Hari Ulang Tahun
Sebentar lagi, Indonesia akan merayakan hari jadinya. Ucapan-ucapan mulai bertebaran seiring dikibarkannya bendera merah-putih di depan setiap rumah warga. Ngomong-ngomong, yang benar HUT RI ke-77 atau HUT ke-76 RI, hayo?
Salah semua, dong. HUT RI ke-71 salah, karena yang ke-77 adalah hari ulang tahunnya, bukan Indonesia-nya. Indonesia dari dulu cuma ada satu. HUT ke-76 RI juga salah, karena yang benar adalah HUT ke-77 RI. Hehe... garing, ya?
Ngomong-ngomong soal hari ulang tahun, nih, saya jadi terkenang berbagai peristiwa ulang tahun yang pernah saya lalui dan "rayakan". Ada yang berkesan saking indahnya, ada yang masih teringat saking enggak jelasnya.
Saya pernah melihat foto bayi saya sedang meniup lilin, tapi lupa waktu itu ulang tahun kesatu atau kedua. Cuma ada saya bersama Bapak dan Ibu, jauh dari kemeriahan pesta yang orang-orang kaya yang bisa menyewa gedung untuk merayakan ulang tahun pertama anaknya.
Dipikir-pikir, orang-orang mengadakan "pesta" ulang tahun untuk anak batita itu buat apa, sih? Kan, yang ulang tahun juga belum paham artinya ulang tahun, atau apakah benar hari itu hari ulang tahunnya. Apalagi, perayaan itu mengundang teman-teman yang... sebenarnya juga bukan "teman" si bocah, tapi teman-teman orang tuanya yang punya anak-anak kecil. Jadi, yang happy siapa, dong, anaknya atau orang tuanya?
Paling banter, ada fotonya doang, kali, ya. Bisa jadi bukti buat anak kalau dia disayang pas masih kecil dan bukannya jadi anak yang tidak diharapkan.
Oke, skip. Lanjut ke perayaan ulang tahun berikutnya yang saya ingat, ulang tahun keempat.
Hal yang paling berkesan dalam perayaan itu, selain kehadiran seluruh keluarga besar dan teman-teman saya di lingkungan tetangga, adalah saat itu saya membaca Al-Qur'an. Rasanya seperti saya sedang merayakan lulusnya saya dari Iqra' 6 di TPQ.
Yep, saya mulai belajar di TPQ sejak usia 3 tahun. Kata orang tua, saya sebenarnya sudah minta sekolah saat itu, tapi TK yang ada tidak menerima murid di bawah 4 tahun. Jadilah saya didaftarkan ke TPQ di belakang rumah. Selagi teman-teman sebaya sering bolos atau sembunyi di kolong meja saat mengaji (katanya gurunya galak, tapi saya enggak merasa, sih), saya menyelesaikan Iqro' lebih dulu dibanding yang lain. Makanya, di perayaan ulang tahun keempat itu, saya diminta membaca Al-Qur'an di depan hadirin.
Saat ulang tahun keenam, entah ide siapa, saya merayakannya di TK. Pokoknya waktu itu lumayan populer merayakan ulang tahun di kelas, trus orang tua bagi-bagi bungkusan jajanan ke teman-teman sekelas. Saya juga enggak tahu prosedurnya gimana, tapi waktu orang tua saya datang membawa sekardus bungkusan, seingat saya guru kelas sempat menegur, "Kok enggak bilang dulu?"
Memangnya harus bilang dulu? Begitu pikiran saya waktu itu. Kirain langsung datang aja. Hahaha....
Ulang tahun kedelapan, sepertinya, yang membuat saya paling merasa bersalah sampai sekarang. Ceritanya, saya dan beberapa teman kampung iseng menyebarkan undangan ulang tahun. Undangannya bahkan tak bisa dibilang undangan, cuma sepotong kertas, dirobek dari buku tulis, yang ditulis tangan lalu dibagikan ke teman-teman mengaji. Cuma main-main saja, sebenarnya, tak ada niat dari orang tua saya merayakan hari itu.
Makanya, bapak saya terkaget-kaget waktu pulang kerja mendapati beberapa orang (entah anaknya entah orang tuanya, lupa!) berkerumun di belakang rumah, mengonfirmasi undangan itu. Mungkin karena undangannya dadakan, ya.
Dari sudut pandang Bapak, mungkin ada rasa enggak enak juga. Masa mau bilang, "Itu undangan enggak benar, kerjaan iseng anak-anak saja."
My grandma saved the day dengan membawakan sebuah tumpeng, yang niatnya buat keluarga aja. Gara-gara ulah saya (dan teman-teman), jadilah tumpeng itu sebagai hidangan, ditambah beberapa snack lain yang juga dibeli dadakan.
Kalau diingat, agak kocak sebenarnya. Malunya masih terasa sampai sekarang, dan baru kali ini saya berani membicarakannya. Namun, yang jadi beban buat saya adalah... saya merasa saya sudah merepotkan Bapak. Siapa yang tahu kondisi keuangan beliau saat itu? Jangan-jangan, gara-gara saya, Bapak harus megoroh tabungan atau mengirit seirit-iritnya selama sisa bulan itu.
Ulang tahun kesepuluh... eh, kok tiap dua tahun sekali, ya, sepertinya? Wkwkwk...
Ulang tahun kesepuluh hampir merupakan pengulangan atas ulang tahun keempat. Kalau dulu "khataman" Iqra', kali ini khataman Qur'an. Jadi, sejak mulai ngaji Qur'an umur empat tahun dulu itu, baru khatam 30 juz di 6 tahun kemudian. Hehe...
Oleh guru ngaji saya, saya diminta mendaras dari Surah Adh-Dhuhaa sampai An-Naas. Tak dinyana, khataman di hari ulang tahun ini jadi tren di antara teman-teman santri TPQ. Ada juga yang kemudian merayakan ulang tahunnya dengan khataman... atau ngepasi khataman di hari ulang tahun.
Setelah itu, sampai kuliah, sudah tidak ada perayaan ulang tahun lagi. Paling sesekali mentraktir teman sekelas dan sekelompok mentoring di SMP (itu juga karena mereka yang "minta" walaupun bercanda; untungnya jumlah mereka paling banter jumlahnya cuma 15, jadi enggak boros-boros amat, wkwkwk).
Perayaan—kalau bisa disebut perayaan—berikutnya yang saya alami ketika di kampus. Iya, saya alami, bukan saya rayakan, karena bukan saya yang menyelenggarakan.
Pertama, waktu saya semester dua kuliah, saya dikerjain teman-teman wisma, pura-pura mau diajak keluar ternyata dilempari tepung dan diguyur air di teras. Walaupun sudah sering mendengar cerita orang diperlakukan demikian saat ulang tahun, baru kali itu saya mengalaminya sendiri, dan ternyata... saya begitu terharu!
Terharu karena mereka menyiapkan itu khusus untuk saya (padahal tidak untuk teman-teman yang lain, mungkin juga karena saya dianggap enggak bakal marah kalau dikerjain), dan saya menganggap itu berarti mereka menyayangi saya. Baca kisah selengkapnya di bagian kedua tulisan ini: Kado Indah Bernama Ukhuwah. (How I miss you, girls!)
Tahun depannya tidak seheboh sebelumnya. Saya hanya merasakan beberapa teman dekat di organisasi mau ngerjain saya, entah bikin saya marah atau apa, tapi lucunya, saya bisa menebak kelakuan mereka. Saya kabur ke warnet seharian (untungnya lagi enggak shalat), tapi masih juga di-chat via Facebook. Saya berlagak polos saja menanggapi chat mereka. Endingnya, salah satu dari mereka "menyerah" sendiri akhirnya, langsung to the point mengucapkan selamat ketika berkunjung ke wisma.
Jauh sesudah itu, saya mendapati sebuah kejutan (yang juga baru saya ingat ketika menuliskan ini) dari teman-teman sedepartemen di organisasi. Saya menganggapnya so sweet, walaupun bukan pertama kalinya mereka membelikan kue kejutan (lengkap dengan lilinnya) untuk salah seorang anggota departemen.
Mungkin ini karena para anggota sedepartemen itu lebih muda dari saya (walau paling-paling setahun-dua tahun lebih muda), jadi mereka masih oke-oke saja merencanakan sesuatu yang manis. Beda kalau ternyata mereka seumuran atau lebih tua, yang punya semboyan: tingkatan tertinggi ukhuwah adalah "mem-bully". Wkwkwk.
No comments