Header Ads

Masjid Sheikh Zayed dan Masjid sebagai Tempat Wisata

Beberapa waktu lalu, saya dan rekan-rekan kantor ada kondangan ke Madiun. Pulangnya mampir ke tempat wisata, salah satunya adalah Masjid Raya Sheikh Zayed Solo. Sayangnya, karena satu dan lain hal, kami baru tiba di Solo lebih dari jam 8 malam. Kami tiba di tempat parkir bus menjelang pukul 9. Sesudah itu, kami masih harus jalan kaki sekitar sejauh kurang lebih 600 meter, menyeberangi overpass yang di bawahnya melintas rel kereta api, menyusuri jalan perumahan untuk tiba di masjid.

Saat menyusuri jalan perumahan, kami diberi tahu oleh beberapa orang sekitar bahwa area shalat masjid akan tutup pukul 21.15, sedangkan area pelataran akan tutup lima belas menit setelahnya. Kami buru-buru mempercepat langkah.

Sesampainya di masjid, sementara beberapa kawan perempuan yang sedang haid berfoto-foto, saya sedikit panik mencari toilet dan tempat wudhu. Tinggal sedikit pengunjung yang ada di area wudhu, sedangkan area toilet sudah disterilkan dari pengunjung. Saya menjadi pengunjung terakhir yang wudhu di sana.

Area shalat sudah ditutup. Beberapa jamaah shalat di teras, tepat di depan pintu menuju ruang shalat. Saya pun menyelinap ke salah satu shaf yang masih kosong, dan menjamak shalat di sana. Usai shalat, saya bergabung dengan teman-teman perempuan lain yang sedang asyik ngobrol dan foto-foto di pelataran.

Saat itu, salah seorang kawan saya sedang khusyuk menengadahkan tangan, berdoa. Saya jadi teringat, tadi sebelum masuk, dia sempat berkata pada saya, "Titip doakan aku, ya," karena dia mengira kondisinya yang sedang haid menghalanginya masuk masjid.

Saya terhenyak. Berbagai pikiran berkecamuk di dalam batin. Cara dia menitipkan doa itu seolah saya sedang hendak memasuki Masjidil Haram, tempat doa-doa makbul.

Apa yang membedakan masjid ini dengan masjid-masjid lainnya? Tentu kemewahannya, kemegahannya, dan keindahannya. Oh, mungkin juga pengelolaannya yang lebih profesional dibanding masjid-masjid kampung yang ada di sekitarnya. Tidakkah kita tersindir oleh hadits riwayat Ahmad, "Kiamat tidak akan terjadi sehingga orang-orang bermegah-megahan dengan masjid-masjid.” Tentunya hadits itu bukan larangan untuk membangun masjid dengan fasilitas yang mewah, tetapi itu adalah sindiran pada orang-orang yang datang ke masjid hanya untuk wisata dan "pamer foto" (seperti saya). 

Masjid memang tempat ibadah utama, tempat kita bisa semakin mendekat pada Allah. Akan tetapi, apakah hanya di masjid megah ini kita merasakan kedekatan itu? Bagaimana jika kita sedang ada di masjid-masjid kampung, yang lantainya semen alih-alih marmer, yang didinginkan hanya oleh kipas angin rusak alih-alih AC dari berbagai penjuru? Apakah kita juga akan merasakan kedekatan dengan Allah sehingga mau berlama-lama beri'tikaf di sana, atau kita buru-buru hendak meninggalkan tempat itu?

Semoga kemegahan masjid yang ada mengetuk hati kita untuk memakmurkan masjid-masjid lainnya juga, ya. Memakmurkan... berarti menjadikan masjid sebagai pusat peradaban umat.



2 comments:

  1. Masjidnya bagus banget, jadi pengin ke sana....
    (dan inilah salah satu orang yang tertarik ke masjid karena alasan yang disebut di atas 😆)

    ReplyDelete
    Replies
    1. pas malam birunya bagus banget... belum lihat kalau siang :D

      Delete

Powered by Blogger.