Attitude
Boleh jadi kita cuek. Boleh jadi ketika orang lain menegur, kita hanya mengatakan, “Aku tak peduli,” atau semacam itu, karena kita yakin kitalah yang akan menanggung akibat dari apa yang kita lakukan.
Hal itu tidak sepenuhnya salah. Sebab seandainya kita menuruti semua komentar orang lain, bisa jadi kita menjadi seperti tokoh ayah dan anak dalam kisah mereka ketika membawa keledai ke pasar. Tentu kalian semua pernah mendengarnya.
Tetapi, coba perhatikan cuplikan ringan di bawah ini.
Di sebuah kelas, ada satu geng yang hobinya bikin ribut kelas. Setiap jam kosong, mereka selalu berteriak-teriak, kejar-kejaran mengelilingi kelas, memaksimalkan volume MP3-nya. Kalau guru menerangkan, setidaknya satu orang dari mereka langsung menyela usil, lainnya terbahak-bahak. Walhasil, kelas itu pun dicap sebaai kelas paling ribut, paling tidak menghargai guru yang mengajar. Padahal, siswa lain yang bukan anggota geng tersebut sudah berusaha menjadi siswa yang baik dan tenang. Tapi, orang luar lebih melihat kejelekan yang ada di kelas itu.
Kawan, ketidakacuhan kita terhadap sesuatu bisa menghancurkan nama baik lingkungan yang kita bawa. Meski anggota lain lingkungan kita sudah berusaha memberikan citra yang baik, suatu keburukan tetap akan lebih menonjol mengalahkan seribu kebaikan yang ada. Masih ingat pepatah, “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga,” kan?
Di sebuah sekolah, seorang guru bahkan langsung menegur Ketua OSIS sekolah itu ketika beliau melihat sang ketua makan sambil jalan. Bagi kita mungkin itu hal kecil, tetapi seorang siswa dengan jabatan tertinggi di sekolah itu (yah, kecuali kalau sekolah itu punya MPK) adalah panutan bagi siswa lainnya. Jika pemimpin siswa saja mengabaikan adab makan yang baik, maka anggota OSIS (baca: siswa) lainnya pun akan lebih parah.
Itulah sebabnya kita dituntut untuk memperbaiki “attitude” alias sikap kita. Tidak hanya untuk seorang pemimpin, tapi termasuk sebagai yang dipimpin. Kita sebagai anggota keluarga, sebagai anggota suatu sekolah, sebagai anggota organisasi atau partai, sebagai anggota dewan, dan sebagai UMAT BERAGAMA.
Kadang terjadi pula seorang yang mengemban sebuah jabatan selalu menunjukkan sikap dan perilaku yang baik, tapi setelah masa jabatan selesai, ia menganggap itu sama dengan berakhirnya kewajiban mempertahankan perilaku baik tersebut.
Saya jadi ingat komentar kakaknya teman saya, “Temanku dulu, di SMA dia ketua Rohis. Tapi sekarang juga dia suka minum, suka pacaran, dan sebagainya.”
Benar-benar miris mendengar komentar tersebut. Padahal, tidak semua mantan ketua Rohis melakukan hal demikian. Kalaupun cerita itu benar, maka perbuatan mantan ketua Rohis tersebut sungguh telah merusak citra Rohis, atau bahkan citra Islam.
Oleh sebab itu, marilah kita perbaiki “attitude” kita sejak sekarang. Banyak nama yang kita bawa dalam kehidupan kita. Bahkan, kemajuan sebuah negara pun tidak ditentukan dari sumber daya yang dimiliki, tapi dari attitude bangsannya.
No comments