Header Ads

Aku Masih Ingat... (Catatan Satu Tahun Aksi 212)

Sumber Gambar: Republika

Aku masih ingat bahwa saat itu ada kerinduan untuk menjadi bagian dari pertemuan akbar para pejuang di Jakarta. Merasakan langsung suasana bersama orang-orang se-Indonesia di pusatnya, bukan hanya bertemu orang-orang yang "sama" lagi dalam acara serupa di daerah. Adalah ibuku yang mendorongku berangkat, siap membiayai jika ada rombongan yang ikut berangkat. Ibu mana lagi yang akan menyuruh anaknya, yang sedang tertatih menyelesaikan skripsi, berangkat ke medan yang dikhawatirkan menjadi tempat syahid para pejuang?

Aku masih ingat bahwa aku sempat bimbang, sebab tak tahu siapa saja akhwat yang akan berangkat. Di tengah ancaman dari penguasa, tentu riskan bagi seorang wanita pergi sendirian. Tetapi Allah yang memberi solusi. Tepat di hari terakhir November, tersiar kabar bahwa akan ada rombongan akhwat yang berangkat. Meski sebagian calon rombongan membatalkan di menit-menit terakhir, meski sedikit kesulitan transportasi hingga memilih perjalanan estafet, ternyata justru karena rombongan kami hanya berempat, ada uluran bantuan untuk bisa naik kereta. Pagi hari tawaran tiket kereta itu datang, siangnya kami bisa berangkat.

Aku masih ingat ketika kami berempat berangkat pagi-pagi dari tempat singgah kami di Bekasi. Bersama tuan rumah, kami memesan mobil online yang menurunkan kami cukup jauh dari titik aksi. Maka kami masih harus berjalan untuk menuju ke Monas.

Jalanan yang penuh dengan massa, setertib yang dimungkinkan oleh kehadiran jutaan orang sekaligus.

Aku masih ingat ketika kami berjalan kaki, kami menjumpai banyak orang dengan berbagai style. Ada yang sederhana, ada yang haroki, ada yang nasionalis, bahkan ada ibu-ibu yang pakaiannya nampak glamour. Tetapi tujuan kami satu, maka kami juga saling menyapa seolah kami adalah saudara yang sudah terpisah selama bertahun-tahun. Ada nuansa ukhuwah yang berbeda. Kami semua berjalan seolah bukan sedang hendak menuju medan pertempuran, melainkan seperti sedang berbondong-bondong menuju tempat shalat 'Id. Saling mengucap salam, melantunkan shalawat, menyerukan takbir, membagikan makanan dan minuman gratis....

Aku masih ingat ketika mendekati Monas, ada petunjuk jalan untuk putra dan putri seperti sedang memasuki masjid nan luas. Dari pintu gerbang, kami diinstruksikan untuk menyimpan kamera, sebab tujuan kami di sini adalah untuk berzikir bukan bergaya. Di beberapa titik tersedia tempat untuk berwudhu, sementara semakin ke tengah Monas, sajadah dan karpet digelar sedemikian rupa membentuk shaf yang rapi. Begitu pula kami berlima, kami menggelar koran dan sajadah di shaf terakhir yang terisi, yang kemudian shaf tersebut disambung orang lain yang datang setelah kami, dan begitu seterusnya. Hingga kami tak tahu, seberapa panjang shaf yang telah terbentuk ini? Inikah aksi yang ditakuti penguasa zalim itu? Bahkan kami sendiri merasa sedang menunggu imam berdiri dan khathib memulai khutbahnya.

Jama'ah datang berduyun-duyun, bahkan aparat turut membawakan karpet untuk jama'ah.

Aku masih ingat perasaan damai tatkala mendengarkan orasi dari berbagai ulama dan asatidz di panggung sana. Bukan orasi, kukira, lebih tepat disebut taushiyah. Sebab untuk mengetuk pintu langit agar keadilan tegak, diri kamilah yang harus disucikan terlebih dahulu. Mungkin dosa salah satu dari kami yang menyebabkan fitnah di muka bumi ini. Kami justru menangis sesenggukan karena diingatkan, bahwa kehormatan Al Qur'an diinjak-injak karena mungkin kita sendiri yang lalai menyentuhnya. Kami tidak sedang menuntut penguasa untuk menghukum, tetapi menuntut diri kami sendiri yang semakin menjauh dari kitab suci yang mulia. Para ulama dan asatidz justru menggulirkan doa pengampunan, pengharapan akan negeri yang diridhai, bahkan permohonan hidayah bagi dia yang menyebut Al Qur'an sebagai alat kebohongan.

Aku masih ingat waktu-waktu hujan turun membasahi jama'ah. Cuaca secara umum berawan, menghalangi kami ber-sekian juta dari teriknya sinar matahari. Dan, masyaallah, gerimis pun turun ketika para ulama dan asatidz melantunkan doa-doanya. Sebuah kemalangan? Tentu tidak. Lupakah kau, bahwa saat hujan turun adalah saat terkabulnya doa? Hujan itu turun, benar-benar hanya saat kami berdoa. Bukan pada saat "orasi", atau taushiyah lainnya. Seolah langit ingin berpartisipasi mengaminkan doa kami, dengan mengulurkan waktu doa mustajab. Setelah doa selesai, gerimis ditarik kembali oleh awan, untuk kemudian diturunkan lagi menjelang shalat Jum'at, sehingga jama'ah tak perlu jauh-jauh mencari air wudhu. Hujan ini berkah.


Aku masih ingat betapa takjubnya aku ketika acara sudah ditutup. Jujur saja, aku sempat mengharapkan kejadian seperti Aksi 411, yang sedikit "seru" dengan adanya serangan secara fisik. Dan aku harus "kecewa", sebab Aksi 212 ternyata sedemikian damainya, hingga bahkan aku pun bingung, apakah ini benar-benar aksi? Ini bukan aksi, ini tabligh akbar! Saking akbarnya, tujuh juta orang yang menghadirinya. Kami bukan peserta aksi, kami adalah jama'ah zikir dan shalat Jum'at terbesar yang pernah ada di Indonesia.

Aku masih ingat, ketika kami bubar, sekelompok pemuda-pemudi berjalan berkeliling Monas, mengangkut sampah-sampah yang bahkan sudah dikumpulkan masing-masing kelompok massa dalam tas kresek. Jadi sampah-sampah itu tinggal dimasukkan dalam plastik besar. Memang sih, lapangan dan jalanan sedikit kotor, tapi itu lebih karena lumpur setelah hujan, bukan sampah dari jama'ah. Acara kami selesai sekitar jam satu atau setengah dua, tetapi ketika rombonganku kembali menyusuri Monas di waktu Ashar, lapangan sudah bersih seakan tak pernah ada ribuan orang yang mengisi tempat itu pada saat bersamaan.

Kondisi lapangan Monas pukul 15:18 WIB. Sudah bersih seperti sedia kala.

Aku masih ingat, hingga saat kami hendak pulang, kami tertahan massa yang melimpah di Stasiun Juanda. Sebagian besar laki-laki, yang mungkin menurut orang lain "sangar" versi Islam: baju panjang putih, dengan kopyah atau sorban. Tetapi dengar apa yang mereka teriakkan. Shalawat. Ternyata mereka sedang mengatur agar massa yang berjubel ini tertib, terutama memberi jalan untuk para perempuan. Setiap kali massa mulai penuh tak beraturan, pekikkan saja shalawat, dan mereka akan langsung menertibkan diri secara otomatis, sehingga orang-orang bisa lewat.

Inilah momentum persatuan umat Islam di Indonesia, yang mungkin berimbas pada dunia. Oleh sebab itu, siapapun, baik yang hadir di Monas, yang mengikuti di kota-kota lainnya pada saat yang sama, atau yang, qadarullah, membersamai melalui doa tanpa kehadiran fisiknya, merasa sebagai bagian dari jama'ah besar ini, dan menamai diri sebagai Alumni 212.

* * *

Aku masih ingat, aku membuka tulisan ini tak lama setelah pulang dari Jakarta. Tetapi ternyata butuh satu tahun penuh untuk menyelesaikannya, dan menceritakan kekagumanku pada Aksi 212. Kau harus hadir sendiri untuk merasakan getaran itu, yang diakui banyak orang sebagai miniatur bersatunya umat Islam saat haji atau umrah. 

Selama tak kaumaknai aksi sebagai demonstrasi, biarkan saja momentum itu disebut sebagai Aksi 212. Sebab "aksi" justru merupakan tindakan aktif untuk melakukan sesuatu, dalam hal ini adalah menyatukan umat Islam. Semoga saja, semangat persatuan dan persaudaraan itu tetap abadi, tak lagi ada gesekan antarharakah yang merasa paling benar, selama tujuan kita satu: menegakkan Islam yang rahmatan lil 'alamiin.

* * *

Maafkan aku yang tak bisa hadir dalam Reuni Alumni 212. Anggap saja tulisan ini sebagai pengganti kehadiran fisikku.

2 comments:

  1. "Kami justru menangis sesenggukan karena diingatkan, bahwa kehormatan Al Qur'an diinjak-injak karena mungkin kita sendiri yang lalai menyentuhnya. Kami tidak sedang menuntut penguasa untuk menghukum, tetapi menuntut diri kami sendiri yang semakin menjauh dari kitab suci yang mulia"

    jleb dan terharu bgt dikalimat itu lil :"(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu taujihnya Ust. Arifin Ilham waktu itu, mb. Lupa sih kalimatnya gmn, tapi intinya (dan yg tak rasain) kayak gitu. Emang ngejleb banget, nggak tahan buat nggak nangis pas dengernya...

      Delete

Powered by Blogger.