Header Ads

[Buatan AI] Perempuan Misterius (3)

Cerita ini merupakan hasil "perbuatan" AI (ChatGPT). Saya hanya memberikan alur besarnya cukup detail, dan AI yang membuatkan naskah lengkapnya. Ada beberapa bagian yang perlu saya minta revisi beberapa kali.

Asyik juga membaca cerpen yang ditulis secara cepat dengan alur yang kita pilih sendiri, hehe. Secara umum, sebenarnya AI hanyalah sarana untuk memantik gagasan dari ide dasar. Kita manusialah yang harusnya memanfaatkan pancingan tersebut untuk berkreasi secara lebih orisinal.

Tapi, berhubung saya sedang kehabisan stok ide, saya meminta AI menuliskannya secara utuh. Jika ada kesempatan, saya ingin mengembangkannya dengan kata-kata yang saya pilih sendiri, tentunya.

Selamat membaca!

Gambar di-generate dari designer.microsoft.com/image-creator

Bagian 3

Di luar ruang gawat darurat, kami berdiri dalam lingkaran kecil, membicarakan langkah selanjutnya. Udara malam yang dingin menyelinap di antara percakapan yang penuh kecemasan.

"Ada yang tahu keluarganya?" tanyaku, memecah keheningan.

Bu Riska menggeleng pelan, wajahnya penuh kebingungan. "Saya lupa namanya. Saya hanya ingat dia dari Wonosobo dan tinggal di kelurahan sebelah. Selebihnya, saya tidak pernah bertanya."

"Kita cari identitasnya di tasnya saja," usul Pak Hadi, bapak paruh baya yang ikut mengantar. Semua setuju. Aku membuka tas selempang hitam milik gadis itu, hati-hati agar tidak melanggar privasi lebih dari yang diperlukan.

Ada KTP, SIM, beberapa alat tulis, dan sebuah ponsel. "Namanya Bosnia Herzegovina," kataku membaca KTP-nya. Nama yang unik. "Statusnya di KTP belum menikah." Namun, aku menambahkan dalam hati, itu tidak menjamin apa pun. Banyak orang yang belum memperbarui data. Apalagi... aku teringat cincin yang melingkari jarinya.

Aku mengambil ponselnya, berharap menemukan petunjuk lebih lanjut. Untungnya, ponsel itu tidak terkunci. Saat membuka kontak, aku agak terkejut. Semua nomor dinamai dengan nama lengkap. Tidak ada yang diberi nama khas seperti "Mama," "Ayah," atau bahkan "Suami." Aku mencoba membuka WhatsApp dan melihat percakapan terakhirnya. Nama kontaknya, Maria Ulfa.

"Maria Ulfa," gumamku. "Mungkin ini temannya."

Aku mengetik pesan dengan hati-hati, memperkenalkan diri dan menjelaskan situasi. Tidak sampai satu menit, balasan datang.

Maria: Maaf, ini siapa? Saya tidak yakin ini serius.

Aku segera menghubungi nomor itu. “Halo, saya Angga. Saya takmir masjid tempat Mbak Bosnia sering shalat. Dia pingsan dan sekarang di rumah sakit. Kalau tidak percaya, Ibu bisa datang ke sini untuk memastikan.”

Ada keheningan sejenak di ujung telepon sebelum Maria menjawab dengan suara gemetar. “Saya akan segera ke sana.”

Sekitar sepuluh menit kemudian, seorang perempuan berkerudung biru tua tergesa-gesa memasuki ruang tunggu. Aku langsung mengenalinya. "Maria?" panggilku, meski masih ragu.

Dia berhenti sejenak, tampak bingung. "Angga? Kamu di sini?"

Aku mengangguk. "Iya, aku yang nelepon soal Mbak Bosnia. Kamu teman dia?"

"Bosnia? Oh, kami memanggilnya Mbak Vina. Iya, aku sekantor sama dia. Kamu takmir masjid sekarang?" Maria tampak terkejut. Maria adalah teman satu organisasi saat kami kuliah dulu. Aku pernah beberapa kali bekerja sama dengannya di kepanitiaan acara kampus.

"Iya, sudah setahun terakhir," jawabku sambil tersenyum kecil. "Jadi kamu sekantor sama Mbak Vina?"

"Ya, tapi beda divisi," Maria menjelaskan. "Tadi kamu bilang dia di IGD? Apa yang sebenarnya terjadi?"

Aku menghela napas. "Dia pingsan di masjid saat kajian tadi. Kami bawa dia ke sini karena kondisinya terlihat serius."

Maria mengangguk pelan, lalu duduk di kursi plastik. "Aku sebenarnya tidak tahu banyak tentang Mbak Vina. Dia hanya pernah cerita kalau dia kontrak rumah dekat kantor. Tapi, aku nggak tahu alamat pastinya."

Kami tidak sempat melanjutkan percakapan karena pintu IGD tiba-tiba terbuka. Seorang perawat muncul, menanyakan siapa penanggung jawab Vina.

Maria berdiri, mendekat. Aku memperhatikan dari jauh, mencoba membaca situasi dari gerak-geriknya. Wajah Maria awalnya tegang, lalu perlahan berubah. Tangan kanannya terangkat, menutup mulutnya yang bergetar, sementara air matanya mulai mengalir.

Aku tak butuh penjelasan. Tubuhku terasa lemas, seolah gravitasi menggandakan bebannya. Tidak ada yang perlu dikatakan. Semua sudah jelas dari ekspresi Maria.

Bayangan perempuan berjilbab putih itu, yang duduk tenang dengan Al-Qur’an di tangannya, yang tersenyum kecil saat mengucapkan terima kasih untuk sekotak snack, kini hanya tinggal kenangan.

Aku tidak akan pernah melihatnya lagi di masjid setiap malam. Tidak akan pernah mendengar suaranya yang lirih. Tidak akan pernah tahu lebih jauh tentang dirinya, tentang hidupnya, tentang alasan dia selalu datang dengan gamis hitam dan jilbab putih itu.

Di tengah rasa kehilangan itu, satu pertanyaan menggantung di pikiranku: Mengapa aku tidak pernah mencoba lebih mengenalnya?

No comments

Powered by Blogger.