[Serial Kemah Raya] 4# Malam Pertama
[Diary Kemah Sangga Star Light Kelas X-2 SMANSA Ungaran]
===================================================================
Aku, Hanum, Dina, Fitri, dan Ummi bergegas menyiapkan baju ganti dan peralatan mandi, kemudian, ditemani Anin, berjalan santai ke rumah kerabat Anin yang tak jauh dari bumper untuk numpang mandi. Dia sendiri ke sana hanya mengambil motornya, kemudian melesat pulang ke rumahnya yang dekat terminal Sumowono.
Di sana ada dua kamar mandi. Salah satunya gelap dan tidak ada kuncinya. Ummi, Hanum, Dina, dan aku memilih kamar mandi yang komplit fasilitas (baca: lampu dan kunci). Beberapa saat kemudian, Novira telah bergabung dengan kami.
Sambil menunggu antrean, kami berkali-kali diingatkan oleh seorang Mbah putri yang ada di sana untuk tidak terlalu banyak menggunakan air, karena susah sekali mendapatkan air. Kami hanya bilang, “Inggih, inggih,” berkali-kali. Habis, nggak bisa krama inggil. Mungkin cuma Fitri yang krama inggilnya cukup lancar di antara kami. Rina hanya ketawa-ketiwi ketika berusaha berkomunikasi dengan Mbah itu.
Seragam pramuka kami yang masih basah kuyup dijemur sebentar di depan kamar mandi milik kerabat Anin itu. Di barak, kami mengikuti jejak kelas X-3 (yang tidur di paling ujung barak, sebelah anak imersi): menghubungkan jendela di atas kami dengan jendela di atas tikar X-1 di seberang menggunakan tali pramuka untuk membuat jemuran.
Tali itu menggantung rendah hampir menyentuh lantai lantaran keberatan “menampung” tak kurang (jadi bisa lebih) dari sepuluh pakaian. Anak-anak yang mau lewat harus menerobos tali itu. Eliyta cari sensasi dengan meloncatinya. Walhasil, ikatan jemuran di jendela X-1 lepas. Dan jatuhlah tali yang mengggantung baju-baju itu dengan manisnya.
Sejak saat itu, dibuatlah aturan dilarang meloncati tali jemuran. Meski begitu, banyak anak yang dengan santainya meloncatinya. Untunglah tali itu sudah diikat lebih kencang, jadi tidak jatuh lagi.
Tiga meter dari jemuran itu, anak-anak membuat jemuran lagi. Di ujung kedua tali itu, lagi-lagi dipasang tali jemuran. Kalau melihat sekilas saja ketiga sisi tembok barak kami, kau bisa memilih baju mana yang paling kausuka.
Usai shalat Maghrib, sekali lagi kukeluarkan Al Qur’an mungilku. Anak-anak memintaku membaca lebih keras agar mereka juga bisa mendengarkan. “Kan yang mendengarkan juga dapat pahala,” begitu alasan mereka.
Kuajak mereka semua ikut mengaji, biar nggak cuma mendengarkan. Hanya Anggi yang bersedia. Dia membaca surat Al Baqarah ayat 1-18. Keutamaan surat Al Baqarah adalah, setan tidak akan memasuki rumah yang dibacakan surat Al Baqarah. Jadi makhluk-makhluk halus yang katanya “menunggu” bumper ini tidak berani mengganggu makhluk-makhluk “kasar” macam kami.
Beberapa anak lain yang juga mau mengaji tidak mendapat giliran. Peserta sudah dipanggil bahkan sebelum Anggi membaca lebih banyak. Kumasukkan Al Qur’an itu ke dalam saku jaketku dengan tergesa. Jaket itu sendiri kulemparkan asal saja ke atas tas, karena tidak boleh dipakai.
Acaranya nonton film. Dasar anak-anak, di barak yang digunakan untuk nonton film itu mereka berceloteh melulu. Bukan seperti kicau burung-burung bernyanyi yang menyambut mentari pagi dengan suara merdunya, celoteh anak-anak ini bener-bener akan jauh lebih merdu dari celoteh burung-burung itu kalau mereka menyimpan suaranya dalam hati.
Panitia jadi kewalahan menenangkan kami.
“DIAAAAM!!!” raung Sangker putri yang ada di depan.
Dari apa yang sejak awal diputar di layar yang berupa tembok yang mendapat pancaran cahaya dari LCD, kami yakin akan menonton Long Road to Heaven, yang menceritakan tentang tragedi bom Bali. Tapi, setelah muncul tulisan sensor itu, di bagian judul tertulis, “Nagabonar Jadi 2.”
Serempak anak-anak mengeluh. Penonton kecewa!
“Udah pernah nonton,” kata Bulan padaku.
Aku menyahut, “Aku juga. Malah kalau nggak seminggu ya dua minggu yang lalu.”
Karena sudah pernah nonton, aku tidak kesulitan memahami jalan ceritanya. Bahkan di tengah kicau anak-anak lain, aku bisa menangkap kalimat yang diucapkan. Begitu seriusnya aku menonton, sampai-sampai Hanif berujar, “Lil, kamu kok nontonnya serius amat.”
Aku cuma nyengir. Dia sendiri dari tadi asyik ngobrol dengan Bulan dan dua anak X-3. Hanya sekali-sekali memperhatikan.
Disc 1 selesai. Kukira disk 2 baru akan diputar besok, karena, melirik jam tangan, sudah waktunya tidur. Ternyata dilanjutkan. Anak-anak yang sudah mengantuk dengan santainya tidur, sementara yang lain asyik ngobrol dengan teman sekitarnya.
Empat puluh lima menit kemudian, film selesai. Semua anak bertepuk tangan lega, karena akhirnya bisa tidur.
“Hanum, aku pinjem HP-mu, ya. Buat alarm, nih,” kataku saat kami bersiap-siap tidur. Sesudah shalat Isya’, tentu.
Hanum menyerahkan Sony Ericson-nya, dan berwasiat, “Kupasrahkan HP-ku sama kamu, ya. Aku percaya sama kamu.”
Setelah kupasang alarm pukul 02.00 dan 03.00, aku main game favoritku di HP itu.
“Lila kok malah mainan,” komentar Dina.
“Habis aku nggak bisa tidur, sih,” jawabku sekenanya. Aku masih asyik dengan HP, sementara semua anak dalam ruangan itu sudah tidur dengan nyenyaknya. Tapi mataku belum mau terpejam.
Setelah melalui beberapa level, akhirnya kantuk bersedia mengunjungiku. Kumasukkan HP itu ke dalam saku dalam jaket, lalu berbaring miring ke kanan dan langsung tertidur.
Beberapa detik kemudian, atau begitu rasanya bagiku, aku membuka mata. Seperti ada yang membangunkanku. Kupikir alarm. Kemudian, mendadak saja terdengar dentuman keras seperti meriam yang ditembakkan zionis Israel kepada anak-anak Palestina yang tak berdosa. Suara menggelegar itu diikuti suara bariton seorang anggota Sangker, “BANGUUUN!!!”
No comments