Header Ads

Siapa?


Ahad lalu, ada undangan Syawalan bersama teman-teman organisasi yang saya ikuti di Jogja. Offline. Akhirnya, ya, setelah terakhir kali agenda resmi tatap muka bersama Maret 2020 lalu, tepat sebelum agenda lockdown yang setengah-setengah itu. Sejak itu hampir semua kegiatan full online, kecuali satu-dua kali pertemuan tidak resmi..

Memulai kepengurusan periode ini dengan online, saya belum pernah ketemu siapa-siapa aja rekan sesama pengurus walaupun masa bakti sudah satu tahun. Pada rapat-rapat online pun sebagian besar off camera, jadi muka-mukanya kayak apa juga masih rahasia, haha.

Jadi, jangan heran, kalau sapaan pertama saya begitu ketemu langsung di tempat acara adalah, "Siapa, ya?"

Sedikit lega, karena bisa menanyakan, "Siapa?" terang-terangan. Ada alibi untuk tidak tahu wajah mana untuk nama siapa. Dalam kondisi bukan pandemi pun, saya tidak semudah itu mengingat nama orang yang dijumpai. Sebaliknya, sering juga saya tahu nama-nama orang bahkan sampai cara penulisan nama lengkapnya (efek dari seringnya jadi sekretaris yang mengurus pendataan) tapi tidak tahu orangnya yang mana. Tidak sopan juga kalau terus-menerus menanyakan, "Kamu siapa?" Dikira sombong, nanti.

Sewaktu di kampus dulu, seorang senior pernah memberi wejangan. Intinya, kira-kira, Imam Hassan Al-Banna dulu selalu menghafal semua mad'u-nya, tidak sekadar nama tapi juga karakteristik masing-masing. Ada juga kisah lain tentang seorang ulama yang, setiap mengisi sebuah acara, dia meminta daftar kehadiran kepada panitia supaya bisa mengetahui nama-nama yang hadir, kemudian ketika beliau mengisi, beliau akan memanggil peserta dengan nama-namanya.

Aduh, gue da'i macam apa, kalau begitu? Ngaku-ngaku da'i aja, ini, mah!

Pernah suatu ketika, saya diperbantukan sebagai mentor untuk kegiatan mentoring di kampus yang bukan almamater saya. Jumlah mentee antara 15 sampai 20 mahasiswi, yang kemudian saya bagi jadi dua kelompok kecil. Meski begitu, saya masih kesulitan mencocokkan antara pemilik nama dengan orangnya.

Awalnya saya bersiasat melalui daftar kehadiran. Daftar kehadiran bukan yang sudah diketik jadi, yang tinggal dicentang sesuai nama masing-masing. Tidak pula saya panggil satu-satu seperti guru SD mengabsen murid-muridnya; terlalu kentara kalau saya tidak hafal nama-nama mereka! Daftar kehadiran itu berupa lembaran kosong yang diedarkan secara berurutan, jadi urutan nama yang tercantum di situ sesuai dengan posisi duduk mereka. Oh, si A duduk di sebelah si B. Yang duduk di kiri si C adalah si D. Begitu seterusnya.

Tapi, kan, bosan juga, ya, kalau tiap mengisi presensi, mereka hanya mengisi nama lengkap dan tanda tangan saja. Kemudian saya memodifikasi kolom presensi. Selain nama panggilan (pengganti nama lengkap), mereka juga harus menulis data diri atau informasi unik tentang diri masing-masing, satu item setiap kali pertemuan. Misalnya, hari ini mereka harus mencantumkan asal daerah, pekan depan mereka diminta menulis tanggal lahir, pekan depannya lagi mereka mengungkapkan tokoh yang mereka kagumi.

Selain akhirnya bisa hafal nama dan wajah masing-masing, saya bisa mengumpulkan data diri masing-masing tanpa harus menggunakan form biodata mainstream sekaligus bisa sedikit mengenal kepribadian masing-masing. Hehehe... (senyum licik). Baru ketika kegiatan mentoring memasuki tahun kedua, presensi ditulis dalam format seperti biasa: tanda tangan pada kolom sesuai nama yang sudah diketik.

2 comments:

  1. Saya juga gitu, hahaha. Nice tips, Mbak! Kapan-kapan saya coba 😁

    ReplyDelete

Powered by Blogger.