gue dan Iip sepakat masuk ke stasiun aja, jalan-jalan ke Bogor.

Mungkin karena udah capek, dua malam terakhir nggak tidur nyenyak, gue sama Iip malah tidur aja sepanjang perjalanan. Herannya, nggak ada yang membangunkan kita berdua! Biasanya kalau ada anak muda yang tidur gitu kan pasti langsung dicolek dan diminta tempat duduknya kalau ada kalangan lain yang lebih membutuhkan, misalnya yang bawa anak, atau orang tua. Apalagi waktu itu kereta penuh sesak, belum lagi AC-nya kayaknya nggak berfungsi.

Apa tampang kita separah itu ya, sampai nggak ada yang berinisiatif bangunin?


Menyusuri Jejak Kampus Iip

Ternyata sumpeknya Kota Tua belum ada apa-apanya dibanding Stasiun Bogor. Udah kayak mau mudik lebaran aja.

Katanya, selain merupakan Kota Hujan, Bogor juga dikenal sebagai Kota Seribu Angkot. Bener juga sih. Dalam perjalanan ke IPB, kita naik angkot dua kali. Bukan karena jalurnya memotong, tapi karena emang rute angkot pertama berhenti di situ.

Iip membawa gue napak tilas masa kuliahnya di Darmaga (atau Dramaga? Atau Dermaga?), termasuk di kampus IPB. Dia bercerita di mana arah kosnya, jalan pintas menuju kampusnya, tempat-tempat yang biasa dipakai syuro...

Salah satu sudut kampus IPB

Tak dinyana, dia malah ketemu temen sekamarnya di sana, yang ternyata juga sedang jalan-jalan di kampus. Qadarullah ya, padahal kampus juga lagi sepi karena libur.

Menjelang maghrib, tur IPB diakhiri. Iip menemani gue berburu oleh-oleh di dekat kampus dan Stasiun Bogor sebelum kembali ke rumah.


Ditinggal Pacaran

Sebagai makan malam, bude gue menyuguhi sate padang. Gue dan Iip makan di lantai dua, tempat gue dan Iip bebas merdeka di sana, karena sekeluarga sodara gue mengosongkan area itu demi memberi keleluasaan buat tamunya.

Belum lama gue membuka bungkus sate, HP Iip berdering. Awalnya gue kira itu dari orang tuanya.

"Kamu denger suaranya nggak, Lil?" tanya Iip seraya menjauhkan corong bicara.

"Denger... eh, maksudnya denger suaramu, bukan yang di seberang sana," jawab gue.

Tahulah gue bahwa ternyata itu bukan ortunya, tapi suaminya. Dan hanya terpisahkan oleh sepiring-berdua sate padang, si Iip dengan santainya PACARAN DI DEPAN GUE VIA TELEPON!

Ilustrasi Iip (nggak ada foto sate padangnya)
Beruntung gue bukan orang yang baperan. Meski ada orang yang lagi ngobrol ngalor-ngidul sama misuanya di depan gue, gue tetep aja makan dengan tenang. Bahkan gue berhasil menghabiskan 5 tusuk sate sementara Iip cuma makan satu tusuk aja gak abis-abis. Udah gitu, ketika lontongnya ludes oleh kerakusan gue, dan gue masukkan nasi ke piring sebagai gantinya, Iip cuma menyendoki nasi dikit-dikit sembari ngobrol.

Dasar married couple jaman now!

Walaupun demikian, konsentrasi penuh gue pada sate padang yang saosnya menggoda itu nggak berhasil memblokir dialog yang terpampang jelas di depan gue, setidaknya bagiannya Iip (yang seberang tetep nggak kedengeran sama gue sih). Dia cerita tentang aktivitas seharian ini, termasuk saat naik kereta dari Jakarta ke Bogor.

"Keretanya kan penuh ya," gitu kurang lebih dialog Iip (maafkeun retelling yang tidak sesuai dengan kenyataan). "Untungnya kita dapet tempat ti..."

Selama sepersekian detik, gue mengerutkan dahi. Iip nggak lagi mau bilang, "Tempat tidur," kan?

"...dur," dia menyelesaikan kalimatnya.

Sedetik kemudian...

"Eh, tempat duduk, maksudnya!" buru-buru dia ralat ucapannya, sementara tawa gue menyusul semenit kemudian. Telat banget.

Mentang-mentang di kereta tidur, gitu, trus itu dianggep tempat tidur?

Apa begini rasanya, hari ketika anggota tubuh bisa bicara? Walaupun kita pengin ngomong A, tapi kalau yang kita lakukan di dunia adalah B, maka anggota tubuh itu otomatis ngomong B?


Berkah Mager

Keesokan harinya, hari Selasa, seperti rencana semula, gue sama Iip pergi sendiri-sendiri. Dia menemui temennya sendiri, gue juga ketemuan sama temen-temen gue sendiri. Cerita tentang petualangan gue satu hari ini di-skip aja ya, ntar insyaallah gue buat tulisan sendiri. Biarlah di tulisan ini gue cerita perjalanan yang bareng Iip.

Menurut tiket, kereta yang membawa gue dan Iip kembali ke Semarang dijadwalkan berangkat jam 2 siang. Penginnya, paginya diisi dengan melaksanakan rencana yang dari awal ditunda, yaitu nyobain KRL jurusan Tangerang. Kalau jadi, kita harus berangkat pagi-pagi banget, biar sampai di Stasiun Senen nggak telat.

Tapi, paginya kita bener-bener males gerak alias mager. Udah sampai jam 7 pagi, tapi masih di tempat tidur, walaupun udah mulai mainan HP. Capek banget, euy! Kita cuma bisa beberes dan mandi, trus sarapan sekitar jam 9 dalam kondisi udah siap berangkat. Berusaha nekat tetep nyobain kereta ke Tangerang, walaupun mungkin nggak sampai tujuan kalau waktu udah mepet.

Habis sarapan, lagi-lagi Iip sama magernya dengan gue. Kita cuma rebahan di kasur... ngelamun, main HP, nyeletuk nggak jelas... termasuk di antaranya...

"Kok pengin beli oleh-oleh lagi ya?" ungkapku iseng. Kalau dipikir-pikir, kayaknya oleh-oleh yang gue bawa emang terlalu dikit sih kalau mau dibagiin ke orang-orang.

"Yuk," tanggap Iip santai.

Dua detik baru berlalu, gue dan Iip langsung bangkit bebarengan sambil berseru, "Ayo!"

Maka mager itu membuahkan keputusan apa yang akan dilakukan sebelum ke Pasar Senen. Belanja oleh-oleh ke Bogor lagi!

Ya nggak jauh-jauh sih, masih di dalam stasiun Bogor. Tapi oleh-oleh yang mau gue gandakan (maksudnya, kemarin gue udah beli, tapi sekarang mau nambah lagi) udah habis stoknya. Dan yang tadinya gue cuma bawa satu kantong oleh-oleh, sekarang jadi bawa dua!

Rencana lagi buat ke Pasar Senen naik KRL sepenuhnya juga gagal total. Dari Bogor mungkin jam 11-an, pada akhirnya kita turun di Manggarai dan nyambung pakai kendaraan aspal. Alhamdulillah, jam 1 kurang udah masuk stasiun.

Pemandangan yang dilewati kereta dalam perjalanan pulang


Epilog

Berbeda dengan waktu berangkat, kereta pulang denahnya lebih sesuai dengan denah di pemesanan tiket. Nggak enaknya, kursi keretanya saling berhadapan, dan kebetulan di hadapan kita duduk dua laki-laki, jadi nggak bisa sebebas sebelumnya.

Ada banyak rencana yang udah disiapkan, cuma ke tempat UmmiL yang tepat jadwal. Sisanya... berantakan. Haha... Ada yang kesampaian walaupun beda waktu, ada yang udah direncanakan dalam "syuro" tapi gagal total, ada juga yang direncanakan dalam hitungan detik tapi malah kesampaian.

Dan yang nggak kesampaian termasuk... foto berdua!

2 comments:

Powered by Blogger.