[Serial Kemah Raya] 9# Gambang Suling
[Diary Kemah Sangga Star Light Kelas X-2 SMANSA Ungaran]
===================================================================
Sebelum ada perintah tidur, kami diminta keluar. Hujan sudah berhenti, jadi acara api unggun dan pensi tetap diadakan. Demi terlaksananya api unggun, para Sangker harus “menguras” genangan air hujan di lapangan.
Bukan pekerjaan yang mudah. Beberapa anak yang melihatnya merasa kasihan dan ingin membantu. Tapi kami takut DA-nya ngamuk-ngamuk kalau tahu para Sangker dibantu.
Sampai akhirnya, Mbak Deny mendatangi kami yang berdiri di pinggir lapangan, “Kalian mau kan, api unggunnya dilaksanakan? Nah, biar cepet, tolong ambil ember dan bantu kami. Untuk yang mau maju pensi, boleh latihan saja.”
Anak-anak bergegas kembali ke barak mengambil gayung, ember, bahkan piring untuk membantu para Sangker. Sayangnya aku nggak kebagian gayung atau ember. Jadi aku nggak ngapa-ngapain. Nggak enak banget cuma berdiri menonton mereka bersusah payah membuang air.
Setelah air hampir habis, Kak Narendra mendatangi anak-anak kelas X dan berkata, “Terima kasih atas bantuan kalian. Biar kami yang menyelesaikan. kalian sekarang ke barak pensi.”
Ketika aku memasuki barak pensi bersama teman-temanku, sudah banyak anak yang memenuhi barak. Masing-masing berkumpul menurut kelasnya.
Suasana rame, agak pengap, aku ingin keluar. Mending menulis di luar sambil menghirup udara segar, pikirku. Tapi kujalani juga duduk di sini bersama anak-anak X-1 dan X-2 sambil ngantuk-ngantuk, menelungkupkan kepala di atas kaki untuk tidur.
Sekali lagi, sebagai anak yang kuper plus nggak gaul (alias GAgal ULangan, hehehe), aku nggak tahu lagu apa yang anak-anak itu bawakan. Mataku baru terbuka ketika melihat pempilan kelas X-8, yang membawakan Ketahuan-nya Matta, ketika melihat Bu Ani Taru berdansa dengan Pak Hari Murti.
Sebagai penutup, giliran anak Imersi yang lagi-lagi jadi satu. Anin yang Sie Kesenian X-2 maju bersama Rina, Anggi, Cintamy, Tandya, dan Icha si anak X-1, serta serombongan anak laki-laki yang menenteng gitar pinjaman. Kami yang di belakang heboh sendiri menyemangati mereka. Icha dengan pedenya menyapa semua anak sebelum mereka mulai menyanyi.
“Gambang suling... kumandang swarane... tulat-tulit... kepenak unine...”
Suara mereka terdengar sangat pelan. Lama-lama, mulailah mereka berteriak-teriak keras menyanyikan Gambang Suling yang dimodifikasi. Lalu disambung dengan Prahu Layar. Dua lagu tradisional yang sejatinya bernada lembut itu, mereka sulap menjadi musik dugem yang sanggup membuat Bu Ani Taru ikut berjingkrak bersama para penyanyi di depan.
Anak-anak imersi yang tidak ikut maju heboh sendiri dari tempat penonton. Aku bahkan kesulitan menahan diri agar tidak “over” dalam aksi gila-gilaan itu. Sementara anak-anak kelas lain tak banyak yang mengeluarkan suara. Bukannya penampilan imersi kurang bagus, tapi karena mereka terpana dan terpesona sampai tak bisa bicara.
Hebat sekali, bukan?
Setelah itu upacara api unggun. Kita udah siap sedia, ternyata cuma gladi bersih. Jadi sedikit-sedikit, “Pre memori.” Semua anak dongkol berat. Banyak anak yang meledek “Pre memori” begitu setiap sang MC (?) membacakan acara berikutnya. Kompak, dalam hal ini.
Pas upacara sungguhan, anak-anak tidak berbaris serapi tadi. Sudah capek semua. Eh, tapi keren, lho, Dasa Dharma-nya bilingual. Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Anin mendapat giliran membacakan Bahasa Inggris-nya dharma ketujuh.
Setelah petugas penyalaan api Dasa Dharma (gitu sebutannya) kembali ke pinggir lapangan, semua orang dikejutkan oleh bola api yang mendadak dilempar seseorang dari atas. Bola api yang sejatinya mau dilempar ke tengah-tengah api unggun itu jatuh sebelum mencapai tujuan. Untung jatuhnya tidak di barisan anak-anak.
Beberapa panitia laki-laki berkali-kali melempari api unggun itu dengan buntalan plastik berisi minyak agar nyala api lebih besar. Apalagi ketika buntalan minyah yang diikatkan ke tiang persis di tengah api dipecah. Anak-anak yang berada di barisan depan dan paling dekat dengan api (termasuk aku), serentak mundur.
Upacara api unggun selesai. Anak-anak berduyun-duyun kembali ke barak masing-masing. Tiba-tiba terdengar desisan, bunga api yang “ditembakkan” oleh panitia laki-laki melesat ke angkasa. Bunga api itu meledak dengan indah. Tak hanya satu-dua kali, melainkan berkali-kali dengan berbagai warna, menghiasi malam.
Mungkin karena kecapekan atau lupa memasang alarm, niatku bangun jam tiga gagal. Aku baru terjaga pukul empat pagi. Adzan subuh sudah berkumandang. Dasar malas, bukannya ambil wudhu terus shalat, aku malah tidur lagi. Baru shalat subuh jam lima! Mentari sudah tersenyum pada bumi.
Anin, yang baru keluar, kembali ke barak dengan loyo. Seorang anak X-1 (aku lupa persisnya) memijatnya, lalu aku menawarkan diri menggantikan posisi anak X-1 itu. Anin tertawa geli ketika jemariku berlarian di punggungnya.
Yeah, selama kemah ini, aku memang jadi tukang pijat bagi mereka. Mereka mengakui pijatanku enak buanget. Sejak pertama kali datang sampai pulang, Dina dan Hanum menjadi pelanggan setiaku. Dua anak ini tak pernah melewatkan kesempatan untuk dipijat. Belum lagi ada Fitri yang ketularan mereka.
Sampai-sampai anak-anak berseloroh, “Lil, kamu jadi seksi pijat aja.”
Atau, “Lil, kamu emang berbakat jadi tukang pijat.”
Oalah...
No comments