Cerita Kondangan
Beberapa waktu lalu saya menghadiri resepsi pernikahan rekan kantor di luar kota bersama beberapa rekan lainnya termasuk atasan. Perjalanan dari Jogja memakan waktu lima jam, jauh lebih lambat daripada yang diperkirakan. Begitu sampai, kami disuguhi es cendol dan grombyang. (Coba tebak, daerah manakah ini?)
Agak lama kami menunggu beberapa prosesi selesai, termasuk foto-foto keluarga, sebelum bisa menjumpai pengantin. Karena merasa masih lama, saya bersama teman saya minta izin menggunakan kamar mandi di rumah teman saya itu. Persis di depan kamar mandi, ada musala kecil. Mumpung sudah masuk waktu Zuhur, sekalian salat saja, nih, pikir saya, khawatir batal wudu kalau harus menunggu acara selesai dan mencari masjid. Bukan apa-apa, tapi ribet saja kalau harus wudu lagi sementara saya memakai jilbab segi empat. (Enggak biasa dandan, euy! Sehari-hari juga pakai kerudung langsungan.)
Selesai salat, teman saya memanggil, katanya rombongan sudah siap cabut. Saya melongo.
"Lo, memangnya sudah foto?"
"Sudah," jawabnya.
Waduh, sudah jauh-jauh perjalanan, susah-susah pakai jilbab segi empat, pula... malah enggak kebagian sesi foto! Cuma bisa menikmati dua jenis hidangan, pula. Lima jam perjalanan cuma demi ini?
Untungnya, habis itu masih ada tempat wisata yang sekalian mau dikunjungi, jadi enggak rugi-rugi bangetlah. Saya langsung balas dendam dengan berganti kerudung yang langsungan, wkwk.
Saya punya beberapa pengalaman unik soal kondangan. Salah satunya ketika ditunjuk jadi emsi tanpa diberi tahu konsep acara detailnya seperti apa. Baca, deh, tulisan sebelumnya, Emsi Walimah dan Jomblo "Bahagia".
Pernah juga, saya dan beberapa teman akhwat kondangan secara spontan tanpa direncanakan sebelumnya. Ceritanya, waktu itu habis ada rapat kampus, lalu kami berembuk mau makan siang di mana. Tiba-tiba kepikiran, seorang senior kami, kan, menikah hari ini. Di undangan, memang tidak tertulis nama kami secara spesifik, hanya undangan untuk organisasi atau angkatan. Merasa diundang, datanglah kami untuk makan siang memenuhi undangan. Seingat saya, waktu itu kami berempat atau berlima.
Lokasinya tidak jauh dari kampus, tapi cukup mblasuk. Apalagi, waktu itu Google Map belum terlalu populer. Ketika mendapati satu keramaian dengan tenda, lengkap dengan janur melengkungnya, kami penasaran: ini tempatnya, bukan?
Salah seorang teman turun dari motor untuk mengecek. Kocaknya, dia menanyakan pada orang yang berdiri di dekat situ, "Ini yang nikah siapa?"
Gubraks!
Eh, tapi malu bertanya, sesat di jalan, kan? Untung belum sampai masuk, nyicip makan, eh, pas salaman, mantennya enggak kenal.
Setelah menempuh beberapa jauh lagi, akhirnya kami menemukan lokasi walimah yang benar. Namun, karena sudah kesiangan, mantennya sudah masuk. Salat, mungkin. Tamunya tinggal sedikit. Oleh salah seorang keluarga (?) yang menemui, kami dipersilakan menikmati hidangan yang juga tinggal sisa.
Setelah menyantap satu-dua jenis makanan, kami berdiri melingkar tak jauh dari pelaminan, bertanya-tanya di mana mantennya. Mau menyelamati, kan.
Tahu-tahu, dari belakang kami terdengar suara, "Makasih, ya, udah datang."
Rupanya, itu mantennya! Haha. Agak kikuk juga, karena dia, kan, senior kami yang termasuk disegani, laki-laki pula, jadi jarang berinteraksi langsung lebih dari sekadar keperluan organisasi. Untungnya dianya bukan tipe pemalu (kelewat pede, malah, sebenarnya), jadi dia bisa mengisi obrolan dengan mengenalkan beberapa kawannya yang hadir kepada kami.
Giliran kami mau pulang, datanglah rombongan teman-teman ikhwan yang sebelumnya juga ikut rapat dengan kami. Kami cukup sulit menahan tawa: kami pikir kami sudah telat banget, ternyata ada yang lebih telat lagi. Mana makanannya sudah benar-benar habis dan sedang dibereskan! Haha.
Bertahun-tahun setelahnya, saya pun mengalami hal serupa, baru datang ketika acaranya sudah selesai. Di undangan, tertulis acara dari pukul 12 sampai 2 siang. Saya sudah berusaha datang paling telat pukul 1, tapi agenda lain menahan saya, dan baru tiba menjelang jam 2. Saya kira, tidak telat-telat bangetlah, ya. Kan, katanya selesai jam 2.
Meski begitu, siapa juga yang berniat datang kondangan di akhir waktu? Saya doang, kali, ya.
Waktu saya sampai, mantennya sedang foto-foto berdua. Para orang tua bahkan sudah turun dari panggung, entah di mana. Datanglah saya menyela aktivitas mereka, ikut berfoto.
Tahu, enggak, apa yang lebih konyol lagi?
Saya datang sendirian!
Haha, benar-benar sendirian. Habis, mau gimana lagi? Mempelai perempuan dulu pernah jadi guru ngaji saya. Teman-teman lain ada di luar kota, dan mereka mendelegasikan saya untuk datang dan mengambil foto. Sebenarnya, saya juga harus membelikan kado, tapi karena kadonya agak gede, enggak mungkin saya bawa saat itu juga (saya kirimkan beberapa waktu kemudian langsung ke rumah barunya).
Berasa datang numpang makan doang, ya. Untung makannya masih ada... dikiiiiiit. Untungnya pula, di situ masih ada salah seorang mantan teman kampus yang belum pulang. Ada teman, lah, ya.
Soalnya, nih, itu bukan pertama kalinya saya datang kondangan sendirian. Beberapa tahun sebelumnya saya pernah datang kondangan sendiri. Mutual friend saya dengan kedua mempelai ada di luar kota, dan saya tidak tahu ada mutual friend lainnya di situ saat itu. Bahkan, sebenarnya saya tidak terlalu akrab dengan mempelai. Hanya karena mempelai laki-laki yang merupakan seorang kenalan di sebuah pelatihan tahu saya tinggal sekota dengan mempelai perempuan (yang pernah jadi kakak kelas di SMA walaupun tidak pernah "bertemu angkatan", alias dia lulus saya baru masuk), dia mengundang saya.
Kalau cerita sebelumnya saya datang kucluk-kucluk waktu acaranya bisa dibilang sudah selesai, kondangan satu ini saya datangi ketika masih rame-ramenya. Benar-benar kayak orang hilang di tengah kerumunan. Ketemu, sih, satu orang kenalan, tapi karena yang saya temui itu "mantan" guru saya, saya sungkan duduk lama-lama bersama beliau.
Ini mengingatkan saya pada kondangan pertama. Dikatakan pertama... karena kali itulah saya mendapat undangan atas nama saya sendiri; biasanya, kan, orang tua yang diundang, dan saya ikut. Waktu itu saya masih SMA, dan yang mengundang adalah teman SMP. Karena saya berhalangan hadir pada hari H, saya datang ke rumah teman saya itu beberapa hari setelahnya.
Jangankan ada Google Map, HP dengan teknologi inframerah saja sudah termasuk canggih, dan saya tidak punya. HP saya masih Siemens "Doraemon". Saya tidak tahu lokasi persisnya, tapi untungnya ada teman SMA saya yang rumahnya dekat dengan rumah teman SMP yang mengundang itu. Dialah yang menjadi guide buat saya, meskipun karena mereka tidak saling kenal, saya dipersilakan masuk sendirian sementara si guide ini pulang.
Saya hanya disambut si manten anyar, hanya yang perempuan karena dialah teman saya, dan mempelai laki-lakinya mungkin sedang kerja (lupa!). Saya bingung mau ngobrol apa lagi selain memberikan ucapan selamat. Ibunya menyuguhkan sepiring nasi kepada saya, sambil mengucapkan, "Kalau di desa, ya, begini adanya, Mbak," mungkin karena melihat saya agak sungkan memakannya sendirian, sementara teman saya itu tidak ikut makan.
Berasa krik krik banget, tau!
Undangan-undangan lain untuk saya datang lebih banyak ketika saya kuliah. Sejak saat itu, hampir setiap perjalanan saya ke luar kota yang tidak bersama keluarga berarti untuk kondangan. Kota-kota yang pernah saya jelajahi untuk kondangan antara lain Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Cirebon/Kuningan, Pemalang, Purbalingga, Banjarnegara, Solo. Semarang dan Jogja, tentu saja.
Masing-masing kota punya cerita unik. Sebagian sudah pernah saya tuliskan, sebagian baru dalam tahap keinginan untuk diceritakan, wkwkwk.
Kota mana lagi yang akan saya kunjungi untuk kondangan?
Eh, kondangan melulu, kapan dikondangin?
Ups!
hayoooo
ReplyDeletehahaha
♪┏(・o・)┛♪┗ ( ・o・) ┓♪
DeleteNasi grombyang Pemalang kah? (habis googling, sih, hahaha). Sekilas warnanya agak gelap, apa rasanya mirip-mirip sama rawon? Jadi penasaran, hehe (kok sy jadi salfok ke makanannya wkwk)
ReplyDelete