Header Ads

Lilo and the Adventure with UDIN

Langit Jakarta sore hari

Kalau ditanya apa nggak enaknya kuliah yang nggak jauh dari rumah (atau sebaliknya, rumahnya nggak jauh dari tempat kuliah), gue pengin menjawab: ketika ditinggal mutasi. Sebagian besar temen-temen gue ketika udah lulus seringnya kembali ke daerah asal mereka, atau melanglang buana ke kota lain. Sedangkan gue, lulusnya emang lebih lama dari mereka, dan setelah lulus pun masih aja domisili di Semarang. Satu per satu temen gue pergi... trus tahu-tahu gue udah nggak kenal siapa-siapa di sini.

Untuk keep contact, gue sendiri tipe orang yang kalau nggak ada perlu, nggak bakal nge-chat. Kan nggak mungkin juga gue tau-tau chat salah satu dari mereka just to say, "Gue kangen, cuy!" Yaa... meskipun ke sesama cewek, sih. Paling sering sih bales-balesan komen di medsos, karena emang ada topic starter-nya.

Sebagian besar temen kampus yang deket sama gue berdomisili di Jakarta. Maka dari itu, kalau ada kesempatan ke Jakarta, gue juga pengin menyapa mereka satu per satu. Jarang ada kesempatan kayak gini, paling ketemunya satu-dua orang, itu pun cuma beberapa menit.

Kesempatan itu datang ketika Iip menetapkan waktu kita berdua bisa silaturrahim ke UmmiL di Jakarta. Iip tadinya mempersilakan gue pulang duluan usai mengunjungi UmmiL, soalnya dia juga mau mengunjungi temennya di Bogor. Tapi emangnya gue nggak pengin mengunjungi temen gue juga? Hehehe...

Akhirnya kita berdua sepakat, dalam 5 hari perjalanan, jadwalnya dibuat gini:

Hari 1: Perjalanan berangkat
Hari 2: Mengunjungi UmmiL
Hari 3: Jalan-jalan berdua
Hari 4: Agenda masing-masing
Hari 5: Perjalanan pulang

Buat selain hari 4 udah gue tulis di catatan sebelumnya, silakan dibuka kalau belum baca.

Salah perhitungan juga perjalanan gue yang bertepatan dengan liburan tahun baru, karena ternyata temen-temen gue yang bukan asli Jakarta juga mudik sendiri-sendiri. Belum lagi kenyataan bahwa jadwal individu gue adalah tanggal 2 Januari, yang secara umum merupakan hari pertama kerja setelah libur panjang. Jadi nggak banyak yang bisa gue temui di Jakarta.

In short, ada 4 temen yang gue hubungi secara intens demi pertemuan di hari itu: Ume, Devina, Inung, dan Naila, atau bisa disingkat dengan UDIN. Hahaha...

Ada juga sih beberapa temen lain yang berhasil chatting sama gue, cuma nggak berhasil ketemu. Kecuali Ela, yang akhirnya bisa ketemu beberapa saat aja.

* * *

Dari sekian banyak wacana untuk ketemu, selalu diakhiri dengan, "Nanti kabar-kabar aja ya." Padahal kalau bener-bener mau ada agenda kan harus jelas rundown-nya. Hari apa, jam berapa, di mana, termasuk kira-kira mau ngapain aja.

Baru sehari sebelumnya gue baru diskusi sama Devina, mau ketemuan di mana. Tadinya dia nanya gue, mau ke mana. Ya mana gue tau, kan, di Jakarta ada apa aja. Belum lagi kalau ternyata tempat yang gue pilih jauh dari tempat tinggal mereka... Ancol, misalnya. Eh, ternyata Devina sendiri yang nawarin itu.

"Udah pernah ke Monas, Ancol, atau Planetarium?" tanya dia.

Monas... entah kenapa gue kurang tertarik. Bener, gue belum pernah masuk ke dalamnya, dua kali ke sana cuma berkeliaran di lapangannya (dan dua-duanya buat aksi, hehe). Bisa jadi karena waktu di sana, gue udah puas motret Monas. Sedangkan Ancol... nampaknya butuh seharian buat menjelajah tempat itu, padahal sorenya udah janjian sama Inung. Akhirnya gue pilih Planetarium.


Trus gimana dengan Naila?

Pada saat gue berharap bisa ketemu sama boneka Doraemon-nya Naila, yang katanya ukurannya lebih gede dari gue, ternyata Naila sendiri juga sedang berkomplot sama Devina buat sama-sama ketemuan di Planetarium. Jadi gue koordinasi soal how to get there dengan dua orang sekaligus.

"Jadinya, mau ketemu di mana, jam berapa?" tanya gue ke Devina.

"Ngikut," jawab Devina.

"Lah, kan gue gak tau apa-apa di sini," jawab gue sambil memutar mata.

"Oh, iya," baru inget, dia. "Janjiannya di Planetarium-nya aja, ya."

"Heh, gue gak tau Planetarium di mana."

"Planetarium itu di Taman Ismail Marzuki, deketnya IKJ."

Mana pula, itu? Jakarta yang gue tahu cuma rentetan stasiun Jakarta Kota-Bogor doang. Naila juga nggak lebih clear dari Devina.

"Janjian di mana?" tulis Naila.

"Kamu lebih nyaman di mana?" tanya gue balik.

"Planetarium aja yuk."

Sama aja ini bocah!

"Gue gak ngerti itu sebelah mana," protes yang sama. "Kalo gw ilang gimana?"

Eh, malah ketawa dia. Dan bukannya ngasih solusi, dia malah mengalihkan isu. "Nonton Star Wars aja yuk, haha."

Ini apaan coba? Masa gue jauh-jauh ke Jakarta cuma nonton sama Naila?

Tapi untungnya segala ke-gaje-an itu berakhir dengan pengorbanan dari mereka. Yang tadinya mereka pengin naik Trans Jakarta sampai Planetarium biar lebih murah, mereka akhirnya bersedia nungguin gue (yang lagi-lagi telat dari perjanjian, aslinya jam 11 tapi baru sampai menjelang Dhuhur) di Stasiun Cikini. Dari situ baru naik transportasi online.

Dan pengetahuan umum gue kayaknya perlu diuji lagi deh. Walaupun sempet disebut Devina di chat-nya, gue sama sekali nggak ngeh kalau Planetarium ternyata ada di Taman Ismail Marzuki a.k.a. TIM. Pantesan aja di depan gerbang udah disambut sama logo dan maskot Asian Games 2018, karena awalnya gue bertanya-tanya, apa hubungannya coba antara Planetarium sama AG?

Logo Asian Games di depan TIM
Kedua guide gue (hihi), Naila dan Devina, katanya terakhir ke situ juga udah lama banget, jadi serasa kita bertiga bener-bener jadi turis di sini. Bahkan selain kita bertiga, ada juga beberapa rombongan anak-anak lagi studi wisata ke sana.

Sayangnya studionya lagi tutup, gagal deh nonton filmnya. Tapi kita bisa lihat-lihat objek lain di dalam, kebanyakan hiasan dinding tentang rasi bintang. Ada juga penjelasan tentang bumi, tata surya, bintang, dan benda langit lainnya. Kalau kaki lagi nggak gempor akibat aktivitas tiga hari sebelumnya, gue mungkin udah baca satu per satu keterangan yang ada.

Trus udah selesai menjelajahi pameran di Planetarium, kita bertiga bingung mau makan di mana. Dua kali menilai menu-menu yang ada di kantin TIM, nggak ada yang menarik minat.

"Di depan enggak ada penjual makanan, ya?"

"Dulunya sih banyak, tapi sekarang nggak lihat dari tadi."

"Trus ke mana? Mall?"

"Idih, anak mall nggak bisa makan ya, kalau nggak di mall?"

"Habisnya di sini nggak ada yang jualan di depan, gitu."

Itulah kurang lebih percakapan kita. Nggak inget siapa ngomong apa, atau bahkan kalimatnya kayak gitu. Hihihi.

Naila pun mulai browsing tempat makan yang dekat di situ, tapi menunya sama-sama nggak ada yang cocok. Soalnya ketemunya lagi-lagi mall.

"Ya udah, jalan aja yuk, ke depan. Siapa tahu ketemu yang enak."

Devina dan Naila lagi pesen makanan
Di depan, pedagang kaki lima yang ada jualnya cilok. Kita udah sedikit berdebat aja, mau naik Trans Jakarta atau apa, buat ke mana... Saat itulah, di seberang jalan searah itu, tampak ada warung. Kita nyeberang, tapi lagi-lagi nggak selera.

Fanthalaqaa. Eh, enggak ding, itu kan artinya, "Maka berjalanlah keduanya," padahal kita bertiga.

Baru beberapa meter, di seberang jalan tampak tulisan Warunk Upnormal. Karena udah laper (bayangin aja, itu hampir jam 2 siang dan belum makan!), kita akhirnya nyeberang jalan lagi dan makan di situ.

Di Upnormal, kita bertiga rada nyesel setelah pesanan datang. Apakah karena harganya mahal tapi porsinya kecil? Nope. Justru karena harganya sebanding dengan porsi: sama-sama gede. Nyeselnya karena tadi nggak pesen nasinya dua porsi aja, dan satunya buat snack atau sejenis salad. Malah kita bertiga pesen nasi masing-masing seporsi. Butuh perjuangan besar buat menghabiskan nasi-nasi itu.

Kita nongkrong di situ sampai ashar. Gue udah di-jama' sebelumnya, maka gue cuma nungguin Devina dan Naila shalat ashar.

Warunk Upnormal yang kita kunjungi itu kan letaknya di gedung Ibis Budget, ya. Ada kolam renangnya bagus juga, tapi musholanya beneran nyampil di basement. Nggak ada tempat yang lebih layak, apa, ya? Citra Land Semarang aja musholanya mewah. Untungnya di sini musholanya ber-AC.

Saat itu udah jam 4-an, dan gue mulai panik karena mau janjian sama Ume dulu habis ashar sebelum ketemuan sama Inung jam setengah lima. Naila dan Devina menyarankan gue naik transportasi online aja daripada naik kereta yang jalurnya muter-muter. Mereka sendiri begitu sampai depan pintu keluar langsung naik Trans Jakarta yang kebetulan berhenti di situ.

Nggak sempet say goodbye deh kita... Di sini aja ya pamitannya, hehe...

* * *

Ume adalah "menu wajib" (peace, Me!) buat ditemui kalau gue ke Jakarta. Mungkin karena pertama kali gue bener-bener mengunjungi Jakarta, dia yang jadi guide-nya.

Semalam sebelumnya, wacananya mau ketemuan pagi. Tapi berhubung gue lagi di jalan, dan kontak dengan tiga orang lain sekaligus, sementara Ume sendiri juga lagi sama-sama sibuknya, komunikasi sempat terputus. Paginya emang gue sengaja mengosongkan agenda, jaga-jaga kalau Ume kasih kabar lagi. Ternyata, kasih kabarnya pas gue udah menuju Stasiun Cikini paginya.

Sepanjang jalan-jalan di sekitar TIM, gue malahan chatting-an melulu sama Ume, nyari waktu ketemuan. Dapetnya setengah limaan sore, di Stasiun Sudirman. Itu pun karena kebetulan dia juga punya agenda tak jauh dari situ, jadi diharapkan bisa ngobrol-ngobrol singkat.

Sampai di Stasiun Sudirman, gue malah bingung sendiri. Ume masih di jalan, sementara Inung melaporkan dia udah sampai di Grand Indonesia (GI), tempat kita janjian. Gue sampai keluar-masuk stasiun, naik ke lantai dua cuma untuk turun lagi, masuk minimarket, nge-tap kartu bank gue buat ngecek saldo, dan masuk minimarket lagi.

Kereta Ume akhirnya masuk peron menjelang jam 5. Karena buru-buru, kita cuma sempet tukar kabar sebentar, sama Ume ngomporin aku buat kerja di Jakarta, dan membongkar agenda rahasia Ume.

"Tapi jangan ketawa ya," Ume mewanti-wanti sebelum membocorkan agenda "penting"-nya itu.

Emang apa coba, agendanya Ume yang bikin gue ketawa?

"Mau main ice skating," bebernya akhirya.

Duh, Me! Gue juga mau itu, sih. Haha... Coba bilang dari kemarin.

Gue dan Ume ngobrol terus sembari keluar dari stasiun dan memesan transportasi online buat gue ke GI. Bahkan gue udah naik di kendaraan, tapi masih nyambung obrolan sama Ume soal dia mau kondangan sama siapa tanggal 6 (temen kita ada yang mau nikah tanggal segitu, di area Jabodetabek). Obrolan baru berhenti ketika si driver menyela, "Ngobrolnya udah belum, Mbak?"

"Eh, iya, jalan aja nggak apa-apa," kata gue.

* * *

Jakarta, walaupun kalau dilihat di peta kayaknya deket, ternyata butuh perjuangan untuk mencapai satu tempat dari tempat lain. Nggak cuma karena macetnya, tapi juga transportasinya yang mubeng-mubeng. Kalau dilihat di Google Map, jarak antara tempat gue nginep sama tempat tinggal Inung nggak lebih jauh daripada kalau kita ketemu di GI. Tapi transport untuk ketemuan membuat Inung milih di daerah Sudirman aja. Tadinya sih gue usul sekitaran stasiun Manggarai, tapi kata dia nggak ada tempat asyik di sana.

"Di sekitar Sudirman sih ada Grand Indonesia, atau fX Sudirman," jelas Inung. "Aku pulang jam 4, jadi ketemunya bisa jam setengah 5," rencananya lagi.

Baik banget, dah, sampai ijin pulang kerja lebih awal. Harusnya dia pulang jam setengah lima. Soal tempat, sampai pagi masih belum diputuskan. Baru dipastikan waktu gue di-chat Iip pas lagi makan di Upnormal.

"Kalo kamu bisa beliin oleh-oleh buat budhemu lebih baik, Lil," pesen Iip. Tadinya kita emang berencana ngasih sesuatu buat budhe gue yang emang berbaik hati menyediakan tempat tinggal gue dan Iip selama di Jakarta. Iip, yang hari itu tujuannya ke selatan alias Bogor dan sekitarnya, yang bertugas beli oleh-oleh khas Bogor yang lebih bervariatif daripada makanan Jakarta. "Soalnya aku lagi menyelamatkan temenku."

Duh, kenapa lagi ini temennya Iip? Gue nggak berani nanya sih, apakah ini cuma dia yang mendramatisir. Takutnya kalo bener-bener mendesak.

Trus gue chat Inung, "Jadinya mana? Yang bisa beli makanan buat buah tangan deh. Roti-rotian... yang pantes buat dikasih ke orang tua, tapi cocok dimakan anak-anaknya."

"Roti-rotian? Di GI buanyak buanget sih, tapi ga tau, lupa juga ada apa aja," bales Inung.

Jadilah kita janjian di GI.

Tak lama kemudian, Iip chat lagi, "Aku jadi bisa beli oleh-oleh, Lil."

Gue sih bersyukur nggak jadi belanja oleh-oleh, soalnya bingung juga mau beli apa. Ternyata apa coba maksud Iip dengan "menyelamatkan" temennya? Yaitu ngajakin jalan-jalan temennya itu! Tuh kan, bener, dia pakai bahasa kiasan.

Bersyukur part 2, setidaknya gue dan Inung akhirnya memperoleh tempat buat meet up.

Jakarta sore hari. Little bit crowded.
Foto diambil dari GI.
Inung sendiri, sesuai janjinya, berangkat dari kantor jam 4. Beda sama gue, yang malah ngelayap dulu ke Stasiun Sudirman. Gue pun masih nungguin Ume di sana, ketika Inung menjelaskan tempat dia menunggu, "Di west mall, Arjuna lobby, ya."

Mana pula, itu?

"Ntar paling diturunin di tengah-tengah. Nah, kamu liat deh kiri kanan, ada lobby Arjuna sama ada Rama."

Ampun, dah! Moga-moga gue nggak nyasar.

Tapi ternyata cukup mudah begitu udah sampai tempatnya. Ada tulisan yang jelas sih. Yang agak ribet cuma adanya dua lapis pengamanan di sana, tempat kita kudu scan tas.

Inung sendiri udah muter-muter selama nungguin gue. Begitu ketemu, pertanyaan pertamanya adalah, "Nah, mau ke mana?"

Waduh! Gue masih ternganga sama kemegahan mall satu ini. Bener-bener dah, di Jakarta kali ini, gue menjumpai berbagai pemandangan. Mulai dari daerah kumuh sepanjang jalur kereta, rumah-rumah sempit nan berimpitan di dekat stasiun, sampai mall segede ini. Ketimpangan yang nyata.

Inung mengajak gue naik lift ke lantai... berapa ya? Pokoknya banyak restoran di sana. Lengkap dari masakan Indonesia, Malaysia, Asia Timur, sampai western juga ada. Inung sendiri menyilakan gue milih makanan yang mana. Karena bingung, akhirnya gue mutusin, mana yang halal aja dah, hehe...

Oke, mungkin kaidahnya memang segala sesuatu halal sampai ada hal yang mengharamkannya. Tapi buat gue, itu berlaku di tempat-tempat yang memang probabilitas kehalalannya cukup tinggi. Masakan Indonesia atau Malaysia, misalnya. Sedangkan untuk masakan Jepang atau Korea, gue kira potensi untuk pakai bahan yang tidak halal masih cukup tinggi. Jadi buat amannya, kalau di tempat kayak gini, ya cari yang ada logo halalnya.

Baru beberapa menit mutusin kayak gitu, kita berdua melewati restoran Italia yang pasang sertifikat dan komitmen halal di depan pintunya. Tanpa pikir panjang, gue langsung bilang ke Inung, "Ini aja deh ya." Soalnya kata Inung, kalau restoran Malaysia sih nggak jauh beda sama Indonesia, masa jauh-jauh ke sini cuma makan makanan Indonesia.

Karena no pict sama dengan hoax.
View-nya ke luar jendela bagus, sih. Kita emang sengaja milih dekat jendela, yang dari sana, gue bisa lihat keramaian Jakarta di sore hari.

Sedangkan makannya... akhirnya kita cuma pilih spaghetti. Sama aja sih ya? Haha. Habisnya gue pengin nyobain ravioli, tapi nggak nemu di menu. Padahal udah resto khas Italia di mall gede loh.

Begitu tiba saat pembayaran, Inung dan gue sama-sama ngeluarin kartu debit. Asik, dah, bawaannya gesekan, cuy! Yah, walaupun duit di tabungan cuma cukup buat bayar sekali makan ini, hihi.

Tapi kartunya Inung yang dipake bayar. Tadinya gue pengin iseng nanya ke mas-mas waiter-nya, "Kalau bayarnya pakai kartu sendiri-sendiri boleh, nggak?"

Tepok jidat.

Habis itu gue ribet melulu minta dia anterin ke ATM, tapi ATM bank gue ternyata letaknya di seberang mall. Begitu tahu kalau gue mau ambil duit itu buat bayar makanan tadi, dia nolak mentah-mentah.

"Enggak usah, itu tadi aku traktir," kilah Inung. "Besok aja kalau aku ke Semarang, gantian kamu deh."

Duh, makasih banget, Mah! Tapi kapan ya kamu ke Semarang?

Inung juga ngajakin gue ke Kinokuniya, toko buku yang letaknya di lower ground. Maafkan ke-ndeso-an gue, baru tau kalau ada yang namanya lower ground sebelum underground. Habisnya, nggak kerasa juga kalau udah terletak di bawah tanah. Di Hypermart-nya Paragon Semarang aja, udah kerasa gimana gitu karena letaknya udah di bawah tanah.

Kinokuniya ternyata semacam toko yang mengkhususkan menjual buku impor. Kalau gue bawa duit banyak, udah gue borong deh. Gue tertarik terutama sama buku Malory Towers versi bahasa Inggris, walaupun cuma ada 2 edisi: seri pertama dan bundel seri kesatu sampai tiga. Gue pengin banget beli yang bundel seri satu sampai tiga.

Lucunya, Malory Towers versi bundel itu, harganya nggak cukup kalau gue bayar murni pakai debit aja atau cash aja. Nggak mungkin kan, gue bayar buku separonya pakai debit, separonya cash? Padahal di debit, kurangnya cuma sepuluh ribuan!

Akhirnya gue merelakan hanya dengan beli buku seri pertama aja. Sedangkan Inung... cuma beli bolpen! Eh, tapi buat anak Planologi macam dia, bolpen jadi alat yang penting banget.

Kita berpisah sekitar waktu isya'. Inung milih naik transportasi online sampai kosnya (mantep, euy!), sedangkan gue kembali ke Stasiun Sudirman dan bergabung dengan arus manusia yang pulang kerja. Penuh sih, cuma ternyata nggak semacet dan nggak terlalu berdesak-desakan seperti bayangan gue. Lagian, kalau nggak kayak gini, nggak kerasa Jakarta-nya, kan?

* * *

Thanks, UDIN, for welcoming me in Jakarta. Walaupun padatnya Jakarta membuat gue malas kalau suruh tinggal di sana, keberadaan kalian mendendangkan lagunya Koes Plus dalam hati, "Ke Jakarta aku 'kan kembali..."

NB. Semoga kesampaian ya, buat upload khusus foto-foto selama di Jakarta.

No comments

Powered by Blogger.