Obituari: Yang Antik pada 59-nya
Kalau ada satu kata yang mendeskripsikan Bapak, aku akan memilih kata antik.
Dalam berpakaian, misalnya. Bapak memilih model yang tidak biasa. Dapat kain batik untuk seragam, Bapak akan menjahitkannya dalam model baju koko, alih-alih kemeja. Ya, termasuk seragam KORPRI-nya itu. Ketika ada aturan pegawai di lingkungannya harus pakai pakaian adat setiap hari atau tanggal tertentu, biasanya bapak-bapak lain akan memilih model beskap. Nah, Bapak lebih suka pakai surjan. Mending kalau motifnya resmi; lah, surjan pilihan Bapak ini bikin Bapak kayak kusir delman di Malioboro, hehehe.
Ketika aku, Ibu, dan adik-adik ikut reuni aksi 212 di Monas, Bapak tinggal di rumah. Namun, setelah mendapat oleh-oleh topi 212, Bapak memakai topi itu ke mana-mana, termasuk kadang ke sekolah atau jalan-jalan ke mall juga pakai topi itu. Pede banget, kan? Kalau naik motor tidak harus pakai helm, mungkin Bapak bakal memilih pakai topi itu juga sebagai pelindung kepala.
Di sekolah, Bapak juga merupakan guru yang unik. Pernah ada seorang murid yang nyeletuk sesuatu tidak pada tempatnya di kelas, lalu Bapak memberi hukuman menuliskan kata/kalimat tersebut dalam bahasa Inggris sebanyak seratus kali. Mentang-mentang guru Bahasa Inggris!
Bapak suka memotong rambutnya pendek-pendek, mungkin rambutnya tinggal satu senti, kira-kira. Selain praktis (karena nggak harus sisiran!), Bapak bilang ini juga sebagai contoh buat murid-muridnya. Di sekolah tempat Bapak mengajar memang ada aturan, murid laki-laki harus memotong rambutnya pendek-pendek. Nah, menurut Bapak, enggak lucu kalau para guru memaksa murid laki-laki berambut pendek sementara mereka sendiri tidak.
Soal memberikan teladan ini, aku angkat jempol buat Bapak, terutama di akhir masa hidup Bapak. Sejak lockdown yang nggak mau diistilahkan lockdown itu, semua anggota keluarga berkumpul di rumah, alhamdulillah, tidak ada yang sedang di tanah rantau. Bapak memberlakukan "aturan" supaya sehabis Magrib, semua berkumpul di ruang tamu untuk mengaji (bacaannya sendiri-sendiri) setidaknya selama sepuluh menit, tidak seperti sebelumnya yang ngaji sendiri-sendiri di waktu masing-masing. Meski yang lain agak angot-angotan, Bapak sudah stand by di ruang tamu sejak selesai shalat Magrib, menghadap Al-Qur'annya yang berukuran besar, lengkap dengan kacamata plus dan senternya.
(Ini satu lagi keunikannya, tilawah pakai senter karena, menurut Bapak, pencahayaan ruang tamu kurang terang untuk membaca. Kenapa enggak pakai lampu baca sekalian, coba?)
Tak peduli yang lain ada di sana hanya untuk memenuhi kewajiban (alias, ya... ngajinya tepat 10 menit, setelah itu bubar), Bapak sendiri melanjutkan membaca dan menghayati terjemahannya sampai azan Isya. Dan ini konsisten Bapak lakukan sampai Bapak sakit yang menjadi sebab wafatnya.
Selama lockdown ini, karena shalat tarawih pun dilakukan di rumah, Bapak bergantian menjadi imam dengan adikku. Ketika tiba giliran Bapak, kebiasaan unik Bapak adalah membaca surat yang huruf pembukanya sama di setiap surat dalam sepaket rakaat sekali salam. Empat rakaat pertama, Bapak membaca surah Adh-Dhuha, At-Tiin, Al-Humazah, dan Al-'Ashr yang sama-sama diawali "wa". Empat rakaat berikutnya, Bapak membaca surah Al-Insyirah, Al-Fiil, At-Takatsur, dan Al-Ma'un, yang semuanya diawali "a".
Kebiasaan Bapak mengelompokkan sesuatu juga berlaku untuk doa setelah shalat. Bapak kumpulkan mana doa yang diawali "Allahumma", mana doa yang diawali "Rabbana", dan Bapak membacanya sesuai urutan itu.
Di sekolahnya, Bapak merupakan pembimbing ekskul Bahasa Inggris, yang salah satu kegiatannya adalah berlatih debat. Yang membuatku takjub, Bapak bisa menemukan argumen dari kedua sisi (tim afirmatif dan tim negatif) dengan logis dan lengkap... dan kadang tidak terpikir oleh tim lawan atau bahkan tim sekolah sendiri.
Pernah suatu ketika, aku yang hendak maju lomba debat mewakili sekolahku sendiri, meminta bantuan Bapak untuk menyusun bahan-bahan dari topik-topik yang sudah diberikan. Iseng aku bertanya, "Kalau ada yang memberikan bantahan seperti yang Bapak bilang, aku jawab gimana?" Kata Bapak, "Kayaknya mereka juga enggak bakal kepikiran sampai ke sana."
Di masa yang lain, kami sedang jalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan. Seorang laki-laki mendatangi Bapak, menawarkan dagangannya berupa kerupuk gendar. Tanpa pikir panjang, bahkan tanpa menawar, Bapak langsung membelinya. Tidak banyak, paling dua atau tiga bungkus.
Kerupuk gendar sejatinya bukan favorit keluarga kami. Pada akhirnya pun, Bapak sendiri yang memakan kerupuk itu. Kami kadang terheran-heran karena Bapak gampang sekali membeli barang-barang demikian, ada sedikit kesal juga yang kami rasakan karena sebetulnya tidak terlalu kami butuhkan. Selain kerupuk gendar, kadang juga ada gorengan, atau jenis-jenis dagangan lain.
"Mereka memilih bekerja, tidak meminta-minta, itu bagus. Keuntungannya juga paling seribu-dua ribu," kata Bapak.
Di setiap waktu luangnya, bisa dibilang Bapak tidak lepas dari WhatsApp-nya. Setiap pesan yang masuk, hampir selalu Bapak jawab, tak peduli betapa remeh pesan itu. Kalau Bapak tidak membuka WhatsApp, kemungkinan besarnya ada dua: sedang tidur atau sedang naik motor.
Makanya, aku bisa tahu apakah Bapak sedang sibuk atau agak santai, apakah Bapak sedang mengendarai motor atau jam berapa Bapak mulai on the way pulang dari kantor. Tinggal lihat saja last seen di WhatsApp-nya.
Kalau saat itu jam setengah lima sore dan last seen Bapak menunjukkan pukul 16.15, berarti kemungkinan besar baru sekitar 15 menit yang lalu Bapak cabut dari kantor. Kalau ternyata statusnya online lagi pukul 16.35, berarti Bapak belum benar-benar pulang, masih ada agenda yang menahannya di kantor.
Kalau aku chat titip dibelikan sesuatu, dan dalam 30 menit status pesan tidak berubah centang biru, berarti Bapak sedang di jalan. Pesan itu tidak akan dibuka sampai Bapak tiba di rumah, karena Bapak tidak akan pernah membuka HP walaupun sedang berhenti karena lampu merah. Baru kalau ada yang menelepon, Bapak akan pelan-pelan mencari celah untuk menepi dulu baru mengangkatnya.
Status last seen itulah yang seringkali membuat tenang, karena berarti Bapak cukup baik-baik saja untuk bisa membuka WhatsApp.
But it's been two years since your "last seen", as you hadn't seen me, as I hadn't seen you for the whole two years now.
We're not seeing each other, but hopefully you're seeing your Lord with His blessings and forgiveness.
No comments