Header Ads

Sstt... Keep Calm and Read This! (First Impression of "Sabar & Syukur Tanpa Tapi")

Setiap kali mampir ke toko buku, gw selalu mengkhayalkan punya uang berjuta-juta demi bisa beli buku-buku yang ada di sana. Bahkan beberapa book fair gw hadiri dengan mupeng karena banyaknya buku yang gw incer tapi apalah daya uang saku bulanan masih jamannya Pattimura (a.k.a. duit seribuan). Makanya, begitu dapet kerjaan resmi untuk pertama kalinya, gw sedikit kalap dengan order online beberapa buku yang gw minatin, dengan mengandalkan bahwa akhirnya gw punya duit hasil kerja keras sendiri.

Begitulah. Begitu gaji pertama gw turun, transaksi pertama yang gw lakukan adalah transfer duit atas pemesanan buku Sabar & Syukur Tanpa Tapi. Sebetulnya ini lebih karena online book store yang gw sambangin ngasih deadline pembayaran yang begitu mepet, itu pun gw order 2x, berhubung pada order pertama, gaji gw belum turun sampai tenggat pembayaran. Gw pun ngakalin dengan ngirim ke kosan adik gw di Jakarta biar ongkirnya lebih murah, biar dia bawain waktu mudik. Dan adik gw baru sampai di rumah dini hari (17/6) ini, maka baru sekarang gw bisa review setelah kehebohan first order berlalu beberapa hari.

* * *

Gw akui, gw tertarik order buku ini karena penulisnya adalah temen gw sejak jaman maba, salah satu dari beberapa temen sekelas yang gw kenal pertama kali. Tapi lebih dari itu, gw juga mengenalnya sebagai orang yang suka nulis. Gw inget pas semester 1 atau 2 gitu, dia pernah ngasihin tulisannya buat gw review, katanya mau diikutin lomba. Meskipun berlembar-lembar (ada 10 lembar deh kayaknya), bahasa penulisan dia di cerpen itu lumayan enak, jadi bacanya pun nggak bosen.

Oya, gw belum sebutin nama si penulis ini ya. Namanya Taufik Aulia Rahmat, tapi di buku yang tertulis cuma sampai Aulia. Tapi sama temen-temen kampus lebih sering dipanggil Taufik.

Beberapa kali gw baca tulisan Taufik, baik yang di note Facebook maupun di blognya, termasuk saat dia berkali-kali ganti platform blog. Terakhir dia pakai Tumblr, yang katanya dari Tumblr inilah tulisan-tulisannya dimuat jadi buku yang disingkat SSTT ini.

Gw juga nggak tahu faktor kesengajaan atau tidak, singkatannya kok bisa jadi SSTT, yang kalau dibunyikan kayak lagi kasih isyarat biar orang diam. Sstt! Mungkin juga buku ini sedang menyuruh pembacanya untuk tenang, hening, di tengah hiruk pikuk dunia yang sedang kacau ini. Mungkin ini selaras dengan kepanjangannya: ketika menghadapi masalah, maka diamlah, heninglah, jangan banyak ngeluh, bersabarlah dan bersyukurlah atas ketetapan Allah atasmu.

Tulisan Taufik yang lebih banyak gw baca lebih berupa opini maupun kisah yang dia alami. Jadi pada awalnya gw mengharapkan buku pertama dia berisi tentang catatan kegelisahan dia terhadap kondisi dan bagaimana dia bertahan, bangkit, maupun memberi solusi atasnya. Gw membayangkan akan membaca tulisan yang per babnya berisi empat halaman atau lebih.

Jadi, gw sedikit antiklimaks waktu buku SSTT datang dan mendapati kumpulan bab yang masing-masing hanya sepanjang satu-tiga halaman. Dengan scanning seluruh buku, dan membaca beberapa bab pertama, gw menyimpulkan kalau buku ini lebih banyak sudah berupa kesimpulan hasil renungan-renungan Taufik terhadap kehidupan. I mean, bukan pada proses pencarian makna kehidupan itu sendiri. Buku ini sudah menjadi sari patinya.

Seolah sedang diberitahukan kepada pembaca, "Lu nggak perlu muter-muter menjelajahi asam garam dunia untuk mengerti makna hidup, ini udah gw ringkaskan dari berbagai kisah yang gw temui, jadi lu tinggal syukuri hidup lu."

Tetapi sepertinya selera pasar memang berbeda dengan selera gw. Sementara gw lebih suka baca kisah (seperti catatan perjalanan, cerpen, atau novel yang cenderung panjang), orang-orang sekarang kelihatannya lebih suka baca kata-kata motivasi yang singkat dan nggak bertele-tele. Mungkin ini sebabnya quote-quote Mario Teguh atau Tere Liye laris manis, Bisa jadi pula mereka yang sedang galau ini pengin dinasihatin dengan kalimat yang langsung ngena daripada pakai kisah yang bisa jadi mereka mencari apologi karena latar belakangnya beda. Atau setidaknya, mereka mungkin sedang mencari kalimat yang bisa mereka jadikan quote untuk di-post di medsos.

Apa pun itu, SSTT dapat memenuhi selera pasar dengan baik. Bahkan ketika gw loncat beberapa halaman sekaligus, gw mulai tertarik dengan untaian kata-katanya, yang jelas kurang gw pahami alurnya tanpa membaca secara runut dari awal.

Lagi pula, seharusnya gw gak seterkejut ini ketika mendapati isinya. Taufik pernah woro-woro di Facebook, bahkan "nyepam" di semua grup yang dia ikuti, untuk men-survei desain cover buat anak pertamanya ini. Meskipun sekilas gw lihat banyak orang yang vote desain lain, sedangkan desain ini gw lihat jarang yang pilih, ternyata desain inilah yang dipilih. Padahal waktu gw lihat dari 6 desainnya, desain ini justru mengingatkan gw sama buku-bukunya Salim A. Fillah, yang isinya tentang keindahan Islam dan mendekatkan diri pada Allah, terlepas dari gw suka desain ini karena ke-simple-annya.

Dan memang itulah isi buku ini.

* * *

Berhubung gw belum baca seluruh buku, baru segini yang bisa gw review. Mungkin nanti kalau udah "khatam" baru bisa gw kupas tuntas. Sekarang yang penting gw khatamkan Qur'an dulu, Ramadhan udah hampir selesai.

So, sementara diem dulu: Sstt! Pesen sama diri sendiri: keep calm and read this, and review more!

* * *

Btw, gw akhirnya pesen buku ini 2 biji, satu buat gw pribadi, satu buat dikasihin ke SMP gw. Semoga bisa mencerahkan remaja-remaja yang sedang dalam pencarian jati diri ini.

* * *

Note to the author:

Pik, lain kali kalau mau nanda-tanganin buku satu ini, mending pakai tinta warna cerah, misal merah atau ijo atau biru. Soalnya cover dalam dibikin grayscale, lu tanda tanganin pakai tinta item. Sekilas gw kira itu tanda tangan dicetak bareng sama bukunya, bukan ditandatangani manual sama penulisnya. (Jadi kayak gitu tanda tangan yang lu deskripsikan sebagai "gelombang longitudinal yang ada coretan di tengahnya? :p)







No comments

Powered by Blogger.