"Curhat" Pengguna Kendaraan Umum tentang Kenaikan Harga BBM
Well, sebenernya judul tulisan ini udah ada sejak sekitar dua minggu yang lalu. Tapi dari kemarin belum sempat nulis artikelnya gara-gara sibuk bikin laporan, hehe... Dan hari ini, ingin sedikit menumpahkan unek-unek soal harga BBM yang naiknya sampai dua ribu sendiri.
Presiden yang belum lagi satu purnama memimpin negeri ini mengumumkan "pengalihan subsidi" yang menyebabkan harga BBM bersubsidi naik Rp2.000,00. Sebagai bentuk penolakan, Organda menyerukan angkutan umum untuk mogok massal hari ini (19/11). Hasilnya, sebagai salah satu pelanggan kendaraan umum, saya dan adik-adik ikut kena getahnya. Adik-adik mau berangkat sekolah saja sepertinya harus naik ojek, soalnya cuma beberapa gelintir angkot yang lewat, itu pun penuh semua. Beberapa pelajar dan pekerja pabrik malah diangkut oleh kendaraan polisi yang mengantar mereka ke tempat tujuan. Mobil colt diesel yang biasanya saya tumpangi untuk ke terminal saat berangkat kuliah pun tak saya temui. Akhirnya saya merelakan membolos kuliah pagi ini (yang untungnya, dua mata kuliah kosong hari ini, hehehe). Alhamdulillah, masih ada sebiji-dua biji angkot yang mengantarkan saya ke shelter terdekat Trans Semarang, dan bus yang sering disebut BRT itu masih beroperasi dengan harga sama.
Sepanjang perjalanan, saya mendengarkan berbagai keluhan penumpang angkot maupun BRT tentang kenaikan harga BBM ini. Mengeluhkan aksi mogok operasi para sopir kendaraan umum terutama bus. Tapi menurut saya aksi mogok jalan ini tak sepenuhnya bisa disalahkan, mengingat kenaikan ini juga membawa dampak bagi mereka. Bagaimana tidak, kalau dengan naiknya harga BBM, tarif angkutan pun naik. Tarif angkutan naik juga membuat orang-orang berpikir ulang buat naik kendaraan umum, toh dengan kendaraan pribadi harganya sama saja, sampainya lebih cepat karena tak perlu ngetem segala macam.
Entahlah, saya tak habis pikir dengan kebijakan pemerintahan baru ini. Saya tahu, harga BBM memang harus naik, tapi ironis sekali ini harus terjadi ketika harga minyak dunia turun. Saya juga tak paham teori ekonomi segala macam, tapi pikiran praktis saya sebagai rakyat jelata, kalau harga BBM naik, harga kebutuhan ikut naik... lama-lama duit seribu pun buat beli permen nggak cukup! Padahal jaman saya SMP, duit segitu udah bisa buat beli kerupuk putih yang gede 10 biji!
Omong kosong kalau Presiden bilang harga kebutuhan pokok tak perlu naik lantaran harga BBM naik, karena kenaikan harga untuk semua kendaraan dipukul sama. Kalau memang tak ingin menaikkan harga kebutuhan pokok, seharusnya pencabutan subsidi ini hanya berlaku bagi kalangan menengah ke atas. Bagaimana cara tahunya? Sederhananya, subsidi BBM hanya untuk kendaraan umum (plat kuning) dan motor, mengingat pengguna mayoritasnyanya kalangan menengah ke bawah. Sedangkan subsidi untuk mobil plat hitam dan merah dicabut, bahkan kalau perlu mobil pribadi ini dikenakan pajak yang lebih tinggi, karena sebagian besar orang yang punya mobil berasal dari kalangan menengah ke atas. Efeknya pun tak hanya berhenti pada harga kebutuhan pokok; lebih lanjutnya, banyak masyarakat akan memilih kendaraan umum sehingga dapat mengurangi kemacetan dan polusi.
Saya menyimak perbincangan dalam Indonesia Lawak Klub (ILK) semalam. Ketika ditampilkan meme yang menunjukkan "gaya hidup hedon" masyarakat, meme itu dengan mudah dibantah, memangnya yang merasakan penderitaan atas kenaikan harga BBM itu mereka yang mobilnya 100 juta, HP-nya 8 juta, beli kopi 50 ribu di kafe, dan datengin hotel yang semalemnya 400ribu? Belum lagi ketika diminta untuk memikirkan kepentingan negara... hei, jangankan mikirin negara, mikirin besok makan apa juga sudah susah!
Presiden juga mengeluarkan "Trisakti" alias tiga kartu sakti, katanya sebagai kompensasi atas kenaikan harga BBM, tapi apa gunanya kalau mau makan saja masyarakat kesulitan? Apa gunanya Kartu Indonesia Pintar? Jangankan mau pintar, mau makan aja susah! Pelajaran ekonomi anak SD juga menyebutkan kebutuhan pokok manusia itu sandang, pangan, dan papan, bukan pendidikan! Sementara Kartu Indonesia Sehat, mungkin sebentar lagi akan banyak digunakan, ketika pemegang KIS ramai-ramai berobat dengan keluhan sakit perut karena tiga hari tidak makan!
Masih ada yang bilang, rokok mahal nggak ada yang protes, harga BBM naik pada koar-koar? Duh, harga rokok kan nggak mempengaruhi harga sembako... Dan lagi, kalau perlu harga rokok naik setinggi-tingginya, biar nggak banyak orang yang merokok. Keberadaan rokok justru lebih buruk daripada ketiadaan rokok, soalnya yang kena ruginya justru orang yang nggak merokok!
Dan efek lain kenaikan BBM ini, banyak orang tiba-tiba jadi bijak dengan mengajarkan untuk berpikir positif, banyak bersyukur, dan mengambil hikmahnya. Ya, saya bersyukur saya masih numpang hidup sama orang tua, yang insya Allah juga masih mampu beli pertamax buat motornya. Tapi gimana sama mereka yang tidak "seberuntung" saya?
"Orang-orang pintar" itu menyuruh masyarakat agar tidak memikirkan diri sendiri dan ikut memikirkan negara, tapi apakah mereka juga tidak memikirkan diri sendiri dan memikirkan nasib masyarakat kecil?
Presiden yang belum lagi satu purnama memimpin negeri ini mengumumkan "pengalihan subsidi" yang menyebabkan harga BBM bersubsidi naik Rp2.000,00. Sebagai bentuk penolakan, Organda menyerukan angkutan umum untuk mogok massal hari ini (19/11). Hasilnya, sebagai salah satu pelanggan kendaraan umum, saya dan adik-adik ikut kena getahnya. Adik-adik mau berangkat sekolah saja sepertinya harus naik ojek, soalnya cuma beberapa gelintir angkot yang lewat, itu pun penuh semua. Beberapa pelajar dan pekerja pabrik malah diangkut oleh kendaraan polisi yang mengantar mereka ke tempat tujuan. Mobil colt diesel yang biasanya saya tumpangi untuk ke terminal saat berangkat kuliah pun tak saya temui. Akhirnya saya merelakan membolos kuliah pagi ini (yang untungnya, dua mata kuliah kosong hari ini, hehehe). Alhamdulillah, masih ada sebiji-dua biji angkot yang mengantarkan saya ke shelter terdekat Trans Semarang, dan bus yang sering disebut BRT itu masih beroperasi dengan harga sama.
Sepanjang perjalanan, saya mendengarkan berbagai keluhan penumpang angkot maupun BRT tentang kenaikan harga BBM ini. Mengeluhkan aksi mogok operasi para sopir kendaraan umum terutama bus. Tapi menurut saya aksi mogok jalan ini tak sepenuhnya bisa disalahkan, mengingat kenaikan ini juga membawa dampak bagi mereka. Bagaimana tidak, kalau dengan naiknya harga BBM, tarif angkutan pun naik. Tarif angkutan naik juga membuat orang-orang berpikir ulang buat naik kendaraan umum, toh dengan kendaraan pribadi harganya sama saja, sampainya lebih cepat karena tak perlu ngetem segala macam.
Entahlah, saya tak habis pikir dengan kebijakan pemerintahan baru ini. Saya tahu, harga BBM memang harus naik, tapi ironis sekali ini harus terjadi ketika harga minyak dunia turun. Saya juga tak paham teori ekonomi segala macam, tapi pikiran praktis saya sebagai rakyat jelata, kalau harga BBM naik, harga kebutuhan ikut naik... lama-lama duit seribu pun buat beli permen nggak cukup! Padahal jaman saya SMP, duit segitu udah bisa buat beli kerupuk putih yang gede 10 biji!
Omong kosong kalau Presiden bilang harga kebutuhan pokok tak perlu naik lantaran harga BBM naik, karena kenaikan harga untuk semua kendaraan dipukul sama. Kalau memang tak ingin menaikkan harga kebutuhan pokok, seharusnya pencabutan subsidi ini hanya berlaku bagi kalangan menengah ke atas. Bagaimana cara tahunya? Sederhananya, subsidi BBM hanya untuk kendaraan umum (plat kuning) dan motor, mengingat pengguna mayoritasnyanya kalangan menengah ke bawah. Sedangkan subsidi untuk mobil plat hitam dan merah dicabut, bahkan kalau perlu mobil pribadi ini dikenakan pajak yang lebih tinggi, karena sebagian besar orang yang punya mobil berasal dari kalangan menengah ke atas. Efeknya pun tak hanya berhenti pada harga kebutuhan pokok; lebih lanjutnya, banyak masyarakat akan memilih kendaraan umum sehingga dapat mengurangi kemacetan dan polusi.
Saya menyimak perbincangan dalam Indonesia Lawak Klub (ILK) semalam. Ketika ditampilkan meme yang menunjukkan "gaya hidup hedon" masyarakat, meme itu dengan mudah dibantah, memangnya yang merasakan penderitaan atas kenaikan harga BBM itu mereka yang mobilnya 100 juta, HP-nya 8 juta, beli kopi 50 ribu di kafe, dan datengin hotel yang semalemnya 400ribu? Belum lagi ketika diminta untuk memikirkan kepentingan negara... hei, jangankan mikirin negara, mikirin besok makan apa juga sudah susah!
Presiden juga mengeluarkan "Trisakti" alias tiga kartu sakti, katanya sebagai kompensasi atas kenaikan harga BBM, tapi apa gunanya kalau mau makan saja masyarakat kesulitan? Apa gunanya Kartu Indonesia Pintar? Jangankan mau pintar, mau makan aja susah! Pelajaran ekonomi anak SD juga menyebutkan kebutuhan pokok manusia itu sandang, pangan, dan papan, bukan pendidikan! Sementara Kartu Indonesia Sehat, mungkin sebentar lagi akan banyak digunakan, ketika pemegang KIS ramai-ramai berobat dengan keluhan sakit perut karena tiga hari tidak makan!
Masih ada yang bilang, rokok mahal nggak ada yang protes, harga BBM naik pada koar-koar? Duh, harga rokok kan nggak mempengaruhi harga sembako... Dan lagi, kalau perlu harga rokok naik setinggi-tingginya, biar nggak banyak orang yang merokok. Keberadaan rokok justru lebih buruk daripada ketiadaan rokok, soalnya yang kena ruginya justru orang yang nggak merokok!
Dan efek lain kenaikan BBM ini, banyak orang tiba-tiba jadi bijak dengan mengajarkan untuk berpikir positif, banyak bersyukur, dan mengambil hikmahnya. Ya, saya bersyukur saya masih numpang hidup sama orang tua, yang insya Allah juga masih mampu beli pertamax buat motornya. Tapi gimana sama mereka yang tidak "seberuntung" saya?
"Orang-orang pintar" itu menyuruh masyarakat agar tidak memikirkan diri sendiri dan ikut memikirkan negara, tapi apakah mereka juga tidak memikirkan diri sendiri dan memikirkan nasib masyarakat kecil?
No comments