Header Ads

Telanjur

Dalam sebuah forum yang membahas masalah ASI, saya pernah bertanya kepada pembicaranya, "Apa langkah yang harus diambil jika bayi telanjur diberi susu formula (sufor)?"

Saya menanyakan ini bukan tanpa alasan. Hampir dalam setiap forum tentang ASI, selalu ditekankan pentingnya ASI dan kekurangan sufor. Jangan sampai anak diberikan sufor, begitu katanya. Nah, masalahnya, tidak semua orang paham hal ini. Seorang ibu bisa saja sudah berjuang memberikan hanya ASI kepada anaknya, tetapi ada orang lain yang justru memberikan sufor ketika si ibu tidak waspada: bisa nenek si anak, tetangga, asisten rumah tangga, dan sebagainya.

Sejauh yang saya tahu, tindakan pencegahan yang diambil kurang lebih adalah edukasi kepada orang-orang sekitar serta ketegasan orang tua kepada mereka. Namun, itu tadi, sifatnya hanya pencegahan. Bagaimana kalau bayi telanjur diberi sufor?

Pembicara forum yang saya ikuti tersebut kemudian menjabarkan bahwa langkah-langkah hukum bisa diambil: menuntut mereka, misalnya, terutama jika yang memberikan sufor adalah tenaga kesehatan. Sayangnya, saya masih belum puas dengan jawaban tersebut.

Memangnya kalau pemberi sufor sudah ditangkap, dipidana, dipenjara, bahkan dihukum mati sekalipun, itu akan bisa mengembalikan keadaan si bayi yang sudah mengonsumsi sufor? Beberapa sumber menyebutkan bahaya sufor bagi bayi di bawah umur; jika anak telanjur minum sufor, apa langkah yang harus dilakukan orang tua untuk menangkal bahaya tersebut?

Apakah orang tua harus mencari cara agar si bayi memuntahkan sufor, misalnya? Atau mungkin ada sejenis antiracun (berarti semacam anti-sufor, mungkin) yang bisa menetralisasi efek negatif sufor?

* * *

Sudah beberapa lama saya mengidap penyakit bronkitis. Bila sedang kambuh, saya akan sering batuk-batuk selama berhari-hari; rekor terlama sejauh ini dua bulan. Pada hari-hari biasa, saya mengurangi batuk itu dengan minum air banyak-banyak, tetapi bagaimana kalau sedang puasa?

Selain batuk, tantangan lain puasa saya adalah penyakit mag/asam lambung. Perut melilit sampai perih seringkali membuat saya gagal puasa sunnah atau bahkan puasa qadha. Hanya saja, kedua jenis puasa itu, kan, fleksibel. Batal hari ini, bisa coba lagi keesokan harinya. Nah, puasa Ramadan?

Saya mencari-cari di internet, pertolongan pertama apa yang bisa saya lakukan jika saat sedang puasa, saya mengalami batuk-batuk atau perut melilit. Kebanyakan saran yang ditemukan berkisar pada:

  • makan secukupnya
  • mengonsumsi makanan sehat saat sahur dan berbuka
  • hindari makanan tertentu saat sahur dan berbuka
  • minum air putih yang cukup
  • hindari merokok dan minuman beralkohol

Bukankah semua itu adalah langkah-langkah pencegahan?

Yang saya butuhkan adalah langkah untuk mengatasi, bukan mencegah. Namun, dengan keyword "mengatasi" pun, yang muncul masih langkah-langkah serupa. Saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya orang-orang ini bisa membedakan kata mencegah dan mengatasi, tidak, sih? Atau... itu hanya trik meningkatkan SEO?

Kalau saya batuk-batuk parah sampai tersengal-sengal di siang bolong dalam kondisi sedang puasa, pertolongan pertama apa yang harus saya lakukan tanpa membatalkan puasa?

* * *

Kesamaan dari kedua pengalaman di atas adalah, kadang kita kurang tanggap dengan sesuatu yang sudah telanjur kejadian tanpa merusak hal-hal lainnya. Kita terlalu "positive thinking" bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja sesuai rencana, tetapi tidak mempersiapkan rencana-rencana cadangan jika itu melenceng dari prakiraan kita.

Saya jadi ingat cerita lain ketika mengikuti musyawarah sebuah organisasi mahasiswa. Saat membahas tata tertib dan mekanisme pengambilan keputusan, ada sekelompok peserta yang menolak mekanisme voting. Menurut mereka, voting tidak sesuai dengan ajaran Islam, yang menganjurkan agar keputusan diambil melalui musyawarah hingga mufakat, dan mengusulkan mekanisme voting berarti meniatkan terjadinya deadlock.

Masalahnya, sampai titik mana musyawarah akan dilangsungkan sebelum kata sepakat dicapai? Apakah musyawarah akan berlangsung berhari-hari atau bahkan bertahun-tahun, padahal waktu yang dimiliki sangat terbatas?

Dalam ajaran Islam pun, ada jalan keluar yang ditetapkan untuk kejadian yang sudah tidak bisa dikontrol oleh manusia. Misalnya, cerai. Ketika seseorang menikah, tentunya dia tak pernah meniatkan akan terjadi masalah yang berujung perceraian. Akan tetapi, ketika ada hal-hal di luar kendali, seperti KDRT, apa yang harus dilakukan pasangan itu seandainya Islam tak memberi penjelasan soal cerai? Aturan itu ada, walau manusia tidak boleh bermudah-mudah mencapainya. Itu pilihan terakhir saja seandainya semua usaha buntu.

Upaya-upaya preventif memang perlu disosialisasikan secara luas supaya jangan sampai ada kejadian buruk yang tak diinginkan, tetapi upaya kuratif yang bersifat reaktif atau responsif juga perlu diajarkan sebagai penyeimbang, jika upaya preventif tersebut belum berhasil dan kejadian buruk telanjur terjadi.

3 comments:

  1. Mungkin sama seperti kesuksesan-kegagalan. Banyak yang cerita gimana usaha & tips meraih sukses-mencegah gagal, tapi sedikit yang ngajarin langkah seperti apa yang harus dilakukan kalau telanjur gagal. Padahal gimana mengatasi itu juga perlu tahu caranya selain ujaran "coba lagi", biar nggak stuck atau depresi. Entah karena lebih menyenangkan didengar atau terlalu terpaku ujaran "mencegah lebih baik daripada mengobati."

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, iya. Kita belajar banyak tentang cara sukses, tapi jarang belajar cara (mengatasi) gagal.

      Delete
  2. Wah, keren tulisannya. Terima kasih kak. Sepemahaman saya, dalam forum ASI eksklusif memang tujuannya edukasi dan preventif karena cakupannya sangat luas dan terlalu umum. Jika sudah masalah kuratif, maka perlu penangan khusus sesuai kasus. Atau bagi yang ingin belajar lebih bisa melalui proses konsultasi kepada ahlinya tentang tindakan-tindakan yang harus dilakukan secara spesifik. Karena memang untuk SDM nya juga masih sangat kurang. Apalagi PR besar tentang stunting di negeri ini. ASI adalah salah satu kuncinya. Komunikasi dan konsultasi dengan ahlinya memang bisa menjadi salah satu solusi. Tapi tetap butuh monitoring dan evaluasi agar bisa memperbaiki cara edukasi yang dibutuhkan masyarakat.

    ReplyDelete

Powered by Blogger.