Header Ads

Curhat Ketupat #Milad26FLP

Foto: Dokumentasi @flpyogya

Bisa keliling, hunting berita, wawancara penulis-penulis nasional dan para peserta dengan berbagai kisah unik sebagai narasumber... Itulah yang ada di benak saya ketika Ketua FLP Jogja melempar isu bahwa Jogja diprioritaskan menjadi tuan rumah acara puncak milad ke-26 FLP pada Ahad, 5 Maret 2023. Kalau Jogja tidak siap, FLP wilayah lain yang akan menggantikan.

Karena itulah, dalam rapat tiga hari kemudian, saya cukup bersemangat memaparkan alasan-alasan agar FLP menerima tawaran itu. Walaupun dihadapkan pada kendala kesibukan personal dan dana, entah kenapa saya optimistis bahwa acara itu akan tetap bisa berjalan.

Optimisme itu rupanya harus dibayar mahal. Rapat online tersebut memutuskan bahwa penanggung jawab acara sebaiknya berasal dari anggota angkatan 19 (walaupun anggota panitia nanti bisa lintas angkatan), padahal angkatan 19 yang hadir secara penuh dalam rapat itu hanya saya dan satu kawan perempuan. Artinya, peluang saya jadi ketua panitia adalah lima puluh persen.

Saya sudah mengajukan berbagai keberatan. Pertama, ketua panitia sebaiknya laki-laki, dan saya usulkan satu nama, tapi ditolak dengan alasan beliau tidak hadir dalam rapat dan memiliki kesibukan yang padat. Kedua, saya menantang mereka, "Kalau saya ketua panitia, siapa yang mau buat rilis nanti?" karena selama ini, peran saya di FLP Jogja satu setengah tahun ini memang sebagai satu-satunya kontributor berita.

"Itu, sih, gampang, nanti yang lain juga bisa," sanggah para peserta aktif rapat yang kebanyakan laki-laki itu.

Rasa hati ingin sekali walkout dan keluar dari Zoom, tapi apalah daya... sebagai wanita, saya rupanya lemah terhadap tipu daya lelaki, wkwkwk. Diiming-imingi kalimat "nanti semua bakal bantuin, kok," saya pun luluh, walaupun butuh cukup lama untuk diam dan menata hati sebelum akhirnya berkata, "Bismillah, ya."

(Seolah membenarkan stereotip lelaki, mula-mula mereka berkata akan ada orang lain yang menulis rilis atau berita, tetap saja nantinya pada hari H, saya yang diminta buat rilis. Hih! Akan tetapi, dasar saya yang pernah bercita-cita jadi jurnalis tapi tak kesampaian, saya toh senang-senang saja diberi pekerjaan demikian, hahaha!)

Rapat ditutup, dan tiba-tiba saya merasa... sendiri. Saya tidak tahu, kepada siapa saya harus mengungkapkan ketakutan yang mendera. Kilasan berbagai peristiwa ketika saya diamanahi jadi ketua, dari ketua kelas satu SD, ketua kelompok PKM sampai ketua departemen, berkelebat, disertai bayang-bayang kegagalan telak yang membuat saya trauma kalau harus jadi ketua lagi.

Boleh saja peserta rapat tadi bersikeras bahwa tidak akan seperti itu jadinya, bahwa ini justru kesempatan untuk memulihkan diri dari trauma itu... tapi saya tidak tahu, apa yang harus saya lakukan untuk memulai!

Bukannya saya tidak pernah jadi panitia. Sejak SMA sampai kuliah, sudah berkali-kali nama saya terpampang di proposal sebagai bagian dari struktur kepanitiaan berbagai acara. Hanya saja, kebanyakan skalanya lokal. Saya juga hampir selalu berkutat di seksi acara, sekretaris, atau paling banter humas atau pubdekdok.

Nah, kalau ketua? Saya harus belajar dari nol tentang tugas-tugas seksi lainnya, terutama bendahara dan sponsorship, yang biasanya saya hindari karena saya paling pusing kalau harus mengurus uang.

"Mbak, penawaran sponsorship begini saja."
"Mbak, penawaran sponsorship jangan begitu."
"Mbak, konsumsi jadinya mau sedia berapa?"
"Mbak, uang di rekening cuma ada segini, enggak cukup kalau harus menalangi barang-barang sejumlah sekian."
"Besok rapat offline, ya, sekalian survei tempat."
("Lil, Ibu dirawat inap di rumah sakit. Kamu pulang, ya." Tepat pagi hari sebelum survei tempat.)
"Belum ada respons dari calon pembicara, nih!"
"Hati-hati saat mencarikan hotel untuk pembicara. Pengalaman sebelumnya, ada pembicara yang ditempatkan di hotel yang ternyata dipakai sebagai tempat maksiat."

Berbagai pertanyaan, saran, komplain, dan komentar membanjiri WhatsApp, baik chat maupun telepon, padahal biasanya aplikasi itu hanya ramai oleh grup-grup kantor dan keluarga. Jadi, gini, rasanya banyak yang nge-chat. Pengin, deh, rasanya, melarikan diri ke tebing di pinggir laut dan menyanyi seperti Pocahontas di kartun Disney.

They do what they must for now and trust in their plan
If I trust in mine, somehow, I might find who I am

But where do I go from here?
So many voices ringing in my ear
Which is the voice that I was meant to hear?
How will I know where do I go from here?

Belum lagi, acara milad itu tadinya diwacanakan sekalian digabung dengan acara internal lain. Selama sebulan, acara itu masih digantung, entah jadi atau tidak, padahal segala tempat, dana, dan sponsor pasti berkaitan dengan kepastian acara internal tersebut.

Kurang dari satu bulan sebelum acara (dan ingat, Februari cuma punya 28 hari), acara internal itu dibatalkan. Ada kelegaan tersendiri dari para panitia, karena itu berarti, kami hanya fokus dengan acara puncak milad yang berlangsung satu hari saja.

Sudah selesai?

Jauh panggang dari api. Masih banyak yang bisa jadi bahan overthinking. Sponsor masih nol. Tidak banyak instansi yang bisa memberikan dana segar dalam tempo sesingkat itu. Tim publikasi kudu kerja lembur bagai kuda mengejar publikasi, supaya informasi acara bisa mulai disebar dan menggaet peserta. Rasanya sudah seumpama Bandung Bandawasa yang ditarget membangun seribu candi oleh Rara Jonggrang.

Now playing: Can we skip to the good part? Ah, ah-ah-ah ...

Baiklah. Di balik semua ke-ngenes-an itu, tentu banyak bagian-bagian baiknya.

Salah satu bagian terbaik adalah, Allah menguatkan saya dengan keberadaan orang-orang hebat dalam kepanitiaan itu. Mereka yang ahli di bidangnya maupun yang bekerja keras untuk menguasai tugas-tugasnya, mereka yang siap pontang-panting ke sana-kemari melintasi berbagai batas wilayah, mereka yang berkorban mengerjakan hal-hal yang bukan tupoksinya .... Mungkin ini bentuk tanggung jawab mereka saat mengatakan, "Nanti semua bakal bantuin, kok."

Tentu saja, saya tak luput dari tagihan janji "bakal bantuin" itu. Saya sendiri masih banyak belajar, misalnya ketika diminta ikut menyebar proposal, saya sempat bertanya dulu kepada koordinator Sponsorship, "Caranya nembung saat mengajukan proposal itu gimana, ya?" dan diketawai si koordinator karena dikira bercanda.

Bagian terbaik kedua adalah, saya--kami--akhirnya bisa saling berinteraksi dengan sebenar-benarnya. Masuk FLP sebagai "angkatan korona", tidak banyak interaksi yang saya jalani bersama mereka, walaupun sudah masuk ke dalam kepengurusan. Paling banter, saya hanya berkomunikasi dengan anggota-anggota se-divisi. 

Hal baik ketiga... well, setelah sempat agak panik karena dua pekan sebelum acara baru ada 2 sponsor yang masuk, rupanya sponsor-sponsor itu baru berdatangan dalam sepekan terakhir jelang hari H. Saking mepetnya para sponsor masuk, padahal berbagai spanduk udah naik cetak, logo mereka baru ditempel secara manual di spanduk-spanduk tersebut saat gladi. Hehehe....

Oh iya, setelah perdebatan sengit di awal soal kualifikasi tempat, akhirnya kami mendapatkan tempat yang secara posisi dan harga cukup cocok dengan kebutuhan kami: Museum Monumen Yogya Kembali, yang lebih populer disebut Monjali. Saya sebut hal baik karena, seandainya acaranya nanti sepi-sepi saja, setidaknya peserta masih mendapat hiburan dengan jalan-jalan keliling museum.

Selanjutnya... tuh, kan, banyak banget hal baiknya. Selanjutnya, tema milad kali ini adalah writerpreneurship. Ini mengingatkan saya pada 10 tahun yang lalu, ketika saya juga jadi panitia seminar kepenulisan bertema sama. Saya pun ngulik grup Facebook zaman dulu, mencari proposal yang mungkin pernah diunggah (di masa itu, cukup populer membagikan file lewat grup Facebook). Ketemu! Saya pun mengambil inspirasi nulis proposal dari proposal yang umurnya udah satu dekade lebih itu. Masih relevan ternyata, wkwk.

Akibat overthinking (foto: dokumentasi @flpyogya)

Satu hal yang saya lupa cemaskan saat pertama kali ditunjuk jadi ketua panitia adalah... harus memberikan sambutan! Wkwkwk. Saya baru sadar ketika Seksi Acara menyerahkan rancangan susunan acara.

Kondisi saya waktu itu sedang batuk-batuk parah, dan sudah berlangsung sebulan lebih, walaupun sudah beberapa kali periksa ke puskesmas. Tahu, tidak, batuk saya kayak apa? Kalau batuk menyerang, saya bisa tersengal dan tersedak. Itu tidak bisa diprediksi kapan waktunya: random saja, tiba-tiba tenggorokan bisa gatal atau kering kerontang.

Dalam rapat sepekan sebelum acara, saya minta bantuan Ketua FLP Jogja untuk menyambut sebagai wakil tuan rumah. Setali tiga uang, beliau juga mengajukan alasan yang sama untuk menolak. Saya mengajukan keringanan, jika H-1 kondisi saya masih parah, saya mohon ada perwakilan lain dari tuan rumah yang menyambut.

H-4, saya ke rumah sakit dan meminta resep pada dokter di sana. Sampai Sabtu siang, tepat sehari sebelum acara, si batuk belum juga mau menyingkir. Sorenya, dalam perjalanan menuju lokasi acara untuk gladi bersih, saya mampir membeli permen pereda batuk sebagai upaya terakhir (walaupun sudah bertahun-tahun saya menghindari permen ini karena menyebabkan perut begah).

Masyaallah, sepanjang gladi, lanjut sampai ke dinner bareng senior-senior FLP malam itu, batuk saya tidak separah biasanya. Minimal, saya tidak sampai tersedak apalagi tersengal.

Jadi, bisa sambutan, kan, keesokan harinya?

Karena sebelumnya mengandalkan alasan batuk untuk menyilakan orang lain memberikan sambutan, saya sama sekali belum mempersiapkan apa pun. Aduh, ini ada yang mau jadi ghost writer, tidak, ya?

Malam itu, saya bergadang membuat naskah sambutan dibantu... aplikasi artificial intelligence! Hahaha. Gini, nih, kalau otak udah ngepul tapi masih harus mikir. Namun, ya... sepintar-pintarnya AI, tetap saja itu "artifisial" alias buatan, tidak sepenuhnya bisa diandalkan.

Misalnya saja, saya ketikkan pertanyaan, "Apa visi-misi FLP?"

Si AI menjawab, "FLP (Forum Lingkar Pena) adalah sebuah organisasi kepenulisan yang didirikan pada tahun 1987 dengan tujuan untuk mengembangkan minat baca dan menulis di kalangan anak muda Indonesia."

Saya mengerutkan kening. "Sumber dari mana FLP didirikan 1987?" protes saya.

"FLP (Forum Lingkar Pena) didirikan pada tahun 1987 oleh tiga orang mahasiswa Universitas Indonesia, yaitu Joko Pinurbo, Saut Situmorang, dan Arief Budiman," jelas AI.

"Salah, woy! FLP itu didirikan Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia," tukas saya kesal. Kalau Andrea Hirata punya 44 ciri penyakit gila, kayaknya saya termasuk penderita penyakit gila nomor 45: ngajak gelut aplikasi AI!

"Maaf atas kekeliruan sebelumnya. Setelah saya melakukan pengecekan kembali, ternyata yang saya maksudkan dalam jawaban sebelumnya adalah organisasi kepenulisan lain yang didirikan oleh Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia, yaitu Forum Lingkar Pena Anak Bangsa (FLPAB). FLPAB didirikan pada tahun 2013. Terima kasih atas koreksinya dan maaf atas informasi yang kurang tepat sebelumnya."

Hih! Organisasi apa pula itu, FLPAB?

Tengah malam, saya udah kayak orang kurang waras, marah-marah pada mesin. Subhanallah, secanggih-canggihnya machine learning, emang enggak bisa mengalahkan human learning.

Jemari saya masih dingin keesokan paginya, ketika nama saya dipanggil pembawa acara untuk memberikan sambutan. Saya menemukan hiburan tersendiri, ketika mau naik menyusuri undakan panggung, ada papan penggilas baju tergeletak di mimbar! Melihat posisinya, papan itu berfungsi sebagai pijakan biar pembicara kelihatan tinggi.

Saya hampir kelepasan tertawa. Rupanya, keluhan saya karena mimbar terlalu tinggi untuk saya yang berukuran mini (tingginya, bukan lebarnya) ditanggapi serius oleh Seksi Perlengkapan. Setelah kemarin tidak menemukan pijakan lain yang lebih estetik, si koordinator seksi bisa-bisanya kepikiran papan yang biasanya buat cuci baju itu!

Perhatikan lingkaran hijau! (Foto: Dokumentasi @flpyogya)

Oke, kembali ke laptop smartphone. Iya, soalnya sontekan sambutan saya ketik di WhatsApp. Saya letakkan smartphone itu di mimbar dalam kondisi menyala, lalu mengambil sedetik untuk mengatur diri.

Ingat, ini mau sambutan, bukan orasi di depan demonstran. Saya mengulang di benak saya ucapan salah seorang kawan dulu sebelum saya sidang tugas akhir, "Sebelum ngomong, senyum dulu." 

Tetapi, oh, tetapi... saking nervous-nya harus bicara di hadapan massa, senyum saya kayaknya lebih seperti seringaian sinis. Saat menatap (dua meter di atas) hadirin, saya kehilangan orientasi terhadap catatan saya sendiri. Di catatan, saya menulis apa; pas ngomong, yang keluar beda! Pas mau balik ke alur pembicaraan yang sudah disiapkan, saya panik sendiri... ini ngomongnya udah sampai mana? Habis ini lanjutannya bahas apa?

Lega banget rasanya saat akhirnya mengucapkan salam penutup dan berhati-hati melangkah turun dari panggung supaya enggak lari begitu saja. Kelegaan yang hanya sesaat, karena masih banyak masalah teknis menanti di bawah panggung.

Jadi ceritanya...

Niatnya, acara milad kali ini disiarkan secara langsung pada bagian seremonialnya. Setelah tahu bahwa ruangan acara kedap sinyal, tim dokumentasi mulai berburu perlengkapan supaya jaringan bisa masuk dan digunakan untuk live streaming. Karena lokasi baru boleh digunakan untuk gladi semalam sebelumnya (menunggu museum tutup), tim dokumentasi harus kerja lembur memasang berbagai peralatan tersebut. Dengan berbagai drama, termasuk ada beberapa alat mahal yang harus dibeli (padahal bendahara sedang mengencangkan pengeluaran), malam itu segala perlengkapan untuk streaming dinyatakan siap digunakan.

Qadarullah, keesokan harinya, Wi-Fi tidak berfungsi. Secara luring, satu video seharusnya ditayangkan di layar sembari peserta berdatangan, tetapi suaranya tidak mau masuk. Mau diakali dengan cara memutar video pada satu laptop dan suara dengan laptop lain, gagal. Alhamdulillah yang ini akhirnya bisa berjalan, menyisakan masalah jaringan yang belum juga mau mendukung.

Acara sudah molor sejam karena menunggu kedatangan lebih banyak peserta. Akhirnya, diambillah keputusan bahwa live streaming ditiadakan (diganti dengan siaran tunda nantinya) dan pembawa acara langsung dikode supaya memulai acara. Untungnya, link untuk siaran langsung ini memang belum tersebar, karena rencananya memang baru akan disebarkan kalau semua hal sudah siap.

Kocaknya, kami lupa menyampaikan pada pembawa acara soal perkembangan terbaru ini. Kedua emsi itu masih berpedoman pada briefing awal bahwa setelah acara seremonial, live streaming akan diakhiri, sehingga mereka masih menyampaikan bahwa, "Inilah akhir sesi live streaming pagi ini."

Tepok jidat, dah!

Sudah begitu, acara selanjutnya adalah penampilan tari. Entah kenapa, suara musik pengiring tari enggak mau keluar. Kedua penari udah stand by di pinggir panggung, menunggu musik yang tak kunjung berbunyi. Saya dan korlap mencoba menarik perhatian emsi biar mereka cuap-cuap apa aja buat mengisi kekosongan. Butuh beberapa waktu sampai mereka memahami instruksi tambahan ini, karena posisi mereka berlawanan secara diagonal: saya, korlap, dan operator ada di ujung barat daya ruangan, emsi ada di ujung timur laut. Kudu pakai bahasa isyarat pula, kan?

Apakah ujian berhenti sampai di situ? Nope.

Setelah musik berhasil diputar, dan penari sudah beraksi, tiba-tiba... MUSIK BERHENTI, SAUDARA SEBANGSA SETANAH AIR! Di tengah pertunjukan tari!

Pengin rasanya punya Jubah Gaib supaya saya bisa menyembunyikan diri di dalamnya.

Melihat penari di depan tiba-tiba kayak nge-freeze di tengah gerakan yang membelakangi penonton... udah enggak tahu lagi, deh, mau naruh muka di mana. Si korlap udah kayak mau meluk tiang di dekat situ.

Saya, korlap, dan kedua operator yang panik karena sistem ngadat (foto: dokumentasi @flpyogya)

Alhamdulillah, beberapa detik kemudian, musik kembali normal.

Saat operator berseloroh ingin mencoba-coba sesuatu di tengah pertunjukan tari itu, saya dan korlap kompak berseru, "Jangan!"

"Enggak usah cobain yang aneh-aneh dulu," komentar si korlap sambil nyengir pasrah.

Di sisi lain, saya salut sama si operator. Dia baru belajar sistem yang diperlukan saat bergabung menjadi panitia di Seksi Pubdekdok. Ada kawannya yang katanya biasa mengoperasikan sistem siaran, dan dia langsung belajar padanya. Mantap, benar!

Sejak saat itu, saya sendiri kurang fokus dengan tugas saya sebagai notulis. Ketiadaan Internet untuk update sekadar story Instagram apalagi berita bikin saya mati gaya. Hanya materi pertama yang sempat saya dengarkan dan catat beberapa poinnya, selanjutnya saya milih muter-muter aja kayak orang ilang, sok-sokan sibuk bersosialisasi padahal aslinya bingung mau ngapain.

Udah, deh, saya mengandalkan rekamannya saja nanti buat bikin berita. Lalalala....

Saya baru masuk lagi waktu sesi hiburan. Kali ini, Boim Lebon membawakan stand up comedy. Baru juga pembukaan, ada anak kecil, mungkin baru dua-tiga tahunan, berlarian di dekat panggung. Oleh Mas Boim, si anak malah diajak ngelawak sekalian.

Asli, saya malah jadi overthinking: tanpa anak kecil ini, materi Mas Boim aslinya kayak apa, ya? Apakah materi yang sudah dipersiapkan jadi "berubah" dengan kehadirannya? Tapi, tuh, improvisasinya keren banget! Senior, gituuu....

Walaupun waktu mulai acara sempat molor, ajaibnya acara berakhir hampir tempat waktu. Jam tiga-lima belas, acara sudah ditutup. Tanpa komando, peserta malah pada maju ke panggung semua dan langsung foto-foto berdasarkan kelompoknya: ada yang per kontingen, ada yang sesama pengurus tertentu, ada yang bareng-bareng seluruh peserta... sedangkan panitia, yang masih sibuk sendiri, malah hampir enggak kebagian foto-foto! Hahah.

"Akhirnya kelar jugaaaa...!" seru korlap dengan suara pelan di tengah keriuhan itu.

4 comments:

  1. masyaAlloh daebaaaak Bu Ketua 💐💐💐
    feel you banget di part "bisa nggak sih yg langsung to the good part" hahaha
    nyatanya bisa aja kaan 👍🏻👍🏻👍🏻

    ReplyDelete
    Replies
    1. There is no might nor power except with Allah.
      Thanks for the Jalu support at the time... :*

      Delete
  2. Kereeen! Luar biasa sekali usaha dan perjuangannya. Saya yang cuma baca jadi ikut ndredeg plus kebayang pontang-pantingnya, apalagi yang mengalami :') Selamat acaranya sudah selesai, sukses terlaksana 👍

    ReplyDelete

Powered by Blogger.