Saat Belajar Ka-En
Waktu belajar KN ma Ibu tadi malam, banyak yang Ibu katakan padaku. Misalnya tentang kedudukan wanita sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Kepala negara "hanya" berfungsi sebagai simbol negara, panglima perang, "tidak harus cerdas" karena ia maju berdasarkan ketokohannya, figurnya, karena rakyat mencintainya. (Kalau kata Bu Dewi Retno, kepala negara tuh kayak ketua organisasi dari organisasi yang sangat besar, yaitu negara.)
Kepala pemerintahan berperan sebagai pemimpin kabinet, yang mengoordinasi menteri-menteri di bawahnya, dan harus memiliki kecerdasan dan profesionalitas yang tinggi.
Masih menurut Ibu, dalam kacamata Islam, berdasarkan hal tersebut maka seorang wanita boleh-boleh saja menjadi kepala pemerintahan, dengan syarat ia memiliki kapasitas yang memadai untuk memimpin suatu pemerintahan, memimpin kabinetnya. Ia dipilih karena kemampuannya, dan bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Akan tetapi, untuk menjadi seorang kepala, menjadi simbol suatu negara, wanita tidak berhak. Sebab simbol kepemimpinan adalah laki-laki, karena Allah telah melebihkan laki-laki di atas perempuan. Lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Dalam negara Islam, kepala negara juga berhak menjadi imam dalam shalat. Kalau kepala negara perempuan, masa mau jadi imam? Kecuali makmumnya wanita semua.
Bagi negara yang menganut sistem parlementer, pemisahan fungsi itu berlaku. Tapi bagaimana dengan Indonesia, yang menganut sistem presidensial? Kepala negara dan pemerintahan, dua-duanya ada di tangan presiden. Kalau begitu, apakah seorang wanita boleh menjadi presiden RI?
Lihat saja keterangan di atas.
Tapi kalo negara yang penduduknya tidak memeluk agama islam?
ReplyDeleteWah, baru baca komen ini ~,~
ReplyDeleteKalau negara yg MAYORITAS penduduknya tidak beragama Islam, lain lagi ceritanya. Soalnya, kalau kondisinya gitu, masalahnya bukan lagi gimana idealnya pemerintahan menurut Islam, tapi gimana cara mendakwahkan Islam kepada mereka.