Header Ads

Budaya "Ngamplop"

Hi, guys! Howdy? Miss me? 😄

Mohon maaf, ya, hiatus berminggu-minggu. Belakangan, memang lagi sibuk-sibuknya menghalalkan kamu rezeki yang diberikan Allah. Iya, dong. Rezeki memang sudah Allah atur, tapi mau kita ambil dengan cara yang halal atau haram, kan, tanggung jawab kita.

Belakangan, waktu memang rasanya dipadatkan. Rasanya saling berkejaran dengan aktivitas. Datang ke kantor lebih pagi, pulang lebih sore. Ada tanggung jawab baru (bukan naik pangkat, tapi memang job desk-nya nambah 😭) di kantor, dan masih perlu waktu untuk menyesuaikan ritme kerja baru ini.

Seringkali rasanya pengin istirahat sebentaaar saja, sebagaimana bulan Muharram dijadikan bulan "istirahat" dari kondangan. #eh

Kepercayaan orang Jawa, bahwa bulan Muharram merupakan bulan "terlarang" untuk mengadakan hajatan dengan berbagai mitos yang ada. Tapi, saya pernah membaca di salah satu artikel, ada alasan lain yang melatari larangan ini.

Bulan-bulan sebelumnya, terutama Syawal dan Dzulhijjah, merupakan waktu yang disukai banyak orang untuk melangsungkan pernikahan. Nah, dengan banyaknya undangan ini, kadang kala kantong masyarakat jadi jebol untuk nyumbang sana-sini. Nah, jadilah bulan yang dalam bahasa Jawa disebut dengan Sura (Suro) ini waktu untuk "menghemat anggaran" dari kewajiban memberikan amplop hajatan.

Perkara mitos yang ada, kata artikel lain, mungkin muncul tak lebih untuk menakut-nakuti mereka yang nekat "membebani" kantong orang lain di bulan ini, layaknya mitos-mitos lain yang seringnya merupakan simplifikasi alasan ketika orang tua sudah kehabisan cara menjelaskan sebab rasional kepada anak yang kritisnya bukan main.

Ngomong-ngomong soal ngamplop, ada satu fenomena yang baru saya sadari ketika saya sudah dewasa.

Bagi sebagian (besar) masyarakat tradisional, ngamplop adalah sebuah "tabungan". Artinya, jika kita menyumbang sebesar Rp30.000,00 kepada Bu A ketika beliau mengadakan hajatan, kita boleh mengharapkan Bu A memberi kita Rp30.000,00 juga ketika giliran kita mengadakan hajatan. Sebaliknya, jika kita yang duluan mengadakan hajatan dan mendapatkan amplop yang isinya Rp40.000,00 dari Bu Y, saat Bu Y menggelar hajatan, kita selayaknya juga menyumbang minimal Rp40.000,00 kepada Bu Y.

Ini menjawab pertanyaan saya ketika melihat ibu saya menuliskan namanya pada amplop kondangan ini. Kenapa, sih, harus menuliskan nama pemberi? Kan, kesannya jadi tidak ikhlas?

Bagi kita yang sudah paham arti memberi, mungkin kita ikhlas-ikhlas saja mau nyumbang berapa pun; sama sekali tak mengharapkan akan dibalas dengan uang sejumlah yang sama pada saatnya nanti. Masalahnya, si penerima sumbangan rupanya menjadikan itu sebagai standar "amplop" yang akan diberikannya pada kita.

Mungkin, awalnya ini merupakan usaha untuk menerapkan anjuran dalam Surah An-Nisaa' ayat 86, "Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa)."

Ayat tersebut, dalam beberapa sumber, mengacu pada ucapan salam. Akan tetapi, mungkin kata "penghormatan" ini bisa bermakna luas, sehingga mencakup pemberian atau sumbangan.

Sebenarnya, ada hadits lain yang memberi "keringanan" seandainya kita tidak memiliki apa-apa untuk membalas pemberian tersebut. 

"Siapa yang memperoleh kebaikan dari orang lain, hendaknya dia membalasnya. Jika tidak menemukan sesuatu untuk membalasnya, hendaklah dia memuji orang tersebut, karena jika dia memujinya maka dia telah mensyukurinya...." (HR Tirmidzi)

Akan tetapi, ada rasa gengsi jika kita hanya membalasnya dengan pujian atau doa saja. Ini diperparah dengan kebiasaan "lidah tetangga" yang akan menggunjingkan peristiwa tadi. Padahal, kasihan, kan, mereka yang kondisi finansialnya untuk hidup saja pas-pasan? Mau menyumbang banyak, tidak punya; mau menyumbang sedikit, nanti diomongin.

Di sisi lain, ini juga membuat dilema bagi si kaya. Jika menyumbang dengan angka besar, takut membebani si miskin yang merasa berkewajiban mengembalikan. Mau nyumbang sedikit supaya tidak memberatkan, nanti dirasani: orang kaya, kok, nyumbang cuma sedikit?

Memang, ya, lidah tajam tetangga ini kadangkala membuat hidup tidak nyaman. Kalau cuma diomongin, mungkin kita masih bisa tahan; kadang dari omongan itu bisa berefek pada perubahan sikap dan perilaku, serta pembatasan sosial juga.

Akan tetapi, terlepas dari itu, kadang saya kepikiran begini. Jika kita memang punya rezeki lebih dan ingin berbagi lebih banyak dengan tetangga dan kerabat, masukkan uang kita ke dalam dua amplop. Amplop pertama polosan, tidak kita beri nama kita di luarnya. Isi saja sebanyak mungkin sesuka kita. Amplop kedua kita beri nama, dan diisi uang yang nilainya wajar di kampung tersebut. Tidak terlalu banyak, tidak terlalu sedikit.

Lalu, bagaimana menentukan nilai kewajaran yang berlaku?

Salah satu trik nakalnya, mungkin, ketika kita mulai pindah ke lingkungan tersebut, kita bikin hajatan duluan yang kira-kira membuat orang lain merasa perlu "nyumbang", misalnya syukuran nikah, aqiqahan, atau sunatan. Kita data "pendapatan" dari sumbangan tetangga, kemudian ambil kisaran nilai yang paling banyak. Abaikan nilai pencilan yang mungkin terjadi; misal, ada yang nyumbang 500 ribu, padahal lainnya di bawah 100 ribu, atau sebaliknya, yang lain nyumbang 30-50 ribu, ada satu yang cuma nyumbang lima ribu rupiah. Kalau ambil nilai tertinggi atau terendah ini, kok, ya, kebangetan rasanya, hihi.

4 comments:

  1. pokoknya kalau tiba saatnya aku kudu ngamplop, tolong kabarin jauh-jauh bulan (karena jauh-jauh hari masih terlalu dekat untuk aku yg serombongan 😂)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yang bikin acara jg belum tentu persiapannya segitu lama 😂

      Delete
  2. Wah solusi misah 2 amplop ini nice tips!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Note: Hanya bagi yang ma(mp)u nyumbang lebihan 😁

      Delete

Powered by Blogger.