Header Ads

Bahagia

Beberapa waktu lalu, saya mendapat sebuah pertanyaan, "Apakah kamu bahagia?"

Saya balik bertanya, "Bahagia itu parameternya apa?"

Tidak salah, kan, saya bertanya demikian? Menurut KBBI, bahagia adalah "keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan)" atau "beruntung". Hanya saja, ini, kan, subjektif.

Kemudian dia menjelaskan, bahwa bahagia adalah ketika realitas sejalan atau lebih baik daripada ekspektasi.

"Hmm... lalu, kalau ekspektasiku adalah masuk surga, itu belum jadi realitas. Itu berarti, aku belum bahagia, dong?" tanya saya lagi. "Atau minimal... bisa ibadah dengan khusyuk, yang aku yakin belum."

"Ya... enggak gitu juga, kali," tukasnya.

Saya tertawa.

Setelah itu, saya selalu berpikir. Jika bahagia diukur berdasarkan ekspektasi versus realitas, apakah orang yang memiliki ekspektasi menjadi kaya raya dan itu tercapai, dianggap bahagia? Bagaimana jika kekayaan itu didapat dengan perbuatan buruk, mencuri atau korupsi, misalnya?

Lalu apa gunanya kebahagiaan, jika itu didapat dengan pengabaian terhadap perintah Allah?

Jika kita belum bahagia hanya karena ekspektasi terlalu tinggi untuk dicapai dengan sumber daya yang ada sekarang, ekspektasi semacam apa yang boleh kita patok? Sekadar ekspektasi duniawi? Yang jelas, ekspektasi akhirat tidak akan mungkin kita capai sebelum mati, kan?

Lalu apa gunanya kebahagiaan di dunia, jika, seandainya saya mati besok, saya tidak masuk surga?

Saya menemukan kata lain yang mungkin memiliki definisi serupa: ketenangan, kedamaian.

Bukankah itu yang seharusnya kita cari di dunia?

Tenang, menurut Al-Qur'an dan hadits, didapatkan hanya dengan mengingat Allah (Surah Ar-Ra'd: 28), melakukan kebaikan (kebaikan menurut Allah, tentunya), dan bersikap jujur.

Dalam hadits lain bahkan disebutkan, kebaikan adalah sesuatu yang menenangkan jiwa dan menentramkan hati, sedangkan kejelekan (dosa) selalu menggelisahkan jiwa dan menggoncangkan hati.

Masalahnya dengan kata "tenang" ini, kita sering terjebak. Kita merasa sedang mengikuti hadits di atas, memilih sesuatu hanya berdasarkan "kata hati", tapi kita lupa membersihkan hati. Kita mengambil jalan karena merasa hatinya condong ke sana, padahal itu melanggar larangan Allah.

Itu berarti, pertanyaan selanjutnya adalah, hati seperti apa yang dimaksud dalam hadits? Tentunya, hati yang bersih.

Tak lama setelah itu, qadarullah, saya menemukan sebuah unggahan di Instagram yang membicarakan kebahagiaan.

Dalam video itu, Dr. Omar Suleiman menjelaskan bahwa zaman sekarang, kita selalu diajak untuk berbahagia, mengejar kebahagiaan/kesenangan. Sementara itu, dalam Al-Qur'an tidak ada perintah agar kita berbahagia. Yang ada adalah perintah agar kita memperkuat meaning atau pemaknaan (maknawiyah). Memaknai hidup, memaknai tujuan hidup. Jika kita sudah tahu makna dan tujuan hidup, kebahagiaan akan mengikuti.

Well, rupanya inilah jawabannya.

Saya pun teringat sebuah percakapan dengan senior waktu di kampus, terkait pemilihan ketua sebuah organisasi, forum, atau komunitas. Waktu itu, si A lebih populer di kalangan anggotanya sehingga punya kans besar untuk terpilih, tapi ternyata yang jadi adalah si B. Selesai aku bercerita, senior tersebut berkomentar, "Si B lebih kuat maknawiyahnya, ya."

Kalau dipikir-pikir, semua masalah yang kita hadapi, ya, bermula dari ketidaktahuan akan tujuan hidup.

Ada orang yang gampang bunuh diri karena dia berpikir apalah gunanya melanjutkan hidup dengan berbagai masalahnya, berarti dia masih belum paham tujuan hidupnya. (Beda lagi sama saya, sedepresi apa pun saya, mengakhiri hidup adalah pilihan terakhir yang bakal terpikir. Bukan karena sudah tahu makna hidup, sih, tapi karena takut mati, takut apa yang akan menanti setelah mati nanti. Huhuhu.)

Ada orang yang sudah kaya raya, tapi masih berpikir untuk mengeruk keuntungan sebanyak mungkin dengan mengeksploitasi bawahannya, padahal untuk standar crazy rich pun, uangnya masih sisa tujuh turunan. Kenapa dia belum merasa puas juga? Bisa jadi, ini karena dia sendiri belum menemukan tujuan hidup yang sesungguhnya.

Bandingkan dengan Abdurrahman bin Auf, yang sudah kaya raya, tapi justru berusaha keras supaya bisa miskin. Dia tahu tujuan hidupnya adalah akhirat, dan harta yang banyak itu justru akan memperlama hisabnya. Dia "memiskinkan" diri dengan menukar semua kekayaannya dengan kurma busuk, berharap kurma itu tidak akan laku. Qadarullah, tak lama setelah itu malah muncul wabah yang hanya bisa diobati dengan kurma busuk. Gagal miskin, deh!

Kita sehari-hari pun terjebak dalam rutinitas pekerjaan yang kadang membuat jenuh. Sedemikiannya, sampai-sampai muncul ungkapan, "Kerja keras buat cari makan, makan biar kuat kerja." Lalu muncullah segala teori tentang mengatasi kejenuhan.

Seandainya kita tahu kenapa kita harus bekerja, pastinya kita akan menganggap rutinitas yang itu-itu saja sebagai tabungan amal untuk akhirat. Kita bekerja bukan cuma untuk mencari uang, tapi, ya... karena Allah memerintahkan kita untuk bekerja alias menjemput rezeki dengan cara halal. Rezeki tetap akan sampai walaupun kita bermalas-malasan atau kita raih dengan jalan haram, tapi jika kita tahu tujuan kita sebenarnya adalah ridha Allah, pekerjaan yang itu-itu saja bisa kita jalani dengan tenang dan... bahagia.

Bukan bahagia pula yang tercantum dalam doa untuk pengantin baru, tapi barakallah... keberkahan Allah. Mungkin saja secara lahir, keluarga baru yang terbentuk tidak bahagia dengan segala ujiannya, tapi bagaimana keduanya memaknai pernikahan yang akan menentukan jadi apa mereka ke depannya.

Maka, pertanyaan, "Bahagiakah kamu?" ini, bagiku hanya bisa dijawab ketika sudah mati. Kebahagiaan sejati yang hanya bisa diraih di akhirat nanti.

No comments

Powered by Blogger.