[Serial Kemah Raya] 5# Gitu Doang?
[Diary Kemah Sangga Star Light Kelas X-2 SMANSA Ungaran]
===================================================================
Jantungku terlonjak. Kulirik jam tanganku. 00.30. Ngapain mereka membangunkan kami jam segini? Katanya nggak ada jerit malam? Bukankah kami dijadwalkan bangun jam empat?
“Apa-apaan! Aku aja belum tidur sama sekali,” gumamku keras. Aku lupa sudah tidur selama satu jam empat puluh lima menit.
Alhamdulillah kacamata, kaos kaki, rok panjang, dan jilbabku sudah nangkring di posisi masing-masing. Aku hanya perlu melepas jaketku (yang tidak boleh dipakai), melemparnya asal-asalan ke atas tas, dan memakai sandal untuk benar-benar siap.
Mbak Anisa dan Mbak Septi sudah berdiri di dekat tali jemuran pertama. Dia berteriak keras sekali membangunkan kami, sampai suaranya nyaris serak, “Tiga puluh detik lagi. Keluar SEKARANG!!!”
Aku berlari secepat kaki pegalku sanggup. Seperti biasa, butuh waktu lama untuk menemukan seluruh anggota sangga masing-masing dan berbaris rapi. Gigiku gemeletukan keras sekali. Kukatupkan mulut rapat-rapat agar berhenti, tapi sedetik kemudian gigiku gemeretukan lagi saking dinginnya.
Semua sudah diam. Mbak Septi berteriak, “Dengarkan baik-baik! Aku nggak akan mengulang, aku cuma bilang sekali. Ambil slayer kalian! Dua menit!”
Nggak dari tadi sekalian, rutukku jengkel. Aku berbalik mau kembali, namun terdorong oleh banyak tubuh sampai nyaris jatuh. Aku terhuyung dan mendongak sekilas. Banyak sekali tubuh anak laki-laki berukuran XL di depanku, berusaha berlari kembali ke barak secepat mungkin. Mereka sama sekali tidak ber-simPATI kepadaku yang bertubuh IM3 alias IMut-IMut-IMut ini dengan sekadar memberikan celah buatku berlari ke barak di antara mereka yang berlari ke arah yang berlawanan.
Sendiri kembali ke lapangan, aku melewati seorang anak yang sedang jatuh pingsan di antara teman-temannya yang menjerit histeris dan memanggil para Sangker. Aku memaki Sangker, tahu rasa, kalian!
Tapi mereka malah menyalahkan, “Kan sudah dibilangin, yang sakit lapor! Ngapain diam saja?!”
Belum jauh aku berjalan, ada lagi seorang anak yang juga sedang jatuh pingsan. Komentar Sangker terdekat sama seperti sebelumnya, bahkan menambahkan, “Bukan salah kami!”
Bisa saja kan sebelumnya mereka tak merasakan apa-apa, tapi karena campuran antara kelelahan berlari dan ketakutan kepada kalian, mereka baru pingsan, batinku sebal sekali pada Sangker.
Melihat betapa banyak anak yang pingsan itu, aku berdoa sungguh-sungguh agar tidak pingsan. Aku ingin ikut acara ini, karena pasti akan menarik dan seru sekali, meski harus dibentak Sangker sekejam Hitler itu.
“Cari pengampu kalian masing-masing!”
Sulit sekali menemukan anggota Star Light yang lain dan Mbak Alfitri. Aku hanya menemukan Hanif dan Cintamy yang sama-sama kebingungan. Memandang berkeliling, kami melihat mereka ada di sudut kanan lapangan, digabung dengan anak-anak X-1. Di depan mereka, berdiri dua pengampu kami, Mbak Lilik dan Mbak Alfitri.
Mengingat kelucuan, keramaian, keakraban, dan wajah kewalahan mereka menghadapi adik-adik ampuannya di kelas, aku mencoba membayangkan sekilas seperti apa kegalakan mereka malam ini. Dan pertanyaan ini terjawab setelah aku tiba di barisan Star Light dan Tazmania.
Wow, aku nggak pernah menyangka Mbak Lilik bisa setegas itu. Apalagi kalau ingat ke-nervous-annya waktu jadi kandidat calon ketua Rohis.
Beda banget...
Dia menyuruh kami mengambil jaket. Tapi karena pikiranku belum on sepenuhnya meski mata udah melek lebar, aku mengira dia mengeluarkan perintah untuk anak-anak yang kedinginan saja. Baru nyadar setelah semua anak berlari, dan karena aku sudah tidak kedinginan lagi, aku bertanya pelan yang tak mungkin terdengar Mbak Lilik, “Semua?”
“Semua ambil jaket!” teriaknya seolah mendengar pertanyaanku. “Waktu kalian satu menit.”
Saat aku menaiki tangga menuju lapangan, sisi perutku terasa sakit. Tenggorokanku benar-benar kering, bahkan air ludah sama sekali enggan untuk keluar. Tapi masa gitu aja udah nyerah? Katanya mujahidah, yang mau ke Palestina memerangi Israel?
Bertahan, Lil.
Allah, kuatkan aku.
“Jaketnya jangan dipakai! Siapa suruh pakai jaket? Ikat jaket kalian di pinggang!”
Duh, padahal di saku dalam jaketku ada Al Qur’an. Karena terburu-buru tadi, aku belum sempat mengeluarkan Al Qur’an kecil itu. Tidak mungkin memosisikan Al Qur’an yang suci di belakang bawah, aku mengikatkan kedua lengan jaketku di samping kanan, sehingga badan jaketku ada di samping kiriku.
“Siapa yang sakit?” tanya kedua pengampu itu tegas. Berulang-ulang. Rina dan beberapa anak X-1 mengangkat tangan. Mereka dibawa ke tepi.
“PMR!” panggil Mbak Lilik. Seorang anggota PMR terdekat menghampiri dan mengurus Rina dan yang lain.
“Siapa lagi?”
Cintamy mengangkat tangan ragu-ragu. Mbak Lilik, yang berjalan pelan mengitari kami dan sedang menghadap ke depan sehingga tidak melihatnya, membentak, “Kalian denger, nggak?!”
Lihat ke sini, Mbak, batinku. Ini ada yang ngacung. Makanya jangan ngamuk terus. Barulah setelah beberapa anak memberitahunya, Cintamy diizinkan keluar barisan.
“Siapa lagi? Bener, nggak ada lagi yang sakit? Bilang! Nggak usah takut! Kalau ada yang sakit, pasti ketahuan. Aku hitung sampai tiga! Satu...”
Aku ragu-ragu. Aku ingin berkata dengan menantang, “Kalau dehidrasi, bolehkah aku minum saja kemudian kembali ke barisan? Apakah alasan itu akan kalian terima?”
“Dua...”
Tapi aku males berdebat dengan orang-orang “stres” kayak gitu. Percuma, nggak ada gunanya. Lagipula, teman-teman yang lain pasti juga merasakan hal yang sama. Kalau aku minum, itu artinya aku egois.
“Tiga! Bener, nggak ada?”
Udah, cepetan!
“Sekarang, tutup mata kalian dengan slayer. Tiga puluh detik dari sekarang!”
Emang kuis?
“Ada yang masih ngantuk? Jawab! Kalian masih ngantuk, nggak?”
“Siap! Tidak!” jawab anak-anak serempak, kecuali aku yang nggak bilang apa-apa. Malah aku membatin, bahasanya gaul banget! Harusnya agak baku sedikit, biar lebih berwibawa. Jangan pakai kata ‘aku’ atau ‘nggak’, misalnya. Pakai ‘saya’, kek! Kalau bahasanya nggak baku gini kan kesannya kalian seperti orang frustasi yang asal ngomong menurutkan emosi.
“Angkat kaki kanan kalian!”
Gile bener. Paha masih pegel gini gara-gara Olahraga kemarin yang belum ada 48 jam yang lalu. Untung aku pakai rok panjang. Jadi aku angkat kaki cuma tiga detik, setelah itu kuturunkan kakiku. Biar nggak kelihatan banget kalau aku berdiri dengan dua kaki, kaki kananku bertumpu pada jari, bukan tumit.
Nakal banget, ya?
“Kalau kaki kalian masih goyang, artinya kalian masih ngantuk!”
Yee, kakiku nggak kuat bukan karena ngantuk, tapi karena sakit untuk gerak, tau!
Aku mendengar Mbak Lilik dan Mbak Alfitri marah-marah, “Kalian sudah dibilangin nggak boleh bawa HP, kenapa masih bawa?!”
Disuruh Pak Erie, jawabku dalam hati. Kata beliau, biar kalau ada kabar penting dari rumah kami bisa dihubungi.
Tapi yang suruh bawa HP kan cuma satu, Lil, yaitu Anin. Hanum nggak ditugasi bawa HP, tapi dia tetap bawa.
Yang kukhawatirkan waktu itu, kalau sampai HP Hanum yang masih di kantong jaketku disita. Kalau HP-ku sendiri sih nggak apa-apa, tapi ini punya orang lain. Mudah-mudahan saja nggak ketahuan.
Dan berbagai perintah tambahan dikeluarkan. Peringatan, “Nggak ada suara maupun gerakan tambahan,” berkali-kali dikatakan. Tapi aku ngeyel. Aku menyanyi dzikir dengan suara pelan, “Allahu Akbar... Allahu Akbar...”
Belum lagi waktu suruh berbalik dan memegang pundak teman di depannya, aku iseng mijitin entah siapa. Dari rambut lebat yang terurai, aku hanya bisa menduga kalau bukan Fitri ya Hanum (soalnya lupa bentuk dan ukuran rambut mereka). Lho, apa hubungannya antara rambut dan pijatan?
Disuruh jalan, muter-muter, aku nurut aja sambil terus bersenandung takbir. Setiap berhenti terlalu lama, aku mulai bosan. Mengurangi kebosanan, sekali lagi aku iseng memijat pundak teman di depanku.
Sekali berhenti cukup lama, aku mendengar perintah yang ditujukan kepada kelompok lain. Ketika mereka menurutinya, sang pengampu membentak, “Pimpinan belum diambil alih, kenapa kalian menuruti?!”
Giliran kelompokku yang dijebak seperti itu. Karena sudah mendengar nasib kelompok lain, aku tak mau menuruti perintah yang dari suaranya, jelas keluar dari laki-laki. Beberapa anak terjebak menuruti perintah itu, jadi Mbak Lilik dan Mbak Alfitri membentak.
“Yang kelas X-1 dan X-2, balik kanan, gerak!”
Tapi di antara teriakan para Sangker lain, aku ragu-ragu. Takut kupingku salah dengar, jangan-jangan instruksi itu untuk yang bukan X-1 dan X-2. Beberapa saat aku mematung dalam keadaan semula, sampai aku sedikit melirik ke bawah sejauh mataku bisa memandang di bawah tutupan slayer. Kulihat kaki seseorang, menandakan orang itu berdiri menghadapku. Aku baru balik kanan.
Ih, telmi nih ye...
“Tanya sama depanmu, ini di mana!” aku mendengar bentakan di belakangku, yang seperti suara Mbak Alfitri.
Terdengar suara Bela bertanya takut-takut, “Kak, ini di mana?”
Mbak Alfitri ngamuk lagi. Bela hanya diam.
Muter-muter lagi, dipisah dari rombongan untuk digabung dengan rombongan lain, pokoknya gitu-gitu doang. Lalu ketika disuruh jalan lagi, aku bisa merasakan bahwa aku sudah di jalan beraspal yang memisahkan lapangan utama dengan barak putra. Karena antara rumput dengan aspal kan bisa dirasakan perbedaannya. Apalagi jalannya menanjak.
Lalu belok kiri. Kami berjalan sepanjang jalan depan, kemudian belok kiri lagi. Tentunya kami sudah memasuki jalan menurun yang menghubungkan lapangan dengan barak putri. Kami digiring masuk lagi ke lapangan.
“Ambil posisi duduk!
“Angkat tangan kalian!”
Aku mengangkat tangan. Capek, nggak segera ada perintah turun. Kedua tanganku saling berpegangan. Keadaan gitu, aku denger suara dua laki-laki yang mengerjai kami, “Kalian pernah lihat ritual tari Bali, kan? Sekarang lakukan gerakan itu.”
Enak aja, sahutku. Aku pengin banget ngakak keras dan gatel mau membantah mereka, “Pimpinan belum diambil alih, tahu! Jadi kalian nggak usah seenaknya memerintah kami!”
Sepeninggal kedua laki-laki iseng itu, Mbak Lilik membentak-bentak kami terus. Aku diam saja, mendengarkan, dengan pikiran melayang ke mana-mana. Lucunya, dalam hati aku berkali-kali menimpali ocehannya, ingin sekali mengeluarkan bersitan di kepala itu.
Misalnya, waktu Mbak Lilik bilang, “Apa kalian nggak malu jadi anak imersi?”
Aku menyahut dalam hati, Kenapa harus malu? Kita juga udah bayar lebih mahal. Dasar, kalimat andalan anak imersi!
“Imersi itu terkenal manja, kalian tahu, nggak?”
Nggak, tuh. Masa, sih? Lagian, Mbak Lilik sendiri kan dulu juga anak imersi, berarti Mbak Lilik juga manja, dong!
Nggak tahunya, kalimat terakhir ini juga terlintas di kepala anak-anak lain. Wuakakakakakak...
Mbak Lilik juga menyinggung kami dalam hal pensi (pentas seni). Menurutnya, anak-anak imersi nggak ada yang mau langsung maju untuk pensi, harus disuruh dulu.
Oh, ya? bantahku. Imersi 1, kali. Imersi 2 sudah punya Anin yang begitu hobi menyanyi, yang dengan sukarela siap maju untuk pensi apa pun. Belum lagi anak laki-laki yang juga pede-pede kalau suruh akustik.
“Tunjukkan bahwa kalian adalah yang terbaik! Kalian, imersi angkatan empat, harus bisa menunjukkan kalianlah murid imersi terbaik. Bisa?!”
“Siap! Bisa!”
“Ketua sangganya siapa? Angkat tangan!
“Sebutkan nama anggota regumu!”
Suara Annida membelah keheningan kami (meski di sekitar masih hiruk pikuk anak-anak centil dan manja plus teriakan Sangker ‘stres’). Lalu giliran Anin. Suaranya (aduuuh!) pelan banget. Keduanya, Anin dan Annida, mengalami nasib yang sama, setiap berhenti sejenak, entah Mbak Lilik atau Mbak Alfitri membentak (lagi), “Masa sama anggotanya sendiri kalian nggak hafal?!
“Yang aku pegang pundaknya, teriakkan nama kalian!”
Ternyata semua anak dipegang. Terdengar dari seruan anak-anak yang menyebutkan nama masing-masing, jelas sekali semua nama. Dengan tenggorokan kering, aku berusaha berteriak. Teriakanku membuat tenggorokanku... biasa saja. Karena aku emang sudah biasa teriak-teriak.
Kami dibawa kembali ke jalan di sebelah kiri. Tak lama kemudian kami berhenti, di depan barak kami. Kami tahu itu.
Tanganku dilepas oleh seseorang. Seseorang itu mengajakku berjalan beberapa meter sampai di sebelah kiri barisanku yang tadi.
Kami disuruh duduk. Sebuah tangan menyentuh lenganku, menyuruhku maju lagi sedikit. Aku tahu pemilik tangan itu laki-laki, bahkan tanpa dia berkata, “Maju sedikit, Dik.”
Aku maju sambil berusaha melepaskan tanganku baik-baik dari sentuhan lelaki yang bukan muhrimku itu. Tapi dia tetap memegangku.
“Dik, maju lagi dikit...”
“Ya!” sergahku marah. “Jangan sentuh!”
Emang aku nggak bisa marah-marah kayak kalian?
Barulah tangan itu melepasku.
Tak ada instruksi lanjutan. Anak-anak kelas lain yang tak jauh dari tempat kami bener-bener ribut. Mengganggu lamunanku. Habis mereka manja banget, sepertinya hanya ditinggal pengampunya saja, tapi mereka sudah “ketakutan” bukan main.
Pengen banget aku menyuruh mereka diam, “Ssst!” Pura-pura Sangker, gitu. Cuma nggak kesampaian.
Setelah dikasih sedikit ‘penutup’, (kayaknya) Mbak Lilik berkata lagi, “Pakai jaket kalian.
“Kancingkan!”
Instruksi terakhir, “Untuk imersi, buka tutup mata kalian!”
Aku membuka slayer kepanduan SMP-ku itu. Agak sedikit pusing karena tidak pakai kacamata. Aku merogoh saku celanaku mengambil kacamata dan memakainya. Udah nggak pusing, sih, tapi karena kacamata kotor, pandanganku masih nggak jelas.
“Lihat kalian di mana,” perintah Mbak Lilik. Kali ini suaranya kembali normal seperti biasa, bahkan riang seperti membuat kejutan.
Retinaku menangkap bayangan barak tempat tinggalku sementara. Beberapa anak menyahut, “Udah tahu, Mbak.”
Aku menaikkan alis. Cuman gitu doang? Yah, nggak seru! Kirain dibawa sampai kuburan terdekat, paling tidak dibiarkan sendiri di sebuah tempat di luar bumper.
Jatahnya tidur, kami masih asyik ngobrol beberapa saat. Di deretan seberang, kulihat Lolita sedang shalat Tahajjud. Aku berusaha mengajak anak-anak X-2 shalat Tahajjud, tapi mereka mungkin terlalu lelah dan mengantuk.
Dua ekor... eh, dua orang Sangker putri masuk lagi ke barak kami.
“Semuanya, tidur! Nanti kalian harus bangun jam empat! Dalam hitungan ketiga semua harus sudah tidur!”
Deu... kayak hipnotis aja.
Aku hanya memejamkan mata, pura-pura tidur. Sepeninggal dua Sangker itu, perlahan-lahan mulai terdengar suara. Sementara itu, aku asyik main game di HP Hanum lagi.
Lalu masuklah empat orang guru, paling kanan guru laki-laki, aku belum tahu namanya. Paling kiri Bu Pudji. Dan di sebelah Bu Pudji...
“Itu Bu Fat, kan?” aku berpaling pada Tandya yang tidur di sebelah kiriku.
“H-m,” jawabnya.
“Habis biasanya aku lihat beliau pakai jilbab. Kalau nggak pakai, aku agak pangling.”
Keempat guru itu hanya berdiri di depan tali jemuran pertama, kemudian berbincang sedikit dengan kami.
No comments