Header Ads

Nyontek Pas Ulangan Agama, Kualat Lho! (My "Nyontek" Experience)

"Dik, udah belajar, belum?" tanya Hanan.

"Belum," jawab Andika, yang baru saja melangkahi ambang pintu kelas, sedikit terkejut. 

"Emang hari ini ada ulangan apa?"

"Agama. Masa kamu nggak tahu?" tukas Dimas. "Bu Wiwin kan udah bilang sejak dua minggu yang lalu."

"Justru kasih tahunya dua minggu sebelumnya, aku udah lupa," sahut Andika nyengir. "Bu Wiwin juga lucu. Ulangan itu mbok ya kasih tahunya jangan lama-lama banget, keburu siswanya lupa."

Dimas heran juga melihat ketenangan Andika. "Tumben, nggak panik gitu. Biasanya kamu langsung buru-buru scanning materinya sebelum bikin contekan."

"Agama kan masih habis istirahat nanti," Andika menyahut. "Masih ada waktu, lah, buat belajar dikit. Lagian, ada kamu, Nan."

Hanan melotot. "Gue juga belum belajar, tau!"

"Tanya aja sama anak X-3," kata Okik. "Mereka baru ulangan kemarin, pasti masih ingat soal-soalnya."

Frandi, yang sejak tadi cuma diam di dekat mereka, nimbrung, "Eh, ulangan Agama kok nyontek. Kualat, ntar!"

Hanan, Dimas, Andika, dan Okik cuma nyengir. Tak tampak sedikit pun rasa bersalah di wajah mereka, namun entah di hatinya.

* * *

Mala, anak X-3 yang keempat anak itu cegat di depan pintu kelasnya begitu bel istirahat berbunyi, berkata singkat, "Soalnya uraian."

Empat sekawan (kalau lima berarti gangsal, dong) itu lantas memberondong Mala dengan berbagai pertanyaan lanjutan. Kata Mala, di bawah bombardir Okik, soalnya sepuluh, uraian semua, dan semuanya ada di buku. Nggak ada soal penalaran.

"Tengkyu, Mal," seru Hanan, mengikuti ketiga temannya yang sudah kabur duluan, lupa berterima kasih pada Mala. "Oi, tunggu aku..." serunya pada yang lain.

Teman-temannya tak ada yang menyahut. Istirahat tinggal berapa menit, harus siap-siap belajar, nih. Paling nggak, ngapalin letak-letak materi di buku. Waduh, kok ternyata materinya banyak banget, ya?

"Ntar jangan pelit-pelit, ya," bisik Andika. Bu Wiwin sudah memasuki kelas membawa setumpuk paket soal.

"Beres," balas Dimas, juga sambil berbisik.

"Taruh aja tuh buku di laci," saran Okik pelan. "Untungnya posisi kita strategis banget buat nyontek. Nggak di depan banget, apalagi di belakang. Tengah-tengah, lah. Kalo di belakang, bisa-bisa yang ngawasin ngincer anak belakang."

Ketika semua anak sudah siap dengan kertas di meja masing-masing, Bu Wiwin membagikan soal. Dengan perintah, jangan dikerjakan sebelum dipersilakan. Usai membagi soal, Bu Wiwin berkata, "Jangan lupa tulis identitas kalian di sudut kiri. Oya, di baris pertama lembar jawab kalian, tuliskan 'Bismillahirrahmanirrahiim'." Sambil mengucapkan, Bu Wiwin menuliskan kalimat basmalah itu di papan tulis.

Ulangan pun mulai. Dan tak disangka, Bu Wiwin hanya duduk diam di kursi guru selama mengawasi. Lebih menguntungkan lagi, Bu Wiwin tidak memandang ke arah para murid, melainkan asyik mengoreksi pekerjaan kelas lain.

Tentu saja, banyak siswa langsung beraksi. Soal uraian tidak menghalangi "kinerja" mereka dalam mencontek. Tak sedikit yang membuka buku yang sengaja disembunyikan di laci. Bisik-bisik nyaris tanpa suara segera memenuhi ruangan.

"Nomor 3!"

"Sst... ambilin kertasnya, dong!"

"Yang ada mad jaiz munfashil di halaman berapa?"

"Ya meneketehe, mana aku ngapalin halamannya. Cari aja sendiri di buku."

"Kerjakan sendiri-sendiri, ya," sela suara Bu Wiwin.

"Iya, Bu," sahut beberapa anak keras. Yang lain tidak menanggapi, hanya terdiam sejenak sebelum kembali beraksi.

"Terjemahannya surat Adz-Dzariyat ayat 56, dong."

"Yang ketemu ba' al qamariyah apa asy syamsiyah?"

Hanya tiga anak yang tampaknya hanya fokus pada lembar soal dan jawaban yang ada di depannya: Nayla, Anna, dan Meika. Ketiganya berusaha mengabaikan suara-suara yang berseliweran di sekitarnya, meski kening Nayla sedikit berkerut.

* * *

"Hore, dapat 8!" seru Dimas riang.

Hasil ulangan Agama mereka sudah dibagikan. Nilai tertinggi diraih Anna: 9,5. Berikutnya Frandi, yang dapat 8,75.

"Kamu dapat berapa, Dik," tanya Meika.

"Cuma 8," jawab Andika pelan.

Meika mendengus. "Delapan tapi bukan hasil kerja sendiri, percuma."

Andika tidak menjawab, sebab Bu Wiwin sudah memberi aba-aba untuk diam.

"Ulangan kemarin, nilainya cukup baik semuanya," Bu Wiwin memulai. "Sayangnya, Ibu meragukan, apakah kalian pantas mendapat nilai itu. Meski mata Ibu tidak terfokus pada kalian, Ibu masih punya telinga yang mendengar bisik-bisik, dan suara kertas dilempar."

Seisi kelas tak ada yang bersuara. Mungkin suasana ini baru pantas saat ulangan.

"Tapi itu bukan masalah. Toh, seandainya Ibu tidak menjaga kelas ini sekalipun, kalian punya tanggungan terhadap Allah. Kejujuran adalah satu-satunya hal yang Rasulullah sampaikan ketika ada seorang yang ingin masuk Islam tapi tidak mau shalat atau beribadah lainnya. Dengan harapan, ketika ditanya apakah sebagai seorang muslim ia melaksanakan shalat, ia akan malu sendiri.

"Ketika kalian berbuat curang, ingatlah bahwa Allah Maha Melihat. Lagipula, di atas pekerjaan kalian, kalian sendiri telah menuliskan kalimat basmalah itu. Setiap kebaikan yang diawali basmalah akan berlipat pahalanya. Begitu pula setiap keburukan yang diawali basmalah, akan berlipat pula dosanya."

Andika tersentak demi mendengar kalimat terakhir Bu Wiwin. Basmalah? Matanya beralih dari menatap Bu Wiwin ke kertas ulangan di depannya.

Sebandel-bandelnya Andika, dia tahu bahwa jika melakukan suatu keburukan saja sudah dosa, apalagi ditambah mengucapkan basmalah sebelumnya. Ya Allah, kenapa dia sampai lupa kalau di atas kertas itu ada tulisan basmalah?

Andika merinding. Buru-buru beristighfar.

Di telinganya terngiang kata-kata Frandi, "Eh, ulangan Agama kok nyontek. Kualat, ntar!" Andika tahu persis bahwa Frandi hanya bercanda, soalnya dia sendiri juga nyontek kemarin. Tapi tak dinyana, kalimat itu benar-benar terjadi.

Tiba-tiba, Andika merasa dia harus bertekad, untuk ke depannya, no cheating anymore. Tidak hanya Agama, tapi semua mapel lain. Dia yakin, "kualat"-nya kali ini bukan hanya karena ini ulangan Agama. Ini kebetulan semata. Di pelajaran-pelajaran lain pun dia bisa saja menyadari dengan cara lain, yang hanya Allah yang tahu.

Kalimat Bu Wiwin berikutnya menyuarakan pikiran Andika, "Orang tua kalian pasti akan lebih bangga jika kalian bekerja sendiri meski nilainya tidak setinggi yang diharapkan, daripada nilai kalian sempurna tapi bukan hasil kerja kalian sendiri..."

No comments

Powered by Blogger.