Header Ads

Bagiku Halalku, Bagimu "Halal"-mu

Seminggu ini, kantor saya kedatangan tamu dari India. Sekelompok staf diminta untuk menyambut, mendampingi, dan menyiapkan semua keperluan beliau selama beliau di sini. Full service-lah, pokoknya.

Salah satu tantangan dalam menyediakan kebutuhan orang India adalah pola dietnya. Bagi kita muslim, tentu requirement utama jika kita singgah di wilayah non-muslim adalah memastikan makanan halal atau tidak. Sebelas-dua belas, tamu kami ini merupakan vegetarian. Sejauh saya tahu, satu-satunya produk hewani yang beliau konsumsi adalah susu. Masalahnya, banyak makanan Indonesia, baik tradisional maupun kekinian, yang mengandung telur.

Kemarin, misalnya, ketika kami makan siang di restoran prasmanan tradisional, kami pikir menunya cukup aman untuk beliau. Memang ada menu daging-dagingan, tetapi pengunjung bebas memilih untuk mengambil menu lain yang terbuat dari tumbuhan, seperti sayur atau tahu. Kami memesankan berbagai jenis gorengan untuk beliau coba: tempe mendoan, tahu isi, pisang goreng, bakwan... dan beliau mengambil salah satunya. Namun, setelah beberapa gigit, beliau meletakkan tahu itu dan tidak menghabiskannya.

Begitu teman saya yang lain mencoba, dia berkomentar (dalam bahasa Indonesia), "Tepungnya pakai telur, ya?"

Nah, tiba-tiba saya tersadar, jangan-jangan si tamu India ini tidak menghabiskan gorengan tahu ini karena bisa merasakan telur dalam adonannya.

Sebagai muslim, kita pasti paham perasaannya. Bayangkan saja, kita sedang asyik makan mi atau nasi goreng, ternyata mengandung mirin.

Sudah lama kita mendengar keluhan, terutama di media sosial, "Orang Islam nih ngapain sukanya bikin repot cek komposisi makan segala." Atau, "Enggak usah ada wisata halal segala, ini bukan negara Islam."

Melihat kasus yang saya alami, saya jadi sadar, keterangan "halal" atau pencantuman status makanan itu penting bukan hanya untuk muslim, tapi untuk semua orang. Bisa jadi ada yang vegetarian, vegan, atau makanannya wajib kosher. 

Adanya wisata halal, misalnya, sebenarnya untuk memastikan bahwa wisatawan muslim bisa mengonsumsi hidangan yang disajikan. Bahkan negara non-muslim seperti Jepang mulai menggencarkan wisata ini, salah satunya untuk menjamin bahwa muslim pun bisa berwisata dengan nyaman.

Wisata halal berarti wisata "Islami"? Ya sudah, buat saja sekalian wisata vegan, wisata vegetarian, wisata kosher, dan sebagainya.

Bahkan, saya kira, semua tempat makan atau produsen makanan wajib mencantumkan semua bahan baku makanan yang dihasilkan. Bukan cuma soal kehalalan, tapi tidak semua orang toleran dengan bahan yang disajikan. Vegetarian khawatir akan kontaminasi zat hewani.

Sebenarnya, semua jenis diet pun perlu transparansi komposisi makanan yang dijual. Tidak mesti berlandaskan kepercayaan, tapi juga kesehatan. Misal, ada orang alergi gluten, alergi telur, alergi susu, alergi kacang, dan sebagainya. Tidak cukup sekadar memberi tahu bahan-bahan yang umum menjadi alergen, karena setiap orang memiliki jenis alergi yang berbeda.

Menghormati kebutuhan diet orang lain merupakan salah satu bentuk toleransi juga. Terlihat sederhana, tapi efeknya besar. Dengan itu, semua orang bisa menikmati makanan tanpa merasa was-was.

No comments

Powered by Blogger.