Penanggalan dan Hari
Sumber gambar: National Ocean Service (NOOA) US |
I
Entah bagaimana di negara lain, tetapi di Indonesia seringkali ada perbedaan soal penetapan waktu kedua hari raya, Idulfitri dan Iduladha. Dua metode yang digunakan adalah rukyat dan hisab, tapi biarlah orang-orang berilmu saja yang memperdebatkan keduanya.
Saya hanya ingin menyoroti argumen yang meletakkan Arab Saudi sebagai dasar penetapan bagi Indonesia, bahwa kalau di Arab Saudi sudah Idulfitri/Iduladha, harusnya di Indonesia juga sudah, karena waktu Indonesia lebih dulu daripada Arab Saudi.
Jika mendasarkan pada pergerakan matahari, bisa jadi betul, Indonesia melihat matahari lebih dulu daripada Arab Saudi. Permasalahannya, apakah benar Indonesia melihat matahari 4 jam lebih awal (berdasarkan WIB), atau justru 20 jam lebih lambat daripada Arab Saudi?
Kita terbiasa menggunakan kesepakatan "modern" bahwa titik bujur 0° melintasi kota Greenwich, Inggris, sebagai patokan zona waktu internasional dan titik bujur 180° yang sebagian besar melintasi Samudra Pasifik sebagai garis batas penanggalan internasional. Siapa pencetusnya, saya belum menemukan referensi validnya.
Berdasarkan konvensi tersebut, kita menyimpulkan bahwa waktu Indonesia lebih awal daripada waktu Arab Saudi; Indonesia memulai hari lebih dulu daripada Arab Saudi. Kalau di Indonesia kita sudah masuk tanggal 1 Januari 2022 pukul 00.00, di Arab Saudi masih 31 Desember 2021 pukul 20.00. Begitu Arab Saudi memasuki tahun baru, 1 Januari 2022 pukul 00.00, Indonesia sudah memasuki pukul 04.00.
Sekarang, bayangkan seluruh dunia menyepakati perubahan garis batas penanggalan internasional dari sekitar Samudra Pasifik menjadi sekitar area India. Tahun baru akan dirayakan pertama kali di India, lalu Arab Saudi, diikuti negara-negara yang lebih barat darinya yaitu Turki, Inggris, Amerika Serikat, baru Indonesia. Saat Indonesia masih berwaktu 31 Desember 2021 pukul 04.00, Arab Saudi sudah memasuki tahun baru. Giliran Indonesia memasuki tahun baru pukul 00.00, di Arab Saudi sudah 1 Januari pukul 20.00.
(Ngomong-ngomong, angka-angka pada jam yang saya sebut di atas masih menggunakan standar GMT, ya, biar bisa dipahami. Bakal beda lagi ceritanya kalau kita ubah garis waktu internasional ke Jogja, misalnya.)
Salah satu "keuntungan" menggunakan bulan sebagai penentu tanggal adalah seharusnya kita terbebas dari konvensi tersebut. Mau garis penanggalan diletakkan di mana pun, satu-satunya penanda adalah apakah hilal alias bulan sabit muda pertama sudah tampak di suatu daerah atau belum. Penentuannya berdasarkan fenomena alam, bukan garis khayal.
(Supaya adil, penentuan bulan sebagai patokan juga memiliki kekurangan. Kita jadi perlu "sidang isbat internasional" tiap bulan untuk menentukan menanggalan ini. Kalender pun bisa gonta-ganti tiap bulan.)
Itu berarti, tidak masalah kalau Arab Saudi berpuasa atau berhari raya lebih dulu dari Indonesia, karena bisa jadi hilal tampak lebih dulu di sana daripada di sini.
Nah, soal penentuan penampakan hilal ini mau pakai metode rukyat atau hisab, saya kembalikan ke ahlinya. Mereka juga yang punya hujah soal pada sudut berapa hilal disebut tampak.
II
Persoalan penentuan tanggal memang sudah selesai, tapi itu memunculkan pertanyaan baru soal hari.
Kalau kita benar-benar "jadi" mengubah garis batas penanggalan internasional itu, bagaimana dampaknya terhadap penentuan hari? Apakah, sebagaimana saat kita naik pesawat, akan ada negara tertentu yang kehilangan atau "ketambahan" satu hari selama proses penyesuaian?
Jika demikian, apa konsekuensi syariatnya? Jika hari yang hilang itu hari Jumat, apakah para muslim di negara tersebut jadi tidak salat Jumat? Sebaliknya, kalau suatu negara "ketambahan" hari Jumat, apakah muslim di sana jadi salat Jumat dua kali?
Lalu, bagaimana jika yang hilang itu hari Senin? Yang tadinya, jika ini hari Ahad, mereka akan harus salat Jumat lima hari lagi, mereka jadi harus salat Jumat empat hari lagi? Jika ternyata "ketambahan" satu Senin lagi dan sekarang Ahad, mereka jadi salat Jumat enam hari lagi? Jika dikonversi ke hitungan semua, berarti masing-masing salat Jumat hari Kamis dan Sabtu?
Atau, apakah konversi hari di langit (akhirat) berbeda dengan hari di bumi? Apakah penentuan hari, yang berimbas pada penetapan waktu salat Jumat, disesuaikan dengan kesepakatan setempat? Bolehkah demikian?
Kalau begitu, apakah sejak zaman Rasulullah sampai hari ini, hari-hari yang ada senantiasa saling menyambung, Ahad sampai Sabtu, tanpa pernah ada hari yang hilang atau bertambah?
Pada zaman Rasulullah, sudah ada syariat salat Jumat. Itu berarti, masyarakat Arab pada saat itu sudah mengenal perhitungan hari yang berjumlah tujuh. Apakah bahwa hari ada tujuh itu sudah berlaku di seluruh dunia? Terlepas dari nama Senin, Selasa, dan seterusnya, apakah hari pertama di Arab ekuivalen dengan hari pertama di Romawi atau di Cina?
Sepengetahuan saya, Bani Israil pada zaman Nabi Musa sudah mengenal hari ketujuh (Sabtu), yang dikhususkan agar mereka beribadah (ada keterangannya juga, sih, dalam Al-Qur'an). Berarti, pada masa itu pun hari sudah berjumlah tujuh. Apakah demikian juga yang berlaku pada masa nabi-nabi sebelumnya: Nabi Yusuf, Nabi Ibrahim, Nabi Nuh, Nabi Adam? Pernahkah ada gap hari, yang dikonversikan dengan hari seperti yang kita kenal sekarang, dari zaman Nabi Adam hingga zaman modern ini?
Bagaimana bisa hari yang berjumlah tujuh ini disepakati di seluruh dunia?
Bagus, sih, dunia menyepakati hari ada tujuh. Bayangkan, kalau hari pasaran Jawa yang dijadikan standar hari dunia. Jumlahnya cuma ada lima, padahal salat Jumat disyariatkan untuk dilaksanakan pada hari keenam. Susah juga, kan?
No comments