Header Ads

Hijab Itu...

Mungkin begini ya kalau pada syuro di balik hijab...?
Masih segar dalam ingatanku, apa yang terjadi pada syuro rutin Rabu lalu. Seorang peserta syuro mengungkapkan pendapat orang lain di luar syuro, bahwa syuro rutin itu dinilai terlalu banyak bercanda. Langsung saja beberapa personal menyanggah, mengatakan bahwa dalam kondisi tertentu, bercanda sangat diperlukan untuk mencairkan suasana, tapi tetap harus menjaga batasan.

Meski biasanya aku cerewet soal komentar orang lain, aku diam saja. Selain karena memang lagi tidak enak badan, aku masih merenungkan penilaian orang lain itu. Yah, memang sih, cukup banyak syuro yang kuikuti, dengan personil yang itu-itu juga, yang di dalamnya ada cukup banyak canda dan tawa. Tapi salahkah itu?

Aku jadi teringat dua kisah bersama seorang akhwat senior. Kisah pertama, waktu itu kami bertemu di maskam. Saat ditanya ada agenda apa, aku menjawab sambil cengar-cengir, "Syuro, Mbak." Akhwat itu tersenyum sambil memberi taujih, "Kalau syuro, tetap dijaga adabnya ya... Jangan-jangan agenda kita tidak berjalan dengan baik justru karena saat syuro terlalu banyak bercanda."

Plak! Pipi kananku tertampar.

Kisah kedua, dalam sebuah majelis, akhwat tersebut mengatakan, "Kader jaman sekarang itu sepertinya terlalu cair antara ikhwan dan akhwat. Kalau jaman dulu konsisten menggunakan 'ana-antum' sebagai kata ganti, sekarang nggak sedikit yang pakai 'lu-gue'. Bercandaan dengan ikhwan juga udah jadi hal biasa, meski kadang kelewat batas."

Plak! Kali ini pipi kiri yang tertampar.

Seolah belum cukup, dalam majelis halaqah terakhir, lagi-lagi aku mendapat sindiran itu. Di fakultas yang adem-ayem kayak MIPA (sekarang FSM) mungkin bisa lebih kalem (walaupun langsung dibantah sama anak FSM sendiri, hehe), sedangkan Teknik biasanya lebih heboh kalau menyanggah.

Kali ini bukan cuma tamparan yang kurasakan, tapi tonjokan tepat di wajah!

Semua teguran itu membuatku berpikir... seekstrim itukah pergaulan kami selama ini?

Memang sih, kalau melihat ikhwah senior, sepertinya mereka terjaga sekali antara ikhwan dan akhwat. Dalam syuro apa pun, ketidaksetujuan pun diungkapkan dengan bahasa yang ahsan. Adanya canda di dalamnya tak mengurangi keseriusan pembahasan.

Aku jadi ingin tahu, bagaimana syuro mereka ketika masih seusia kami? Apakah sejak dulu mereka memang sudah terjaga, yang menjadi kebiasaan? Jika begitu, tentunya penurunan ghirah telah terjadi pada kader setelahnya. Ataukah, masa lalu mereka juga seperti kami? Jika ini yang terjadi, tentunya banyak canda ini hanya karena usia, toh nanti saat kami lebih dewasa akan bisa lebih serius. Tapi sepertinya, bertambah tua pun kami masih menunjukkan sikap yang sama!

Ada kisah lain lagi yang ingin kubagikan... Ini terjadi bertahun yang lalu, saat aku SMA. Waktu itu sedang agenda mabit, dan aku terkesan dengan dua akhwat senior yang mendampingi. Ketika saling memanggil, keduanya menggunakan sapaan, "Ukh, bla bla bla..."

Aku dan seorang kawanku hanya terpana, saling mengungkapkan tanya, "Kapan ya kita bisa saling manggil seperti itu?"

Kupikir saat aku memasuki dunia kampus, aku akan bisa memanggil saudaraku dengan sapaan itu. Tapi ternyata sama saja! Yah, nggak masalah sih kalau sesama akhwat, cuma kesannya lebih bagus kalau memanggil dengan sapaan itu (tentu saja untuk yang seusia atau lebih muda).

Nah, kalau dulu aku melihat bahwa sangat tabu bagi akhwat memanggil ikhwan yang lebih tua dengan sapaan "Mas", "Kak", dan semacamnya, sekarang nampaknya biasa saja. Sebaliknya, ikhwan yang manggil adik kelasnya dengan "Dik", sepertinya juga tak sedikit. Padahal, dulu akhwat lebih nyaman memanggil ikhwan dengan "Akh" atau "Pak", dan ikhwan lebih suka memanggil akhwat dengan "Ukh" atau "Mbak", baik kepada yang lebih tua maupun lebih muda.

Ah, lagi-lagi aku bimbang. Semuanya beralasan, hanya agar bisa lebih lancar saja komunikasinya, agar tidak terlalu kaku... Tapi apakah demi alasan kelancaran komunikasi dan koordinasi, harus dengan tindakan secair itu? Kelihatannya memang ada hijab di antara "pasangan" jenis itu, tapi apakah hijab itu sekarang sudah transparan, sehingga percuma saja dihijabi?

Masya Allah... Jujur, aku sendiri sebetulnya masih sangat cair terhadap ikhwan (pernah juga nih ditegur ikhwan tentang ini dalam suatu syuro)... Mungkin karena di Teknik juga, jadi rasanya sudah biasa ketemu ikhwan. Justru aku takut, kalau terlalu jaim, malah bisa merusak hatiku... Mungkin (lagi), aku lebih nyaman jadi akhwat galak dan "sadis", untuk minimalisasi kecairan yang terjadi... Tapi entahlah, mungkin itu salah...

Yah, aku sungguh berharap... Kita saling mengingatkan, ya, Saudaraku... Agar tidak tersindir oleh Ash-Shaf ayat 2-3...

Astaghfirullah...

No comments

Powered by Blogger.