Header Ads

Fenomena Mahabharata

Sejak kecil aku menggemari cerita Mahabharata. Ibuku dulu sering mendongengkan versi Jawa-nya, lalu saat kelas 3 SD aku mulai membaca komiknya yang diilustrasikan oleh RA Kosasih dengan memadukan versi Jawa dan India (mungkin juga Sunda, tapi aku tak tahu pasti karena belum pernah tahu versi Sunda). Sebelum kehidupan SD tamat, aku menemukan versi filmnya yang diproduksi oleh BR Chopra. Waktu itu aku belum tahu kalau film itu diproduksi sejak 1988, dan aku belum pernah nonton 100% episodenya, tapi kupikir film itu cukup baik menggambarkan kisah Mahabharata menurut versi India yang aku hanya tahu sebagian mengenainya. Setelah itu, beberapa kali film versi BR Chopra ini diputar di satu-dua stasiun TV yang berbeda, tapi lagi-lagi aku hanya bisa nonton sebagian eposode. Agak sedikit asing rasanya, mengingat tak banyak orang di sekitarku yang menyukai kisah Mahabharata, bahkan meskipun cerita ini merupakan alur cerita dalam pewayangan yang sering masuk dalam pelajaran Bahasa Jawa. Rahasianya, sampai saat ini aku juga nggak terlalu bisa membedakan bentuk wayang kulit dari tokoh-tokoh wayang. Hehe...

Karena keinginan untuk nonton keseluruhan (atau sebagian besar) episode film Mahabharata, aku excited banget ketika awal Maret 2014 lalu ANTV mengiklankan akan segera menayangkan serial Mahabharata. Tapi excitement itu memudar ketika ternyata serial yang ditayangkan adalah versi baru, bukan versi BR Chopra. Terbiasa menonton versi BR Chopra yang cepat namun lengkap, versi baru yang di India ditayangkan oleh stasiun TV Starplus ini terkesan lambat, bertele-tele, tapi banyak alur yang dipotong. Sisi plusnya, visual effect-nya termasuk tinggi, dan (kalau bisa disebut kekebihan), pilihan cast-nya cukup rupawan, walaupun kerupawanan itu buatku justru cukup mengganggu jalannya cerita. Tapi justru kerupawanan itulah yang menarik minat adikku yang selama ini tak tertarik pada hal-hal berbau epos sejarah macam begini.

Ternyata bukan hanya adikku yang tiba-tiba menjadi tertarik dengan Mahabharata. Di sekelilingku mendadak bermunculan pembicaraan tentang Mahabharata versi Starplus. Tak hanya mereka, ternyata di luar sana pun orang-orang ramai ini, baik yang pro maupun kontra. Yang pro, mayoritas membicarakan para pemainnya yang cantik dan ganteng, yang akhirnya ANTV pun memanfaatkan momen ini untuk lebih meningkatkan ratingnya dengan mengundang para pemain ini ke Indonesia. Banyak juga yang berada di pihak tengah-tengah, menikmati serial ini sebagai bagian dari ketertarikan pada epos sejarah meskipun seringkali tidak puas dengan alur cerita modifikasi Starplus. Pada saat yang sama, kritik pun bermunculan terutama dari kalangan kaum Muslim yang kuat menjaga agamanya. Mayoritas yang kontra ini berpendapat tayangan Mahabharata merupakan misi "hinduisasi" di Indonesia, apalagi pada saat yang bersamaan muncul tayangan-tayangan lain seperti Mahadewa, Ramayana, dan Krishna (atau apalah judulnya).

Aku belum pernah menganalisis lebih dalam kenapa versi Starplus mendapat lebih banyak tentangan dibandingkan versi BR Chopra, tapi hanya bisa menduga-duga. Mungkin karena jaman dulu belum ada sosmed, atau karena media memang dibatasi pada masa itu. Tapi, salah satunya faktor yang menurutku cukup besar adalah, aku sepakat dengan argumentasi yang dibawakan oleh kalangan kontra, Mahabharata versi Starplus memang terlalu menonjolkan sisi ke-Hindu-annya, bahkan terlalu mencolok untuk ditayangkan pada negara yang mayoritas beragama Islam. Ditambah tayangan "pendukung" yang kusebutkan di atas, ditayangkan berentetan pada masa yang sama pula, rasanya kok terlalu "memaksakan" terhadap pemirsa yang mayoritas muslim. Memang, ada tayangan Jodha Akbar yang salah satu tokoh sentralnya juga muslim, tapi Jodha Akbar pun mendapat protes keras karena dinilai melenceng dari kisah Kerajaan Mughal yang sebenarnya.

Masih dalam konteks "propaganda" agama Hindu di negeri muslim terbesar di dunia, ke"tergila-gila"an para fans yang berlebihan ini pun menjadi salah satu faktor kesuksesan propaganda tersebut. Bagaimana seseorang yang telah cinta buta pada idolanya kemudian melupakan identitasnya. Cinta buta ini bisa dimanfaatkan untuk dengan mudah menggiring mereka pada propaganda lain di balik tayangan tersebut. Menggiring untuk mengagungkan kebijakan-kebijakan yang disampaikan, oleh tokoh Krishna secara khusus, sehingga melupakan bahwa ada sumber kebijakan lain yang seharusnya menjadi sumber rujukan dalam agama kita sendiri. Menggiring untuk mengidolakan tokoh seperti Drupadi yang bersuamikan 5 orang, lantas menganggap wajar pada poliandri dengan pembenarannya.

Meskipun memahami bahkan menyetujui alasan terhadap keresahan tersebut, aku pribadi menilai, berlebihan jika karenanya lantas melarang total tayangan Mahabharata. Para wali sendiri bahkan memanfaatkan cerita Mahabharata yang sudah dikenal di masyarakat pada masa itu sebagai sarana untuk menyebarkan Islam. Artinya, fenomena maraknya Mahabharata ini sebisa mungkin harus bisa kita manfaatkan untuk mensyiarkan nilai-nilai Islam. Kisah Mahabharata bisa dipakai sebagai sarana, sebagai media.

Sebagai penikmat cerita, baik novel atau kadang film, aku memperlakukan Mahabharata seperti ketika menikmati cerita lain yang berlatar agama lain, misalnya novel-novel Dan Brown, serial Kera Sakti: Journey to the West, bahkan Harry Potter. Semuanya memiliki kisah sendiri, dan berbagai jenis agama yang melatarbelakanginya kuanggap hanya sebagai "fakta" kultural bahwa masyarakat sekitar tempat terjadinya cerita tersebut beragama itu. Tak jarang pengisahan latar kultural itu menjadi bahan perbandingan untuk menilai suatu agama, apalagi ketika dari kalangan yang bersangkutan tidak ada tentangan terhadap penggambaran yang buku/film itu. Karenanya, menurutku umat Islam seharusnya tidak terlalu anti terhadap karya berlatar agama lain (selama tidak melecehkan umat Islam, tentunya), karena ada pelajaran yang bisa diambil dari sana. Tidak harus pelajaran dari kata-kata para tokohnya, tapi terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat luas, sehingga umat Islam tidak terlalu kuper dengan dunia luar dan dengan mudah dibodohi oleh kalangan sekuler dan liberal.

Tapi memang, untuk menikmati dan mengambil pelajaran dari cerita berlatar agama lain itu, harus punya dasar pemahaman yang kuat sehingga tidak mudah terombang-ambing di dalamnya. Seperti halnya ketika kita mempelajari agama lain, kita harus sudah memahami utuh terhadap agama sendiri. Dalam kasus serial Mahabharata, harus ada orang tua yang mendampingi saat anak-anak menontonnya, untuk menjelaskan pelajaran mana yang bisa diambil. Sebagai saringan, istilahnya. Dalam hal ini, bedakan antara cerita tentang suatu agama dengan cerita berlatar suatu agama.


***
NB. Semoga ada kesempatan untuk melanjutkan. :)

1 comment:

Powered by Blogger.