Header Ads

Kisah Kasih di Sekolah (Bukan Sebuah Lagu)


Cerita ini bukan sekadar fiksi belaka, apabila ada kesamaan nama, karakter, dan cerita, itu memang disengaja.

(^_^) (^_^) (^_^)


Program tahunan sekolah untuk kelas X adalah pementasan drama. Setiap kelas dibagi menjadi beberapa kelompok yang tampil di kelas untuk dipilih kelompok terbaik yang mewakili kelas dalam pementasan drama di depan seluruh siswa kelas X. Tahun-tahun sebelumnya, acara dilaksanakan di aula sekolah, tetapi tahun ini pengurus OSIS sebagai penyelenggara berinisiatif memindahkan panggung ke Bantir.

Kelompokku terpilih mewakili kelas. Aku jadi pemeran setengah utama (?) sebagai ibu dari 5 orang anak yang "bersuamikan" Andika. Entah dianya emang punya bakat terpendam sebagai aktor atau gimana, dia menghayati sekali peran sebagai suamiku. Cuma aku saja yang kadang risih dengan perhatiannya, walaupun aku tahu itu hanya akting.

Bahkan sampai sesudah drama kami tampil, temen-temen, terutama yang sekelompok denganku, meledek. Seperti, "Anna, dicariin suamimu, tuh."

"Suami apaan," ujarku tertawa. Tapi entah kenapa, ada sedikit getaran dalam hatiku. Masih berfrekuensi di ambang 20 Hz, sehingga dengan mudah kunetralkan.

Tapi kemudian terjadilah sebuah peristiwa yang cukup meningkatkan kekuatan getaran itu. Keesokan harinya, ayahku mengingatkanku untuk pulang lebih awal, sebab setelah Dhuhur nanti keluargaku akan berangkat ke Jepara, menghadiri pernikahan sepupuku. Ijin dari guru sudah aku dapatkan, ayahku kemarin sudah mengirimkan surat permohonan ijin. Masalah yang ada, tidak ada yang mengantarku ke terminal Sumowono. Ojek nggak lewat, jalan kaki... dengan bawaan seberat ini? Yang bener aja.

Siswa dilarang membawa kendaraan pribadi, kecuali OSIS sebagai panitia. Aku mencoba minta tolong pada seorang temanku untuk pinjam kendaraan anak OSIS dan mengantarku. Ndilalah, sama guru nggak diijinkan. "Peserta nggak boleh meninggalkan lokasi kecuali ada ijin dari orang tua."

"Lha saya ke terminalnya gimana, Bu?" protesku.
"Ya minta tolong sama anak OSIS aja," jawab Ibu Guru cuek.
Yah, nih guru. Anak OSIS yang putri mana ada yang bisa naik motor? Yang putra sih banyak. Tapi...
"Dika," panggil Ibu Guru pada Andika yang kebetulan ada di dekatnya. "Tolong antarkan Anna ke terminal Sumowono." Andika juga anak OSIS.
"Ya, Bu," jawab Andika. Lalu menoleh padaku, "Yuk."

Terpaksa, deh. Ngapa juga bukan Ibu Guru yang nganter aku? Di belakang Andika, aku ngotot menaruh tasku di belakang punggungnya. Teman sekelompokku kumat hebohnya. Terutama yang dalam drama berperan sebagai anakku, "Deu... Ayah-Bunda nih, yee..."

Stop being a catalyst!

Malamnya, ketika aku di Jepara, masuk SMS dari Andika. "Selamat, ya, drama kita jadi drama terbaik. Semoga menjadi kenangan terindah, meski semester depan kita belum tentu sekelas."

Bermula dari SMS itu, obrolan kami berlangsung lama sekali. Sampai aku ditegur Ibu, "Sst, ikut bantu-bantu, dong, jangan SMS-an melulu."

Obrolan itu hanya awal keakraban kami. Sebelumnya, kami nyaris nggak pernah ngobrol, kecuali urusan kelas, itu pun jarang sekali. Memang sih, aku dan Andika sama-sama pengurus Rohis, tapi Andika tidak terlalu aktif. Dia justru lebih aktif di OSIS.

Sekarang, ada saja yang kami bicarakan. Tak jarang, pembuka komunikasi memang sesuatu yang penting, tapi topik itu merembet ke mana-mana, nggak penting banget, pokoknya. Dan semuanya menggunakan media SMS, kalau bertemu malah kami jarang menyapa.

Tiga hari setelah SMS ucapan selamat itu, dia sudah berani berkata, "Anna, ntar malam bangunin aku Tahajjud, ya." As a friend, aku nggak punya perasaan apa-apa soal pintanya. Maka kuturuti bener, ketika aku bangun malam, aku missed call dia. "Makasih, ya," SMS-nya.

Setelah naik kelas dua, kami tidak lagi sekelas. Aku masuk di kelas IPA 2, dia di IPA 5. Cukup jauh juga jarak kelas kami dengannya.

Suatu ketika, aku mulai bosan mendengarkan Ibu Guru mengajar Biologi. Dari dulu Biologi menjadi pelajaran yang tidak kusukai, terlalu banyak hafalan. Ditambah sang guru yang membosankan dalam mengajar, aku iseng bermain HP. Eh, ada SMS masuk. Andika. "Special" message about love. Aku jawab ngasal aja, nggak menganggap itu serius.

Tapi aku mulai curiga ketika SMS berikutnya masuk. Kata-kata yang dia kirim mbulet-mbulet. Rasa-rasanya aku bisa menduga ke mana arah pembicaraan ini selanjutnya, ketakutan terbesarku sejak awal. Dan sengaja... aku puter-puterin obrolan kami. Yah, dia malah ikut-ikutan muter-muter.

"To the point aja, deh," balasku akhirnya. "Maksudmu gimana?"

"Maksudku..." balasnya. "I do love u."

Ungkapan "bagai mendengar petir di siang bolong" rasanya udah basi, tapi aku nggak bisa menemukan ungkapan lain lagi. Perasaanku didominasi dua perasaan utama. First, ada sedikit bangga... banyak siswi yang "mengejarnya", terlebih setelah sebulan yang lalu dia terpilih jadi ketua OSIS. Pernah dia mengeluh sama aku, "Banyak banget sih, cewek yang suka sama aku? Capek dikejar-kejar cewek nggak jelas." Aku nggak ikut lomba, tapi terpilih sebagai pemenang.

Second, apa maksudnya dia menulis seperti itu? Semoga saja kelanjutannya bukan memintaku jadi pacarnya. Beberapa hari sebelum dia jadi ketua OSIS, aku sempat dicalonkan jadi kandidat koordinator keputrian, tapi kalah suara. Kalau sesudah ini dia benar-benar nembak aku, terpaksa kutolak. (Berat nih, ye…)

“Bahas nanti malam, ini pulsa terakhirku,” kataku singkat.
"Maaf, jika kata-kataku menyakitimu. Aku hanya ingin kamu tahu..." Nekat sekali, aku udah bilang suruh SMS nanti malam, masih aja dilanjutkan.

"Kamu marah?" tulisnya malam itu.
“Nggak juga. Aku hargai kejujuranmu padaku, tapi... apa maumu sebetulnya dengan mengatakan itu? Kamu nggak akan… let’s say, memintaku jadi pacarmu, kan?"

Segera saja balasannya masuk, "Nggak, lah. Meski sempat berharap, jadi aku nggak akan pernah mungkin jadi pacarmu. Aku tahu kamu nggak mau pacaran. Aku cuma mau melegakan hati ini. Aku sakit karena memikirkanmu."

Memang, selanjutnya aku dan Andika tetap dalam status seperti sebelumnya. Tidak pacaran. Sayangnya, yang terjadi justru sama parahnya dengan pacaran. Obrolan kami malah lebih "vulgar". Kadang aku heran sendiri, sama temen-temen perempuanku saja, aku nggak pernah seterbuka ini, mengapa hanya dengan Andika aku harus membuka semua "rahasia"ku?

Aku pun selalu memanggilnya, “Dik.” Sebetulnya hanya singkatan namanya saja, Andika, tapi dia justru menafsirkan lain.

“Kok kamu jadi kayak manggil ‘adik’ ke aku, ya?” tanyanya suatu hari. “Aku jadi adikmu beneran aja, ya.”

“Berarti aku jadi kakakmu, dong,” jawabku geli. “Boleh, lah.”

Dan dia pun mulai memanggilku “kakak”. Beberapa hari sekali, dia SMS, "Met pagi/siang/malem... Lagi ngapain, Kak? Udah shalat, belum?" Kadang, aku malah risih dengan perhatiannya yang berlebihan itu. Batinku, perhatian amir, Amir aja nggak pernah merhatiin aku… eh, maksudku, ortuku juga nggak sedetail itu merhatiin aku. Tapi biarlah. Aku hanya menganggap itu perhatian adik pada kakaknya. Dia anak tunggal, wajar aja.

Once more, obrolan kami hanya dalam SMS. Di dunia “nyata”, kami jarang bertemu. Kalau ketemu, paling cuma saling say hello doang.

Tapi kok rasanya gimana... gitu, punya adik, tapi bukan mahram. Ada rasa risih… Belum lagi setiap SMS-an, mengapa aku seterbuka ini? Emang sih, kami nggak pacaran dilihat dari status di mata manusia, tapi di mata Allah, bukankah ini termasuk zina, zina kecil?

Celakanya, perasaan semacam itu sering muncul ketika sudah dua-tiga jam kami SMS-an. Jadi susah untuk menghentikan. Sejauh ini, sisi buruk hatiku berhasil menghilangkan perasaan bersalah itu, "Kapan-kapan, aku akan menghentikan semua ini."

Hanya kapan-kapan, tanpa pernah ada kejelasan, kapan saat itu tiba. Sampai suatu ketika...

Gosip itu sampai padaku. Fita pacaran dengan Ryan. Hmm... gosip, atau fakta, ya? Aku sudah mendengar banyak hal tentang mereka, yang menjadi bukti kebenaran pernyataan itu. Susah dipercaya, mengingat Fita pernah jadi santri di sebuah pondok Islam terkenal sebelum melanjutkan di SMA ini. Fita, sekretaris Rohis yang enerjik, aktif, dan berjilbab cukup lebar.

Jika itu terjadi pada pengurus lain yang belum terlalu memahami Islam, aku biasanya membiarkan saja. Materi-materi selama mentoring rasanya cukup untuk membimbing mereka, walaupun hasilnya wallahu a'lam. Kalau dicekoki banyak-banyak, mereka bisa lepas dari Rohis. Tapi Fita... lulusan pondok masa pacaran?

Di satu sisi, sebagai koordinator bidang Kaderisasi (yang bertugas menjaga kualitas kader-kader Rohis), ini kewajibanku untuk menegurnya. Aktivis Rohis seharusnya menjadi teladan bagi pengurus lain, kalau aktivisnya seperti ini, apa jadinya pengurus lain yang masih belajar? Tapi di sisi lain, bagaimana aku bisa mengingatkannya jika aku sendiri masih sering berhubungan dengan Andika, walaupun tak ada yang tahu "hubungan" kami? Walaupun ngakunya hanya kakak-adik, tapi kenyataannya seperti pacaran, terlebih aku tahu apa yang ada di hatinya, dan aku nggak menyangkal aku menyukainya.

Munafik sekali.

Tapi justru pada saat yang sama, Andika mulai cuek padaku. Kalau biasanya paling tidak dua hari sekali dia SMS, sekarang sudah hampir seminggu HP-ku sepi oleh SMS-nya. Aku tak tahu kenapa, mungkin kehabisan pulsa?

Ketika aku mengiriminya SMS pun, dia tidak membalas. Padahal penting, berkaitan dengan izin acara Rohis berikutnya. Aku sebagai Sie Humas, bertugas menghubungi semua pihak yang bersangkutan, termasuk Andika sebagai ketua OSIS.

"Kamu kenapa, sih? Penting, nih..." tulisku panik. Acara Rohis tinggal sepuluh hari, mana proposal macet di dia. Sebetulnya bisa saja aku menyerahkan tugas menghubunginya kepada Sie Humas yang lain, tapi aku malah menggunakan kesempatan ini untuk bisa menjalin komunikasi dengannya lagi.

Hampir enam kali aku mengiriminya SMS, tak satu pun dia balas. Ditelepon, malah di-reject.

Sebal, kukirim SMS seperti ini, "Kamu itu ketua OSIS tapi nggak profesional, ya. Ada organisasi di bawahmu membutuhkan bantuanmu tapi kamu cuek gini. Kalau emang kamu lagi marah sama aku, aku minta maaf, tapi jangan Rohis yang kamu jadikan korban. Ketua OSIS kok kayak gitu. Nyesel aku milih kamu."

Nggak dinyana, ternyata dia bereaksi, "Gitu ya? Kalau lain kali ada pemilihan ketua lagi, jangan pilih aku. Aku emang nggak profesional, aku emang egois. Puas?!"

Aku tercengang. Jadi benar, dia marah sama aku. Tapi kenapa? Shock juga membaca deretan kata itu, mengingat dia tak pernah sekali pun berkata sekasar itu sebelumnya.

"Kamu kenapa, sih? Apa salahku?" tanyaku panik.
"Gpp." Hanya tiga huruf itu yang dia tulis.
"Gitu ya, sekarang, nggak mau cerita sama aku."

Sepi balasan.

Aduh, dia ini kenapa, sih?

Saking stressnya, aku memandang berkeliling kamarku. Pandangan itu baru menyapu 45 derajat ketika berhenti. Di atas meja di depanku tergolek manis buku Kimia.

Besok ulangan............!!!!!!!
!!!!!!

Kenapa bisa lupa, ya? Duh, gara-gara mikirin si Andika terus. Tanpa buang tempo, kusambar buku itu. Kucoba memfokuskan pikiran membaca buku itu, dan berusaha melupakan Andika untuk sementara waktu.

Tidak bisa.

"Kenapa ya, banyak banget cewek yang suka ngejar-ngejar aku?"
"Kenapa, ya? Aku juga heran, tuh. Orang kayak kamu juga. Hehehe."
"Serius, nih. Aku capek dikejar-kejar cewek nggak jelas."
"Hmm... mungkin karena kamu itu pinter, siswa teladan yang nggak pernah bolos, baik hati dan tidak sombong, rajin menabung dan suka menolong."
"Gitu, ya?"
"Emang kenapa?"
"Kok kamu nggak ikut-ikutan ngejar aku?" Berubah iseng, dia.
"Nggak ah, kakimu kan panjang. Aku ngejar sampai ngos-ngosan juga nggak bakal terkejar."

Kenapa kepikiran dia terus? Ulangan besok, juga. Untuk lebih memahami apa yang kubaca, aku sampai mengeraskan suara, "Kesetimbangan bergeser ke kiri bila..."

Prinsipku sudah bergeser. Kalau dulu aku nggak terlalu akrab dengan laki-laki, sekarang aku malah punya "adik" laki-laki. Dilandasi rasa... ah, kalau temen-temen mungkin bilang hubungan tanpa status. Eh, statusnya kakak-adik, ding. Tapi mana ada kakak-adik dalam Islam yang bukan mahram sampai sedekat ini?

Sahabatkah?

Bukannya aku dulu pernah bilang, persahabatan lawan jenis itu tidak abadi? Pasti ada rasa-rasa lain yang mendampingi. Betul sekali. Dan dengan pandainya setan menyembunyikan kebenaran itu, mengipasi rasa nyaman saat bercerita pada Andika. Nyaman yang semu.

Lalu apa nama hubungan kami? Fita dan Ryan sudah "lega" dengan status pacar itu, dalam artian status "dosa"nya jelas banget.

Ngomong-ngomong soal Fita... ah, masalah lain lagi. Gimana aku bisa mengingatkan dia dengan kisah hidupku yang ngambang gini? Sama parahnya dengan mereka, kan? Tapi kalau nggak ngingetin, bukannya aku juga ikut dosa karena membiarkan "kemaksiatan" itu berjalan di depanku?

Rasa bersalah itu semakin menghantuiku. Memang, beberapa waktu terakhir ini aku sempat berniat "putus" dengan dia, nggak SMS-an melulu, dan mulai kembali menjaga hijab yang sempat terbuka. Tapi aku selalu bisa menggeser kata nuraniku. Aku selalu ragu, sementara perasaan bersalah itu setia menemaniku.

AAAARRRRRGGGGHHHH!!!!!!!!!!

Kubanting buku Kimia itu. Nggak ada yang masuk, percuma belajar. Dengan mengandalkan pengetahuan seadanya dari mendengarkan guru di kelas, aku nekat menutup buku itu dan mulai menyiapkan buku-buku untuk besok. Biasanya aku juga nggak terlalu mengalami kesulitan dalam ulangan Kimia.

On the next day...

Perlu berkali-kali untuk memahami satu per satu soal yang ada di depanku. Hanya sepuluh soal, tapi pada menit ke 60 dari 75 menit yang diberikan, aku hanya bisa mengerjakan empat. Konsentrasiku benar-benar buyar. Bahkan pada 15 menit terakhir, aku hanya bisa mengarang jawaban untuk dua soal. Hmm... biasanya aku suka Kimia. But not this time, not the time when I'm thinking about something other.

Demi lancarnya acara Rohis, akhirnya aku menyerahkan tugas melobi Andika pada Fita, yang juga Sie Humas. Egois bila aku memaksa melobinya hanya untuk berkomunikasi dengannya.

Dua jam berikutnya kosong. Aku menggunakan kesempatan ini untuk shalat Dhuha. Alhamdulillah, masjid sekolah sepi. Kupuas-puaskan menumpahkan seluruh tangisku pada Allah.

Dan subhanallah... hatiku mendadak memuhasabahi diri.

Muslimah apa, aku ini? Orang yang melakukan suatu dosa namun tidak tahu, masih bisa dimaafkan. Tapi bukankah aku sudah tahu bahwa perbuatanku dosa? Dosaku menjadi dua kali lipat. Aku sudah menduakan Allah, padahal aku tahu Dia Mahacemburu.

Lihatlah, inilah hasilnya jika aku terlalu mengharap kepada manusia, padahal manusia sendiri hanya bisa mengharap. Mengatasnamakan cinta karena Allah untuk cinta yang sesungguhnya hanya jebakan nafsu. Kesenangan sesaat, namun pada akhirnya hanya kecewa yang kudapat.

Nilai Kimia pasti di bawah standar, untuk pertama kalinya. Urusan Rohis pun keteteran. Pulsa SMS juga terbuang sia-sia. Mau mencegah "maksiat" juga ragu. Dan masih banyak lagi.

Inilah teguran Allah. Inilah jawaban Allah atas semua keraguanku untuk bertindak. Tamparan yang cukup kuat untuk "memaksa"ku melakukan apa yang selama ini aku tunda. Jika Engkau tidak menegurku sekarang, mungkin aku akan lebih lama lagi terbenam dalam dosa ini.

Inilah bukti cinta-Nya.

... hingga kusadari sesungguhnya yang kupunya hanya Engkau tempatku kembali sebagai cintaku...

Allah, maafkan aku. Cinta-Mu lebih kekal, cinta-Mu bukan cinta yang membuatku kecewa... yang takkan pernah menjerumuskanku dalam kegelisahan.

* * *

Tersadar di dalam sujudku
Setelah jauh melangkah
Cahaya kasih-Mu menuntunku kembali
dalam dekap tangan-Mu

Terima kasih Allah untuk segalanya
Kau berikan lagi kesempatan itu
Tak akan terulang lagi semua kesalahanku

No comments

Powered by Blogger.