A Day with An Indian: Part 1—Trans Jogja and Malioboro
Pada tulisan sebelumnya, aku bercerita tentang pengalaman makan siang bersama tamu India yang merupakan seorang dosen. Entah karena diet vegetariannya atau memang sedang "diet" alias menjaga asupan makanannya, dia termasuk picky eater, sehingga kami cukup sulit mencarikan makanan yang bisa dia makan. Makanan favoritnya di Indonesia sejauh ini adalah jamur krispi, yang bagi kita orang Indonesia... itu cuma camilan!
Si dosen ini hanya seminggu di Indonesia, semacam sekadar "survei" untuk penelitian. Setelah itu, giliran mahasiswanya yang datang untuk melanjutkan penelitian mereka.
Untungnya, walaupun sama-sama vegetarian, si mahasiswa ini lebih "mudah" soal urusan makanan. Misalnya, dia masih mau makan telur. Dia suka mencoba makanan baru, tapi tidak yang manis-manis. Dia lebih suka makanan yang asin dan spicy. Spicy ini sebenarnya bisa bermakna ganda: bisa pedas atau mengandung banyak rempah. Hmmm... diajak makan seblak aja, kali, ya?
* * *
Sebelum cerita lebih lanjut soal pengalaman bareng si mahasiswa India ini, biar kujelaskan dulu pengaturan kantor soal penyambutan tamu India supaya konteksnya lebih jelas.
Kedua tamu India datang untuk melakukan joint research bersama atasanku, sebut saja Bapak dan Ibu. Bapak dan Ibu membentuk sebuah tim penyambutan, isinya satu tim riset (semuanya laki-laki) untuk membantu soal penelitiannya, dua driver laki-laki (pakai mobil Bapak), dan tiga translator perempuan (karena kedua orang India tersebut perempuan). Tugas utama kami adalah mengantarkan kedua tamu itu ke mana-mana selama di Jogja, termasuk mengajak mereka jalan-jalan saat akhir pekan (sehingga tidak ada kegiatan akademis). Ibu hanya memberikan satu syarat: low cost.
Nah, Sabtu pertama setelah kedatangan si mahasiswa, sebut saja Si Cantik, ternyata enggak ada satu pun driver yang bisa mengantar jalan-jalan. Aku usulkan: naik Trans Jogja saja, biar sekalian mengenal transportasi umum lokal. Eh, malah aku sekalian yang ditunjuk buat mengantar jalan-jalan, apalagi kedua teman perempuanku itu juga mengaku sudah ada acara lain.
Duh, Gusti Allah, aku enggak pede dengan bahasa Inggris-ku!
Pekan sebelumnya waktu menemani si dosen, ada teman translator lain yang membersamai, dan si translator ini pernah kuliah dan tinggal di India, jadi sudah familiar dengan logat India. Aku sendiri masih suka salah tangkap pas dia ngomong. Misalnya, aku "yes, yes" aja, padahal ternyata dia nanya, "Are you married?" (Tepok jidat!) Untung temanku itu menjawabkan "No" buatku; enggak jadi salah paham, deh. LOL.
Nah, kali ini ditinggal sendirian?
Aku sampai harus nonton ulang film 3 Idiots biar kuping bisa familiar dengan logat India, walaupun pastinya beda. 3 Idiots bahasanya campuran Inggris-Hindi (bahasa Hindi digunakan di India utara), sedangkan Si Cantik asalnya Tamilnadu, India selatan. Jauuuuh!
Belum lagi, karena satu-satunya objek wisata yang kutahu dilewatin Trans Jogja adalah Malioboro, berarti tujuan kami paling banter hanya sekitaran situ: Jalan Malioboro, Titik 0 Kilometer, Benteng Vredeburg, Monumen Serangan Umum 1 Maret, atau kalau mau jauh lagi, ya, Keraton (padahal aku belum pernah ke Keraton juga).
Aku? Yang bukan asli Jogja dan masih meraba-raba kekhasan Jogja? Sepanjang malam aku belajar dulu seputar Jogja: kenapa Malioboro terkenal, sejarah pertempuran kemerdekaan nasional dan di Jogja, kenapa Jogja punya sultan (monarki) sedangkan provinsi lain enggak... Udah berasa kayak mau ujian Sejarah dan PPKn dalam bahasa Inggris.
Enggak sia-sia dulu SMA masuk kelas Imersi dan ikut Lawatan Sejarah, hahaha!
* * *
Tibalah hari Sabtu. Aku bilang sama temanku (yang nginep bareng Si Cantik di homestay) supaya kami berangkat jam 8. Aku udah buru-buru, karena mepet jam 8, tapi temanku kirim chat, "Si Cantik belum bangun. Udah kuketok-ketok kamarnya enggak ada respons."
Oh, mungkin masih capek, kali. Kan kemarin baru sampai di Jogja juga siang jelang sore.
"Baiklah, aku mau mampir Idm dulu kalau gitu," balasku.
Aku sampai di homestay jam 9.
"Dia baru bangun," temanku menginformasikan.
Alamak!
Si Cantik baru keluar dari kamarnya. Setelah say hello, dia minta izin mandi dan siap-siap dulu kira-kira 20 menit.
Aku melewatkan waktu menunggu dengan mendiskusikan bersama temanku ini, apa di India memang normalnya start aktivitas kerja/sekolah agak siang? Tapi katanya jam 9 baru bangun itu juga udah kesiangan, apalagi di India tuh macetnya lebih parah dari Jogja. Jadi kalaupun aktivitas mulai jam 9, jam 7 harus sudah berangkat dari rumah biar bisa sampai sekolah/kantor tepat waktu.
Tepat ketika Si Cantik keluar dari kamar mandi, Ibu tiba-tiba menelepon dan meminta kami mengajak Si Cantik ke kantor (yang cuma beberapa meter jauhnya dari homestay). Semacam sowan dulu, lah, karena baru datang. Hadeh, tambah siang aja ini jalan-jalannya. Yah, tapi ada untungnya juga Si Cantik bangun kesiangan; kalau enggak, kami udah di jalan ketika Ibu telepon.
Ternyata, di kantor bukan cuma ada Bapak dan Ibu, tapi juga dosen-dosen rekan Bapak dan Ibu yang lagi bahas conference yang akan diadakan beberapa bulan lagi. Aku dan temanku berpandangan, karena pakaian kami rasanya kurang layak dalam forum semiformal begitu: aku pakai kaos dan sandal baim, temanku cuma pakai pakaian rumahan dengan kerudung bergo!
Saat kami akhirnya bersiap pergi, Ibu nanya, "Mau dibawa ke mana hari ini?"
Aku jawab, "Berhubung saya enggak bisa nyetir, saya ajak naik Trans aja, enggak apa-apa ya, Bu?"
Bu Dosen lain yang menimpali, "Bagus, itu, biar kenal sama local transport juga. Tujuannya ke mana?"
"Paling sepanjang Malioboro aja, sama Beringharjo," jawabku. Tapi lalu menambahkan, "Biar kalau mau belanja, dia bayar sendiri!"
Seisi ruangan tertawa.
Suruh siapa low cost, ya kan? Hahaha.
* * *
Aku mengajak dia jalan kaki ke halte.
"Are you OK if we walk to the..."—aduh, 'halte' tuh bahasa Inggrisnya apa? Tetiba blank—"... halte? Um... such a small bus station?"
"Sure," jawabnya.
Lalu sepanjang berjalan kaki, kami mendiskusikan ketiadaan trotoar pedestrian way yang layak—"So, you have to be careful," aku memperingatkan. Jalan itu sempit, kadang harus melipir kalau ada mobil lewat, bahkan enggak bisa jalan jejeran. Bahkan ketika kami sudah sampai jalan raya, trotoarnya masih kurang layak: kadang ada lubang, ada mobil parkir di situ, juga ada tenda angkringan.
"This is an 'angkringan',"—apa pula itu angkringan in English?—"a kind of street food." Tapi dalam benakku, yang namanya street food itu lebih ke jajanan semacam bakso pentol, terang bulan, gorengan, dan lainnya. Aku milih menyebut street food karena lokasinya literally di tengah jalan (pejalan kaki).
Kami juga melewati hotel, yang kebetulan lagi ada nikahan karena ada janur melengkung. Aku jelaskan bahwa "young coconut leaves" tuh penanda kalau ada kondangan, dan dia balik cerita kalau di India, tanda nikahan adalah—kalau aku enggak salah dengar—pohon pisang. Eh, atau daun pisang?
Akhirnya, kami tiba di halte. Ting! Saat itu aku baru ingat bahwa halte bisa juga disebut shelter, jadi sepanjang sisa hari itu aku menyebut halte itu shelter. Walaupun, kalau dipikir-pikir lagi sekarang, mungkin sebenarnya lebih tepat dikatakan bus stop, ya?
Ngomong-ngomong, sejujurnya, sejak punya motor, aku udah jarang naik Trans Jogja. Apalagi, baru banget bulan ini ada pengumuman perubahan manajemen Trans Jogja, dan di halte yang aku datangi ini sekarang sudah enggak ada petugasnya, padahal sebelum pandemi ada. Semoga busnya masih lewat situ.
Alhamdulillah, busnya memang masih lewat situ. Aku ambil rute 3A, karena menurut aplikasi, jalur itu membawa ke Malioboro, walaupun nanti harus transit dulu di Bandara Adisucipto. Kondekturnya menyarankan supaya di bandara nanti, kami ganti rute 1A, karena lebih dekat, sedangkan jalur 3A, meski memang lewat Malioboro, muterin bagian utara Jogja dulu. Okelah, mungkin baiknya kami cepat-cepat saja sampai tujuan, daripada muter-muter dulu. Padahal pengin bawa dia lewat Monjali (eh, lupa juga apakah 3A ngelewatin Monjali).
Di jalur 1A, ternyata busnya penuh. Jadi kami berdiri. Si Cantik cerita bahwa di India dia juga sudah biasa berdiri, dan busnya lebih tinggi. Berkali-kali dia nanyain aku, "Are you fine?" karena berkali-kali aku kayak mau jatuh ketika bus melaju, meski aku sudah pegangan di gantungan atas. Ya gimana, itu gantungan tinggi banget untuk aku yang semampai alias seratus lima puluh senti tak sampai.
Jalur 1A ngelewatin Jalan Solo. Ada untungnya juga kami berdiri, jadi aku bisa menunjukkan beberapa tempat tertentu, misalnya UIN (aku sempat deg-degan menerjemahkannya jadi "Islamic State University", karena bisa-bisa dimaknai sebagai "Universitas Negara Islam"), hotel Royal Ambarrukmo yang merupakan salah satu bisnis kesultanan (thanks to Aladdin movie, aku jadi tahu cara melafalkan kata "sultan" dalam bahasa Inggris), pabrik-pabrik kain (yang mungkin saja pemiliknya orang India), dan Tugu Jogja (yang saking ikoniknya, banyak suvenir yang mereplika bentuk tugu ini).
Aku sengaja mengajak dia turun di halte Malioboro 1, jadi biar dia bisa menikmati Malioboro dari ujung ke ujung. Ngelewatin gedung DPRD (lupa bahasa Inggrisnya DPR—padahal zaman SMA dulu sering nyebut istilah ini di lomba debat—akhirnya aku cuma bilang "legislative building"), nunjukin becak (dari rumah udah searching duluan bahasa Inggrisnya: pedicab) dan delman (aku agak terbata ketika nyebut "horse..."—kereta kuda apa sih? Masa horse train?—tapi untung dia nyambung, "... car?"), dan ada mall juga. Dia takjub ngelihat mall di sini.
Di tengah jalan, dia bilang dia butuh internet. Well, kata temanku, dia memang belum dibelikan kartu lokal karena registrasinya agak susah, dan temanku itu menyarankan kalau mau update foto biar di rumah aja. Tapi Si Cantik kekeh pengin menghubungi keluarganya, karena katanya sejak kemarin belum sempat kasih kabar ke keluarganya, takut kalau mereka khawatir.
Aku menyalakan tethering dari HP-ku, dan pas dia cari jaringan, dia nemu Wi-Fi publik.
"Can I use the public Wi-Fi here?" tanya Si Cantik.
Pas banget, beberapa waktu lalu ada unggahan lewat di Instagram tentang Wi-Fi gratisan yang bisa diakses di titik-titik tertentu di Jogja. Aku tahu itu bisa digunakan, butuh login tapi cukup klik saja tanpa akun, walaupun pada kolom komentar Instagram, ada yang mengingatkan bahwa jaringan terbuka begitu rawan keamanan. Berhubung Si Cantik ini mahasiswa Elektro, kuasumsikan dia paham risiko mengakses jaringan terbuka gini, lah, ya. Jadi kupersilakan saja.
Dia menemukan tempat duduk kosong dan ngobrol dengan keluarganya dalam bahasa Tamil (asumsiku), sementara aku motret-motret dia. Dalam hati merutuk, teman-teman yang lain bertugas minimal berdua, jadi satu ajak ngobrol, satu mendokumentasikan. Nah, aku... udah ngajak ngobrol, bertugas motoin pula. Awesome!
Kami melanjutkan perjalanan. Toko-toko oleh-oleh mulai kelihatan, mayoritas jualan bakpia. Aku menjelaskan kalau bakpia itu salah satu oleh-oleh khas Jogja, dan terbuat dari... flour dan kacang hijau—lagi-lagi mendadak blank, dan harus buka Google Translate dulu buat jelasin apa itu kacang ijo in English. Untung dari jalan gak kelihatan yangko—susah lagi jelasin tuh apa itu yangko dan terbuat dari apa aja.
Ada yang meja display bakpianya sampai di pinggir trotoar, dan aku menjelaskan ke Si Cantik kalau itu salah satu contoh bakpia. Dia ngajakin lihat-lihat. Kupikir dia mau masuk ke toko yang rada biasa. Ternyata dia malah masuk ke toko di sebelahnya, yang secara tampilan lebih mevvah alias lantainya keramik putih, display-nya rapi, pencahayaannya terang... Woy, berapa duit kalau mau beli oleh-oleh di sini? Semoga dia cuma lihat-lihat aja.
Namanya toko oleh-oleh Jogja, ya: isinya gak jauh-jauh dari segala jenis keripik. Aku sampai bosen ngejelasin kalau hampir semua terbuat dari tepung-tepungan, "flour" (semoga dia enggak menangkap kata-kataku sebagai "flower" alias bunga, karena cara bacanya memang sama—bisa-bisa dikira kita makan kembang), dan "cassava" (karena aku enggak bisa bedain singkong, ubi, ketela, dan sejenisnya bahkan dalam istilah Jawa maupun Indonesia).
Thankfully, toko itu menyediakan tester untuk beberapa jenis makanan. Aku persilakan dia ambil dari situ aja, jadi dia bisa nyobain tanpa perlu beli, hehehe. Dia bahkan nyoba wingko babat (aku perlu baca komposisi di bungkusnya untuk menjelaskannya dalam bahasa Inggris). Dia bahkan berani nyobain gula kacang (atau yang di Jogja disebut ampyang) walaupun tadinya bilang enggak terlalu suka makanan manis.
Di bagian minuman herbal tradisional, aku mengambil sebungkus bir pletok, yang isinya rimpang-rimpangan dan tinggal seduh, untuk kutunjukkan ke dia.
"This drink is very unique. It is called 'beer', but not actually beer. We muslims are not allowed to drink beer, that's why they make an alternative drink and call it 'beer'." (Ini grammar-nya udah dibenerin, ya, karena aslinya tata bahasaku udah enggak jelas banget, hehe.)
Terus, dia nanyain satu per satu, "What is this?"
Allahu akbar! Kali ini aku mau pakai Google Translate pun enggak bisa. Dalam bahasa Indonesia atau Jawa aja aku enggak hafal nama-nama rimpang, rempah, atau bumbu dapur!
Ada, enggak, sih, fitur Google yang bisa langsung mengenali jenis rimpang lewat foto? Apalagi bentuk rimpangnya cuma bulet putih gitu. Bisa-bisa dikira pilus Tegal.
Kami melewati rak keripik seafood, kulit ayam, dan kulit sapi.
"No, don't take these, they are seafood, chicken, and beef," aku peringatkan sebelum dia mulai meneliti satu-satu. Berharap, seandainya aku ke luar negeri atau ke wilayah di mana muslim minoritas suatu saat nanti, guide-ku juga akan langsung ngasih tahu kalau ada makanan yang haram sehingga aku enggak perlu mendekat.
Si Cantik pindah ke rak coklat-coklatan. Dia senang banget lihat ada coklat berbentuk Tugu Jogja.
"Ah, ini yang tadi kita lewati, ya?" ucapnya penuh semangat. Jangan suruh aku mengutip secara verbatim, karena aku lupa bahasa Inggrisnya apa. Hehe.
Dia akhirnya borong banyak coklat batangan. Beli juga satu-dua bungkus ampyang. "Apa bedanya yang ini dan itu?" tanya dia ketika melihat berbagai bungkus ampyang.
"Beda merek aja," jawabku. "Tapi beda merek juga beda harga." Kupilihkan yang harganya paling murah, hehe.
Di kasir, tagihannya 207.000 rupiah. Dia bingung dengan mata uang Indonesia, karena menurutnya, angka rupiah itu besar banget, sampai ribuan, sedangkan di Rupee enggak sampai segitu. Dia keluarin selembar seratus ribuan, aku bilang, "Two of them," trus dia ambil lagi seratus ribuan.
Nah, tujuh ribunya gimana?
"I don't have change," kata Si Cantik.
Mas kasirnya bilang ke aku, "Kalau tujuh ribunya dari mbaknya aja gimana?"
"Duh, nanti susah reimburse-nya, Mas," kataku sambil ketawa salah tingkah.
Akhirnya masnya ngalah dan menerima tiga lembar seratus ribuan dari si Cantik.
Pas mau keluar, Si Cantik nanya, "Jadi, duitku tinggal berapa ini?"
Aku pakai IDR to INR converter buat nunjukin sisa uang dia. Sejujurnya, aku juga enggak tahu dia bawa duit berapa, dan mahal-murah kan tergantung orangnya, ya. Tapi tadi sempat ngintip dompetnya, kayaknya dia cuma punya uang rupiah dikit, sisanya entah dolar entah rupee.
Padahal ini belum lagi ke Beringharjo baut beli baju-bajuan. Nah, gimana, tuh, jadinya?
Apalagi, pada perjalanan selanjutnya, aku juga kudu nerjemahin teks Proklamasi dalam bahasa Inggris!
Nantikan di tulisan berikutnya!
Insyaallah.
No comments